Sabtu, 31 Desember 2011

Biografi Al Bukhari


Imam Bukhari
(194-256H)
Negeri Bukhara sebagai negeri muara sungai Jihun yang terletak di sebelah utara Afghanistan dan sebelah selatan Ukraina adalah negeri yang banyak melahirkan imam-imam Ahlul hadits dan Ahlul fiqh. Negeri itu menyimpan kenangan sejarah perjuangan para imam-imam Muslimin dalam berbagai bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dapat disebutkan di sini, para Imam Ahlul Hadits yang lahir dan dibesarkan di negeri Bukhara antara lain adalah: Al-Imam Abdullah bin Muhammad Abu Ja’far Al-Musnadi Al-Bukhari yang meninggal dunia di negeri tersebut pada hari Kamis bulan Dzulqa’dah tahun 220 H. dan kemudian juga lahir di Bukhara, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al-Bukhari yang lahir pada tahun 194 Hijriyah dan wafat pada tahun 256 H di sebuah desa bernama Khortanak menuju arah Samarkan. Juga lahir dan dibesarkan di negeri ini Al-Imam Abi Naser Ahmad bin Muhammad bin Al-Husain Al-Kalabadzi Al-Bukhari yang lahir tahun 323 H dan meninggal tahun 398 H. dan masih banyak lagi deretan para imam-imam besar Ahli hadits yang menghiasi indahnya sekarah negeri Bukhara.
Tetapi di masa kini kaum Muslimin di dunia, apabila disebut Imam Bukhari, maka yang dipahami hanyalah Imam Ahlul Hadits dari negeri Bukhara yang bernama Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah Al-Bukhari. Karena karya beliau yang amat masyhur di kalangan kaum Muslimin di dunia ialah: Al-Jami’us Shahih Al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi yang kemudian terkenal dengan nama kitab Shahih Al-Bukhari. Kata “Bukhari” itu sendiri maknanya ialah: Orang dari negeri Bukhara. Jadi kalau dikatakan “Imam Bukhari” maknanya ialah seorang tokoh dari negeri Bukhara.
Al-Bukhari Di Masa Kecil
Nasab kelengkapan dari tokoh yang sedang kita bincangkan ini adalah sebagai berikut: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah. Kakek (Zoroaster) sebagai agama asli orang-orang Persia yang menyembah api. Sang kakek tersebut meninggal dalam keadaan masih beragama Majusi. Putra dari Bardizbah yang bernama Al-Mughirah kemudian masuk Islam di bawah bimbingan gubernur negeri Bukhara Yaman Al-Ju’fi sehingga Al-Mughirah dengan segenap anak cucunya dinisbatkan kepada kabilah Al-Ju’fi. Dan ternyata cucu dari Al-Mughirah ini di kemudian hari mengukir sejarah yang agung, yaitu sebagai seorang Imam Ahlul Hadits.
Al-Imam Al-Bukhari lahir pada hari Jum’at tanggal 13 Syawal 194 H di negeri Bukhara di tengah keluarganya yang cinta ilmu sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. Karena ayah beliau bernama Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah adalah seorang ulama Ahli hadits yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi dari Imam Malik bin Anas, Hammad bin Zaid, dan sempat pula berpegang tangan dengan Abdullah bin Mubarak. Riwayat-riwayat Ismail bin Ibrahim tentang hadits Nabi tersebar di kalangan orang-orang Iraq.
Ayah Al-Bukhari meninggal dunia ketika beliau masih kecil. Di saat menjelang wafatnya, Ismail bin Ibrahim sempat membesarkan hati anaknya yang masih kecil sembari menyatakan kepadanya: “Aku tidak mendapati pada hartaku satu dirham pun dari harta yang haram atau satu dirham pun dari harta yang syubhat.” Tentu anak yang ditumbuhkan dari harta yang bersih dari perkara haram atau syubhat akan lebih baik dan mudah dididik kepada yang baik. Sehingga sejak wafatnya sang ayah, Al-Bukhari hidup sebagai anak yatim dalam dekapan kasih sayang ibunya.
Muhammad bin Ismail mendapat perhatian penuh dari ibunya. Sejak usianya yang masih muda dia telah hafal Al-Qur’an dan tentunya belajar membaca dan menulis. Kemudian pada usia sepuluh tahun, Muhammad kecil mulai bersemangat mendatangi majelis-majelis ilmu hadits yang tersebar di berbagai tempat di negeri Bukhara. Pada usia sebelas tahun, dia sudah mampu menegur seorang guru ilmu hadits yang salah dalam menyampaikan urut-urutan periwayatan hadits (yang disebut sanad).
Usia kanak-kanak beliau dihabiskan dalam kegiatan menghafal ilmu dan memahaminya sehingga ketika menginjak usia remaja –enam belas tahun–, beliau telah hafal kitab-kitab karya imam-imam Ahli hadits dari kalangan tabi’it tabi’in (generasi ketiga umat Islam), seperti karya Abdullah bin Al-Mubarak, Waqi’ bin Al-Jarrah, dan memahami betul kitab-kitab tersebut. Usia kanak-kanak Muhammad bin Ismail telah berlalu dengan agenda belajar yang amat padat. Kesibukannya di masa kanak-kanak dalam menghafal dan memahami ilmu, mengantarkannya kepada masa remaja yang cemerlang dan menakjubkan. Kini ia menjadi remaja yang amat diperhitungkan orang di majelis manapun dia hadir. Karena dalam usia belasan tahun seperti ini dia telah hafal di luar kepala tujupuluh ribu hadits lengkap dengan sanadnya di samping tentunya Al-Qur’an tiga puluh juz.
Melanglang Buana Menuntut Ilmu
Di awal usianya yang ke delapan belas, Al-Bukhari diajak ibunya bersama kakaknya bernama Ahmad bin Ismail berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Perjalanan jauh antara negeri Bukhara dengan Mekkah menunggang unta, keledai dan kuda adalah pengalaman baru baginya. Sehingga dia terbiasa dengan berbagai kesengsaraan perjalanan jauh mengarungi padang pasir, gunung-gunung dan lembahnya yang penuh keganasan alam. Dalam kondisi yang demikian, dia merasa semakin dekat kepada Allah dan dia benar-benar menikmati perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan itu.
Sesampainya di Makkah, Al-Bukhari mendapati kota Makkah penuh dengan ulama Ahli Hadits yang membuka halaqah-halaqah ilmu.Tentu yang demikian ini semakin menggembirakan beliau. Oleh karena itu, setelah selsai pelaksanaan ibadah haji, beliau tetap tinggal di Makkah sementara kakak kandungnya kembali ke Bukhara bersama ibunya. Beliau bolak-balik antara Makkah dan Madinah, kemudian akhirnya mulai menulis biografi para tokoh. Sehingga lahirlah untuk pertama kalinya karya beliau dalam bidang ilmu hadits yang berjudul Kitabut Tarikh. Ketika kitab karya beliau ini mulai tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam, ramailah pembicaraan orang tentang tokoh ilmu hadits tersebut dan semua orang amat mengaguminya. Sampai-sampai seorang Imam Ahli Hadits di masa itu yang bernama Ishaq bin Rahuyah membawa Kitabut Tarikh karya Al-Bukhari ini ke hadapan gubernur negeri Khurasan yang bernama Abdullah bin Thahir Al-Khuza’i, sembari mengatakan: “Wahai tuan gubernur, maukah aku tunjukkan kepadamu atraksi sihir?” Kemudian ditunjukkan kepadanya kitab ini. Maka gubernur pun membaca kitab tersebut dan beliau sangat kagum dengannya. Sehingga tuan gubernur pun mengatakan: “Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa mengarang kitab ini.” Al-Imam Al-Bukhari pun akhirnya menjadi amat terkenal di berbagai negeri Islam. Ketika Al-Imam Al-Bukhari berkeliling ke berbagai negeri tersebut, beliau mendapati betapa para ulama Ahlul Hadits di setiap negeri tersebut sangat menghormatinya. Beliau berkeliling ke berbagai negeri pusat-pusat ilmu hadits seperti Mesir, Syam, Baghdad (Iraq), Bashrah, Kufah dan lain-lainnya.
Di saat berkeliling ke berbagai negeri itu, beliau suatu hari duduk di majlisnya Ishaq bin Rahuyah. Di sana ada satu saran dari hadirin untuk kiranya ada upaya mengumpulkan hadits-hadits Nabi dalam satu kitab. Dengan usul ini mulailah Al-Imam Al-Bukhari menulis kitab shahihnya dan kitab tersebut baru selesai dalam tempo enam belas tahun sesudah itu. Beliau menuliskan dalam kitab ini hadits-hadits yang diyakini shahih oleh beliau setelah menyaring dan meneliti enam ratus ribu hadits. Beliau pilih daripadanya tujuh ribu dua ratus tujupuluh lima hadits shahih dan seluruhnya dikumpulkan dalam satu kitab dengan judul Al-Jami’us Shahih Al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunani wa Ayyamihi yang kemudian terkenal dengan nama kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab ini pun mendapat pujian dan sanjungan dari berbagai pihak di seantero negeri-negeri Islam. Sehingga ketokohan beliau dalam ilmu hadits semakin diakui kalangan luas dunia Islam. Para imam-imam Ahli Hadits sangat memuliakannya, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma`in dan lain-lainnya.
Imam Al-Bukhari Disanjung Di Mana-Mana
Karya-karya beliau dalam bidang hadits terus mengalir dan beredar di dunia Islam. Kepiawaian beliau dalam menyampaikan keterangan tentang berbagai kepelikan di seputar ilmu hadits di berbagai majelis-majelis ilmu bersinar cemerlang sehingga beliau dipuji dan diakui keilmuannya oleh para gurunya dan para ulama yang setara ilmunya dengan beliau, lebih-lebih lagi oleh para muridnya. Beliau menimba ilmu dari seribu lebih ulama dan semua mereka selalu mempunyai kesan yang baik, bahkan kagum terhadap beliau.
Al-Imam Al-Hafidh Abil Hajjaj Yusuf bin Al-Mizzi meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul Tahdzibul Kamal fi Asma’ir Rijal beberapa riwayat pujian para ulama Ahli hadits dan sanjungan mereka terhadap Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Di antara beberapa riwayat itu antara lain ialah pernyataan Al-Imam Mahmud bin An-Nadhir Abu Sahl Asy-Syafi’i yang menyatakan: “Aku masuk ke berbagai negeri yaitu Basrah, Syam, Hijaz dan Kufah. Aku melihat di berbagai negeri tersebut bahwa para ulamanya bila menyebutkan Muhammad bin Ismail Al-Bukhari selalu mereka lebih mengutamakannya daripada diri-diri mereka.”
Karena itu majelis-majelis ilmu Al-Imam Al-Bukhari selalu dijejali ribuan para penuntut ilmu. Dan bila beliau memasuki suatu negeri, puluhan ribu bahkan ratusan ribu kaum Muslimin menyambutnya di perbatasan kota karena beberapa hari sebelum kedatangan beliau, telah tersebar berita akan datangnya Imam Ahlul Hadits, sehingga kaum Muslimin pun berjejal-jejal berdiri di pinggir jalan yang akan dilewati beliau hanya untuk sekedar melihat wajah beliau atau kalau bernasib baik, kiranya dapat bersalaman dengan beliau.
Al-Imam Muhammad bin Abi Hatim meriwayatkan bahwa Hasyid bin Ismail dan seorang lagi (tidak disebutkan namanya), keduanya menceritakan: “Para ulama Ahli Hadits di Bashrah di jaman Al-Bukhari masih hidup merasa lebih rendah pengetahuannya dalam hadits dibanding Al-Imam Al-Bukhari. Padahal beliau ini masih muda belia. Sehingga pernah ketika beliau berjalan di kota Bashrah, beliau dikerumuni para penuntut ilmu. Akhirnya beliau dipaksa duduk di pinggir jalan dan dikerumuni ribuan orang yang menanyakan kepada beliau berbagai masalah agama. Padahal wajah beliau masih belum tumbuh rambut pada dagunya dan juga belum tumbuh kumis.”
Datanglah Badai Menghempas
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dielu-elukan dan disanjung orang di mana-mana. Pujian penuh ketakjuban datang dari segala penjuru negeri, dan beliau dijadikan rujukan para ulama di masa muda belia. Di saat penuh kesibukan ibadah dan ilmu yang menghiasi detik-detik kehidupan Al-Bukhari, pada sebagian orang muncul iri dengki terhadap berbagai kemuliaan yang Allah limpahkan kepadanya.
Badai itu bermula dari kedatangan beliau pada suatu hari di negeri Naisabur dalam rangka menimba ilmu dari para imam-imam Ahli Hadits di sana. Kedatangan beliau ke negeri tersebut bukanlah untuk pertama kalinya. Beliau sebelumnya sudah berkali-kali berkunjung ke sana karena Nasaibur termasuk salah satu pusat markas ilmu sunnah. Lagi pula di sana terdapat guru beliau, seorang Ahli Hadits yang bernama Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli. Pada suatu hari tersebarlah berita gembira di Naisabur bahwa Muhammad bin Ismail Al-Bukhari akan datang ke negeri tersebut untuk tinggal padanya beberapa lama.
Bahkan Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli mengumumkan secara khusus di majelis ilmunya dengan menyatakan: “Barangsiapa ingin menyambut Muhammad bin Ismail besok, silakan menyambutnya karena aku akan menyambutnya.” Maka masyarakat luas pun bergerak mengadakan persiapan untuk menyambut kedatangan Imam besar Ahli Hadits di kota mereka.
Di hari kedatangan Imam Al-Bukhari itu, ribuan penduduk Naisabur bergerombol di pinggir kota untuk menyambutnya. Di antara yang berkerumun menunggu kedatangan beliau itu ialah Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli bersama para ulama lainnya.
Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ya’qub Al-Akhram bahwa ketika Al-Bukhari sampai di pintu kota Naisabur, yang menyambutnya sebanyak empat ribu orang berkuda, di samping yang menunggang keledai dan himar serta ribuan pula yang berjalan kaki.”
Imam Muslim bin Al-Hajjaj menceritakan: “Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, semua pejabat pemerintah dan semua ulama menyambutnya di batas negeri.”Ketika Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari sampai di Naisabur, para penduduk menyambutnya dengan penyambutan yang demikian besar dan agung. Beribu-ribu orang berkerumun di tempat tinggal beliau setiap harinya untuk menanyakan kepada beliau berbagai masalah agama dan khususnya berbagai kepelikan tentang hadits. Akibatnya berbagai majelis ilmu para ulama yang lainnya menjadi sepi pengunjung. Dari sebab ini mungkin timbul ketidakenakan di hati sebagian ulama itu terhadap Al-Bukhari.
Di hari ketiga kunjungan beliau ke Naisabur, terjadilah peristiwa yang amat disesalkan itu. Diceritakan oleh Ahmad bin Adi peristiwa itu terjadi sebagai berikut:
Telah menceritakan kepadaku sekelompok ulama bahwa ketika Muhammad bin Ismail sampai ke negeri Naisabur dan orang-orang pun berkumpul mengerumuninya, maka timbullah kedengkian padanya dari sebagian ulama yang ada pada waktu itu. Sehingga mulailah diberitakan kepada para ulama Ahli hadits bahwa Muhammad bin Ismail berpendapat bahwa lafadh beliau ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk.
Pada suatu majelis ilmu, ada seseorang berdiri dan bertanya kepada beliau: “Wahai Abu Abdillah (yakni Al-Bukhari), apa pendapatmu tentang orang yang menyatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk? Apakah memang demikian atau lafadh orang yang membaca Al-Qur’an itu bukan makhluk?”
Mendengar pertanyaan itu, beliau berpaling karena tidak mau menjawabnya. Akan tetapi si penanya mengulang-ulang terus pertanyaannya hingga sampai ketiga kalinya seraya memohon dengan sangat agar beliau menjawabnya. Al-Bukhari pun akhirnya menjawab dengan mengatakan: “Al-Qur’an kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba Allah adalah makhluk, dan menguji orang dalam masalah ini adalah perbuatan bid’ah.”
Dengan jawaban beliau ini, si penanya membikin ricuh di majelis dan mengatakan tentang Al-Bukhari: “Dia telah menyatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk.” Akibatnya orang-orang di majelis itu menjadi ricuh dan mereka pun segera membubarkan diri dari majelis itu dan meninggalkan beliau sendirian. Sejak itu Al-Bukhari duduk di tempat tinggalnya dan orang-orang pun tidak lagi mau datang kepada beliau.”
Al-Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad bin Ghalib dengan sanadnya dari Muhammad bin Khasynam menceritakan: “Setelah orang meninggalkan Al-Bukhari, orang-orang yang meninggalkan beliau itu sempat datang kepada beliau dan mengatakan: “Engkau mencabut pernyataanmu agar kami kembali belajar di majelismu.” Beliau menjawab: “saya tidak akan mencabut pernyataan saya kecuali bila mereka yang meninggalkanku menunjukkan hujjah (argumentasi) yang lebih kuat dari hujjahku.”
Kata Muhammad bin Khasynam: “Sungguh aku amat kagum dengan tegarnya dan kokohnya Al-Bukhari dalam berpegang dengan pendirian.”
Kaum Muslimin di Naisabur gempar dengan kejadian ini dan akhirnya arus fitnah melibatkan pula Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli sehingga beliau menyatakan di majelis ilmu beliau yang kini telah ramai kembali setelah orang meninggalkan majelis Al-Bukhari: “Ketahuilah, sesungguhnya siapa saja yang masih mendatangi majelis Al-Bukhari, dilarang datang ke majelis kita ini. Karena orang-orang di Baghdad telah memberitakan melalui surat kepada kami bahwa orang ini (yakni Al-Bukhari) mengatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk. Kata mereka yang ada di Baghdad bahwa Al-Bukhari telah dinasehati untuk jangan berkata demikian, tetapi dia terus mengatakan demikian. Oleh karena itu, jangan ada yang mendekatinya dan barangsiapa mendekatinya maka janganlah mendekati kami.”
Tentu saja dengan telah terlibatnya Imam Adz-Dzuhli, fitnah semakin meluas. Hal ini terjadi karena Adz-Dzuhli adalah imam yang sangat berpengaruh di seluruh wilayah Khurasan yang beribukota di Naisabur itu. Bahkan lebih lanjut Al-Imam Adz-Dzuhli menegaskan: “Al-Qur’an adalah kalamullah (yakni firman Allah) dan bukan makhluk dari segala sisinya dan dari segala keadaan. Maka barangsiapa yang berpegang dengan prinsip ini, sungguh dia tidak ada keperluan lagi untuk berbicara tentang lafadhnya ketika membaca Al-Qur’an atau omongan yang serupa ini tentang Al-Qur’an.
Barangsiapa yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir dan keluar dari iman, dan harus dipisahkan dari istrinya serta dituntut untuk taubat dari ucapan yang demikian. Bila dia mau taubat maka diterima taubatnya. Tetapi bila tidak mau taubat, harus dipenggal lehernya dan hartanya menjadi rampasan Muslimin serta tidak boleh dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Dan barangsiapa yang bersikap abstain dengan tidak menyatakan Al-Qur’an sebagai makhluk dan tidak pula menyatakan Al-Qur’an bukan makhluk, maka sungguh dia telah menyerupai orang-orang kafir. Barangsiapa yang menyatakan “lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk”, maka sungguh dia adalah Ahli Bid’ah (yakni orang yang sesat). Tidak boleh duduk bercengkrama dengannya dan tidak boleh diajak bicara. Oleh karena itu, barangsiapa setelah penjelasan ini masih saja mendatangi tempatnya Al-Bukhari, maka curigailah ia karena tidaklah ada orang yang tetap duduk di majelisnya kecuali dia semadzhab dengannya dalam kesesatannya.”
Dengan pernyataan Adz-Dzuhli seperti ini, berdirilah dari majelis itu Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin Salamah. Bahkan Imam Muslim mengirimkan kembali kepada Adz-Dzuhli seluruh catatan riwayat hadits yang didapatkannya dari Imam Adz-Dzuhli, sehingga dalam Shahih Muslim tidak ada riwayat Adz-Dzuhli dari berbagai sanad yang ada padanya.
Sikap Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin Salamah yang seperti itu menyebabkan Adz-Dzuhli semakin marah sehingga beliau pun menyatakan: “Orang ini (yakni Al-Bukhari) tidak boleh bertempat tinggal di negeri ini bersama aku.” Kemarahan Adz-Dzuhli seperti ini sangat menggusarkan Ahmad bin Salamah, salah seorang pembela Al-Bukhari. Dia segera mendatangi Al-Bukhari seraya mengatakan: “Wahai Abu Abdillah (yakni Al-Bukhari), orang ini (yakni Adz-Dzuhli) sangat berpengaruh di Khurasan, khususnya di kota ini (yakni kota Naisabur). Dia telah terlalu jauh dalam berbicara tentang perkara ini sehingga tak seorang pun dari kami bisa menasehatinya dalam perkara ini. Maka bagaimana pendapatmu?”
Al-Imam Al-Bukhari amat paham kegusaran muridnya ini sehingga dengan penuh kasih sayang beliau memegang jenggot Ahmad bin Salamah dan membaca surat Ghafir 44 yang artinya: “Dan aku serahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” Kemudian beliau menunduk sambil berkata: “YA Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku tinggal di Naisabur tidaklah bertujuan jahat dan tidak pula bertujuan dengan kejelekan. Engkau juga mengetahui ya Allah, bahwa aku tidak mempunyai ambisi untuk memimpin. Hanyasaja karena aku terpaksa pulang ke negeriku karena para penentangku telah menguasai keadaan. Dan sungguh orang ini (yakni Adz-Dzuhli) membidikku semata-mata karena hasad (dengki) terhadap apa yang Allah telah berikan kepadaku daripada ilmu.” Wajah beliau sendu menyimpan kekecewaan yang mendalam. Dan dia menatap Ahmad bin Salamah dengan mantap sambil berkata: “wahai Ahmad, aku akan meninggalkan Naisabur besok agar kalian terlepas dari berbagai problem akibat omongannya (yakni omongan Adz-Dzuhli) karena sebab keberadaanku.” Segera setelah itu Al-Bukhari berkemas-kemas untuk mempersiapkan keberangkatannya besok kembali ke negeri Bukhara.
Rencana Al-Bukhari untuk pulang ke negeri Bukhara sempat diberitakan oleh Ahmad bin Salamah kepada segenap kaum Muslimin di Naisabur, tetapi mereka tidak ada yang berselera untuk melepasnya di batas kota. Sehingga Al-Imam Al-Bukhari dilepas kepulangannya oleh Ahmad bin Salamah saja dan beliau berjalan sendirian menempuh jalan darat yang jauh menuju negerinya yaitu Bukhara. “Selamat tinggal Naisabur, rasanya tidak mungkin lagi aku berjumpa denganmu.”
Badai Di Negeri Bukhara
Di negeri Bukhara telah tersebar berita bahwa Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari sedang menuju Bukhara. Penduduk Bukhara melakukan berbagai persiapan untuk menyambutnya di pintu kota. Bahkan diceritakan oleh Ahmad bin Mansur Asy-Syirazi bahwa dia mendengar dari berbagai orang yang menyaksikan peristiwa penyambutan Al-Bukhari di negeri Bukhara, dikatakan bahwa masyarakat membangun gapura penyambutan di tempat yang berjarak satu farsakh (kurang lebih 5 km) sebelum masuk kota Bukhara. Dan ketika Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari telah sampai di gapura “selamat datang” tersebut, beliau mendapati hampir seluruh penduduk negeri Bukhara menyambutnya dengan penuh suka cita, sampai-sampai disebutkan bahwa penduduk melemparkan kepingan emas dan perak di jalan yang akan diinjak oleh telapak kaki Al-Bukhari. Mereka berdiri di kedua sisi jalan masuk kota Bukhara sambil berebut memberikan buah anggur yang istimewa kepada sang Imam Ahlul Hadits yang amat mereka cintai itu.
Tetapi suka cita penduduk negeri Bukhara ini tidak berlangsung lama. Beberapa hari setelah itu para ahli fikih mulai resah dengan beberapa perubahan pada cara beribadah orang-orang Bukhara. Yang berlaku di negeri tersebut adalah madzhab Hanafi, sedangkan Al-Bukhari mengajarkan hadits sesuai dengan pengertian Ahli Hadits yang tidak terikat dengan madzhab tertentu sehingga yang nampak pada masyarakat ialah sikap-sikap yang diajarkan oleh Ahli Hadits, dan bukan pengamalan madzhab Hanafi. Orang dalam beriqamat untuk shalat jamaah tidak lagi menggenapkan bacaan qamat seperti adzan, tetapi membaca qamat dengan satu-satu sebagaimana yang ada dalam hadits-hadits shahih. Ketika bertakbir dalam shalat semula tidak mengangkat tangan sebagaimana madzhab Hanafi, sekarang mereka bertakbir dengan mengangkat tangan.
Dengan berbagai perubahan ini keresahan para ulama fiqih tambah menjadi-jadi sehingga tokoh ulama fiqih di negeri tersebut yang bernama Huraits bin Abi Wuraiqa’ menyatakan tentang Al-Imam Al-Bukhari: “Orang ini pengacau. Dia akan merusakkan kehidupan keagamaan di kota ini. Muhammad bin yahya telah mengusir dia dari Naisabur, padahal dia imam Ahli Hadits.”
Maka Huraits dan kawan-kawannya mulai berusaha untuk mempengaruhi gubernur Bukhara agar mengusir Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari ini. Gubernur negeri ini yang bernama Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli.
Gubernur Khalid pernah meminta Al-Bukhari untuk datang ke istananya guna mengajarkan kitab At-Tarikh dan Shahih Al-Bukhari bagi anak-anaknya. Tetapi Al-Imam Al-Bukhari menolak permintaan gubernur tersebut dengan mengatakan: “Aku tidak akan menghinakan ilmu ini dan aku tidak akan membawa ilmu ini dari pintu ke pintu. Oleh karena itu bila anda memerlukan ilmu ini, maka hendaknya anda datang saja ke masjidku, atau ke rumahku. Bila sikapku yang demikian ini tidak menyenangkanmu, engkau adalah penguasa. Silakan engkau melarang aku untuk membuka majelis ilmu ini agar aku punya alasan di sisi Allah di hari kiamat bahwa aku tidaklah menyembunyikan ilmu (tetapi dilarang oleh penguasa untuk menyampaikannya).” Tentu gubernur Khalid dengan jawaban ini sangat kecewa. Maka berkumpullah padanya penghasutan Huraits bin Abil Wuraqa’ dan kawan-kawan serta kekecewaan pribadi gubernur ini. Huraits dan gubernur Khalid akhirnya sepakat untuk membikin rencana mengusir Muhammad bin Ismail dari Bukhara. Lebih-lebih lagi telah datang surat dari Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli dari Naisabur kepada gubernur Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli di Bukhara yang memberitakan bahwa Al-Bukhari telah menampakkan sikap menyelisihi sunnah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Dengan demikian matanglah rencana pengusiran Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dari negeri Bukhara.
Upaya pengusiran itu bermula dengan dibacakannya surat Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli di hadapan segenap penduduk Bukhara tentang tuduhan beliau kepada Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari bahwa beliau telah berbuat bid’ah dengan mengatakan bahwa “lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk”. Tetapi dengan pembacaan surat, penduduk Bukhara pada umumnya tidak mau peduli dengan tuduhan tersebut dan terus memuliakan Al-Imam Al-Bukhari. Namun gubernur Khalid akhirnya mengusirnya dengan paksa sehingga Al-Imam Al-Bukhari sangat kecewa dengan perlakuan ini. Dan sebelum keluar dari negeri Bukhara, beliau sempat mendoakan celaka atas orang-orang yang terlibat langsung dengan pengusirannya. Ibrahim bin Ma’qil An-Nasafi menceritakan: “Aku melihat Muhammad bin Ismail pada hari beliau diusir dari negeri Bukhara, aku mendekat kepadanya dan aku bertanya kepadanya: “Wahai Abu Abdillah, apa perasaanmu dengan pengusiran ini?” Beliau menjawab: “Aku tidak peduli selama agamaku selamat.”
Al-Bukhari meninggalkan Bukhara dengan penuh kekecewaan dan dilepas penduduk Bukhara dengan penuh kepiluan. Beliau berjalan menuju desa Bikanda kemudian berjalan lagi ke desa Khartanka, yang keduanya adalah desa-desa negeri Samarkan. Di desa terakhir inilah beliau jatuh sakit dan dirawat di rumah salah seorang kerabatnya penduduk desa tersebut.
Dalam suasana hati yang terluka, tubuhnya yang kurus kering di usia ke enampuluh dua tahun, beliau berdoa mengadukan segala kepedihannya kepada Allah Ta`ala: “Ya Allah, bumi serasa sempit bagiku. Tolonglah ya Allah, Engkau panggil aku keharibaan-Mu.” Dan sesaat setelah itu ia pun menghembuskan nafas terakhir dan selamat tinggal dunia yang penuh onak dan duri.
Pembelaan Al-Bukhari
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengakhiri hidupnya di desa Khartanka, Samarkan pada malam Sabtu di malam hari Raya Fitri (Iedul Fitri) 1 Syawsal 256 H. sebelum menghembuskan nafas yang terakhir, beliau sempat berwasiat agar mayatnya nanti dikafani dengan tiga lapis kain kafan tanpa imamah (ikat kepala) dan tanpa baju. Dan beliau berwasiat agar kain kafannya berwarna putih. Semua wasiat beliau itu dilaksanakan dengan baik oleh kerabat beliau yang merawat jenasahnya. Beliau dikuburkan di desa itu di hari Iedul Fitri 1 Syawal 256 H setelah shalat Dhuhur. Dan seketika selesai pemakamannya, tersebarlah bau harum dari kuburnya dan terus semerbak bau harum itu sampai berhari-hari.
Gubernur Bukhara Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhli menuai hasil dari kedhalimannya dengan datangnya keputusan pencopotan terhadap jabatannya dari Khalifah Al-Muktamad karena tuduhan ikut terlibat pemberontakan Ya’qub bin Al-Laits terhadap Khilafah Ath-Thahir. Khalid bin Ahmad akhirnya dipenjarakan di Baghdad sampai mati di penjara pada tahun 269 H. Sedangkan Huraits bin Abil Waraqa’ ditimpa kehancuran pada anak-anaknya yang berbuat tidak senonoh. Para penentang Imam Bukhari menyatakan penyesalannya dan kesedihannya dengan wafatnya beliau dan sebagian mereka sempat mendatangi kuburnya.
Mulailah setelah itu orang berani menyebarkan pembelaan Al-Imam Al-Bukhari dari segala tuduhan miring terhadap dirinya. Tetapi berbagai pembelaan itu selama ini tenggelam dalam hiruk pikuk fitnah tuduhan keji terhadap diri beliau. Dan Allah Maha Adil terhadap hamba-hamba-Nya.
Muhammad bin Nasir Al-Marwazi mempersaksikan bahwa Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari menyatakan: “Barangsiapa yang mengatakan bahwa aku telah berpendapat bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk, maka sungguh dia adalah pendusta, karena sesungguhnya aku tidak pernah mengatakan demikian.”
Abu Amr Ahmad bin Nasir An-Naisaburi Al-Khaffaf mempersaksikan bahwa Al-Imam Al-Bukhari telah mengatakan kepadanya: “Wahai Abu Amir, hafal baik-baik apa yang aku ucapkan: Siapa yang menyangka bahwa aku berpendapat bahwa lafadhku tentang Al-Qur’an adalah makhluk, baik dia dari penduduk Naisabur, Qaumis, Ar-Roy, Hamadzan, Hulwan, Baghdad, Kuffah, Basrah, Makkah, atau Madinah, maka ketahuilah bahwa yang menyangka aku demikian itu adalah pendusta. Karena sesungguhnya aku tidaklah mengatakan demikian. Hanya saja aku mengatakan: Segenap perbuatan hamba Allah itu adalah makhluk.”
Yahya bin Said mengatakan: “Abu Abdillah Al-Bukhari telah berkata: Gerak-gerik hamba Allah, suara mereka, tingkah laku mereka, segala tulisan mereka adalah makhluk. Adapun Al-Qur’an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang ditulis di lembaran-lembaran penulisan Al-Qur’an, yang dihafal di hati para penghafalnya, maka semua itu adlaah kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk.”
Ghunjar membawakan riwayat dengan sanadnya sampai ke Al-Firabri, dia mengatakan bahwa Al-Bukhari telah mengatakan: “Al-Qur’an kalamullah dan bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk maka sungguh dia telah kafir.” Bahkan Al-Imam Al-Bukhari menulis kitab khusus dalam masalah ini dengan judul Khalqu Af`alil Ibad yang padanya beliau menjelaskan pendirian beliau dalam masalah ini dengan gamblang dan jelas serta lengkap dan ilmiah.
Fitnah itu memang kejam, lebih kejam dari pembunuhan. Dia tidak akan memilih antara orang jahil atau orang alim dari kalangan ulama. Dan ulama pun bisa salah dalam memberikan penilaian, karena yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) hanyalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Orang-orang yang menyakini bahwa ulama itu ma’shum hanyalah para ahli bid’ah dari kalangan Rafidlah (Syiah) atau orang-orang sufi. Demikian pula orang-orang yang mencerca ulama karena kesalahannya semata tanpa mempertimbangkan apakah kesalahan itu karena kesalahan ijtihad ataukah kesalahan prinsip yang tak termaafkan, yang demikian ini adalah sikap sufaha’ (orang-orang dungu) semacm sururiyyun (pengikut Muhammad bin Surur) atau haddadiyyun (pengikut Mahmud Al-Haddad). Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak menganggap para ulama itu ma’shum dan tidak pula melecehkan ulama ketika mendapati kesalahan mereka. Dengan prinsip inilah kita tetap memuliakan Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Dan juga kita memuliakan Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli. Kita mendoakan rahmat Allah bagi para imam-imam tersebut. Dan kita memahami segala perselisihan di kalangan mereka dengan ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mengerti mana yang benar untuk kita ikuti dan mana yang salah untuk kita tinggalkan.
Ahlus Sunnah wal Jamaah itu berkata dan berbuat dengan bersandarkan kepada ilmu. Adalah bukan akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah bila segerombolan orang berbuat hura-hura dan kemudian menvonis seseorang atau sekelompok orang. Tertapi ketika ditanyai, apa dasar kamu berbuat demikian? Jawabannya: Kami masih menunggu fatwa dari ulama!
Kita katakan kepada mereka ini: “Apalagi yang kalian tunggu dari ulama setelah kalian berbuat, menvonis dan menilai? Apakah kalian berbuat dulu baru mencari pembenaran terhadap perbuatan kalian dengan fatwa ulama? Kalau begitu yang kalian tunggu adalah fatwa pembenaran dari ulama terhadap perbuatan kalian. tentu yang demikian ini bukanlah akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Gubernur Bukhara Khalid bin Ahmad As-Sadusi dan mufti negeri Bukhara Huraits bin Abil Waraqa’ telah menyimpan ketidaksenangan kepada Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dan berencana untuk mengusirnya dari negeri Bukhara. Ketika sedang mencari-cari alasan pembenaran terhadap perbuatannya tiba-tiba datang surat dari Al-Imam Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli dari Naisabur yang memperingatkan sang gubernur dari bahaya bid’ah yang dibawa oleh Al-Imam Al-Bukhari. Surat ini seperti kata pepatah: pucuk dicita ulam tiba. Tanpa selidik dan tanpa teliti, segera surat ini dibacakan di hadapan penduduk Bukhara dan setelah itu datanglah keputusan pengusiran Al-Bukhari dari negeri kelahirannya, sehingga yang diharapkan, kesan orang bahwa pengusiran itu karena semata-mata alasan agama dan bukan alasan yang lainnya.
Tetapi Allah Maha Tahu dan Dia membongkar segala kejahatan di balik alasan-alasan yang memakai atribut agama itu. Sehingga yang tertulis dalam sejarah Islam sampai hari ini adalah kesan buruk terhadap perbuatan Khalid bin Ahmad As-Sadusi dan Huraits bin Abil Waraqa’. Dan bukan kesan buruk yang dibikin-bikin oleh para pencoleng fatwa ulama itu. Camkanlah! Pengkhianatan dan kedustaan itu berulang-ulang terus dari masa ke masa. Hanya saja pemainnya yang berganti-ganti. Tetapi semua itu akan menjadi sejarah bagi anak cucu di belakang hari sebagaimana sejarah pengkhianatan dan kedustaan terhadap Al-Imam Al-Bukhari yang sekarang menjadi pergunjingan bagi generasi ini.
Daftar Pustaka

1). Al-Qur’anul Karim
2). At-Tarikhul Kabir, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Darul Fikr, tanpa tahun.
3). Kitabuts Tsiqat, Al-Imam Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Abi Hatim At-Tamimi Al-Busti, darul Fikr, th. 1393 H / 1993 M.
4). Kitabul Jarh wat Ta`dil, Al-Imam Abi Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim At-Tamimi Al-Handlali Ar-Razi, darul Fikr, tanpa tahun.
5). Khalqu Af’alil Ibad, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Muassasatur Risalah, th. 1411 H / 1990 M.
6). Tarikh Baghdad, Al-Imam Abi Bakr Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdadi, Darul Fikr, tanpa tahun.
7). Al-Ikmal, Al-Amir Al-Hafidh Ali bin Hibatullah Abi Naser bin Makula, Darul Kutub Al-Ilmiah, th. 1411 H / 1990 M.
8). Thabaqatul Hanabilah, Al-Qadli Abul Husain Muhammad bin Abi Ya’la, Darul Ma’rifah, Beirut, Libanon, tanpa tahun.
9). Rijal Shahih Al-Bukhari, Al-Imam Abu Naser Ahmad bin Muhammad bin Al-Husain Al-Bukhari Al-Kalabadzi, Darul Baaz, th. 1407 H / 1987 M.
10). Al-Kamil fit Tarikh, Al-Allamah Ibnu Atsir, Darul Fikr, tanpa tahun.
11). Tahdzibul Kamal, Al-Hafidh Abil Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, Muassasatur Risalah, th. 1413 H / 1992 M.
12). Kitab Tadzkratul Huffadl, Al-Imam Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahabi, Darul Kutub Al-Ilmiah, tanpa tahun.
13). Siyar A`lamin Nubala’, Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi, Muassasatur Risalah, th. 1417 H / 1996 M.
14). Al-Bidayah wan Nihayah, Al-Hafidh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Darul Kutub Al-Ilmiyah, th. 1408 H / 1988 M.
15). Hadyus Sari Muqaddimah Fathul Bari, Al-Imam Al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Al-Maktabah As-Salafiyah, tanpa tahun.
16). Qaidah fi Jarh wat Ta’dil, Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali As-Subki, Al-Maktabah Al-Ilmiah, Lahore, Pakistan, th. 1403 H / 1983 M.

Minggu, 22 Mei 2011

THOBAQOT

Tingkatan-Tingkatan Perawi Hadits Dalam Hitungan Masa
( Sebuah Tinjauan Terhadap Ilmu Thabaqat Ar Ruwah ) 
A.   Pendahuluan
Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua, Hadits berbeda dengan Al Qur’an yang semua ayatnya diterima secara mutawatir. Sedangkan hadits dalam periwayatanya sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagian yang lain secara ahad.[1] Bahkan, kodifikasi hadits yang resmipun baru dirintis pada masa khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz (w.110 H/720M)[2] melalui usaha keras ulama Muhammad bin muslim bin Syihab az-Zuhri (w.124 H/742 M). Oleh karenanya penelitian terhadap orisinalitas hadits memang sangat diperlukan agar validitasnya sebagai hadits Nabi dapat dipertanggungjawabkan. Pentingnya problem orisinalitas hadits ini, telah memotivasi para Ulama Hadits melahirkan kajian ilmu yang berkait dengan sanad, yakni ilmu Rijal Al Hadits dan Ilmu ‘Ilalil Hadits.[3]
Sebagai salah satu cabang ‘Ulumul Hadits, Ilmu rijalil hadits merupakan ilmu yang secara spesifik mengelupas keberadaan para rijal hadits atau para rawi atau transmitter hadits. Ilmu Rijalil Hadits memiliki dua anak cabang, yakni Ilmu Tarikh Ar Ruwah atau Ilmu Tarikh Ar-Rijal dan Ilmu Al Jarh Wa At Ta’dil.[4]
Dari dua pokok Ilmu Rijal Al Hadits yang utama itu terpecahlah menjadi beberapa ilmu yang semuanya mencabang kepadanya dengan mempunyai ciri pembahasan yang lebih mengarah kepada hal-hal tertentu. Ilmu cabang itu antara lain:
1.    Ilmu Thabaqat Ar Ruwah  ; yaitu suatu ilmu pengetahuan yang dalam pokok pembahasanya diarahkan kepada kelompok orang-orang yang berserikat dalam satu alat pengikat yang sama. Atau singkatnya mengelompokkan para rawi kedalam suatu angkatan atau generasi tertentu.
2.    Ilmu Al-Mu’talif wa Al Mukhtalif ( المؤتلف والمختلف) yakni suatu ilmu yang membahas tentang perserupaan bentuk tulisan dari nama asli, nama samaran dan nama keturunan para rawi, namun bunyi bacaannya berlainan.  Seperti : سلام  dan سلّام  , البَزَّار  dan البَزَّاز
3.    Ilmu Al-Muttafiq wa Al Muftariq ( المتفق والمفترق); yaitu suatu ilmu yang membahas tentang perserupaan bentuk tulisan dan bunyi bacaanya, akan tetapi berlainan personalianya. Seperti : الخليل بن أحمد  ada enam orang salah satunya guru dari imam sibawaih,  احمد بن جعفر بن حمدان ada empat orang pada tahun pertama.
4.    Ilmu Al Mubhamat (المبهمات) ; Ilmu yang membahas nama-nama rawi yang tidak disebut dengan jelas   seperti pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas r.a أن رجلا قال : يا رسول الله , الحج كل عام ؟. Yang di kehendaki dengan رجل disini ialah . أقرع بن حابس [5]
Dalam hal ini sesuai dengan tugas kami, nantinya pembahasan kami hanya  arahkan pada cabang yang pertama yakni Tingkatan-Tingkatan Perawi Hadits Dalam Hitungan Masa : Sebuah Tinjauan Terhadap Ilmu Thabaqat Ar Ruwah  . 
B.  Ilmu Thabaqat Ar Ruwah  .
Ilmu Thabaqat itu, termasuk bagian dari ilmu rijal al hadits , karena obyek yang dijadikan pembahasannya ialah rawi-rawi yang menjadi sanad suatu hadits. Hanya saja masalahnya berbeda. Kalau dalam ilmu rijal al hadits para rawi dibicarakan secara umum tentang hal ihwal, biografi, cara-cara menerima dan memberikan Al Hadits dan lain sebagainya, maka dalam ilmu Thabaqah, menggolongkan para rawi tersebut dalam satu atau beberapa golongan, sesuai dengan alat pengikatnya. Misalnya rawi-rawi yang sebaya umurnya, digolongkan dalam satu thabaqah dan para rawi yang seperguruan, mengikatkan diri dalam satu thabaqah pula.
Dalam bahasa Thabaqat diartikan  القوم المتشابهون :  kaum yang serupa atau sebaya. Sedangkan menurut istilah Thabaqat adalah :
قَوْمٌ تَقارَبُوْا فى السِّنِّ والإسنَاد أو فى الإسنَاد فقط
Kaum yang berdekatan atau sebaya dalam usia dan dalam isnad atau dalam isnad saja”.[6]
Thabaqat adalah kelompok beberapa orang yang hidup dalam satu generasi atau satu masa dan dalam periwayatan atau isnad yang sama atau sama dalam periwayatan saja. Maksud berdekatan dalam isnad adalah satu perguruan atau satu guru atau diartikan berdekatan dalam berguru. Jadi para gurunya sebagian periwayat juga para gurunya sebagian perawi yang lain.
Para ulama membuat ta’rif Ilmu Thabaqat, ialah :
علم يبحث فيه عن كل جماعة تشترك في أمر واحد
“ Suatu ilmu pengetahuan yang dalam pokok pembahasanya diarahkan kepada kelompok orang-orang yang berserikat dalam satu alat pengikat yang sama.[7]
Misalnya ditinjau dari alat pengikatnya, yaitu perjumpaanya dengan nabi (shuhbah), para shahabat itu termasuk dalam thabaqah yang pertama, para tabi’in termasuk dalam  thabaqat yang kedua, para tabi’it tabi’in termasuk thabaqah yang ketiga dan seterusnya. Kemudian thabaqat masing-masing ini dibagi-bagi lagi menjadi beberapa thabaqat lagi yang nanti akan dijelaskan pada pembahasanya. Asal mula pembagian perawi berdasarkan thabaqat adalah dari tuntunan Islam sendiri, dimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Imran bin Hushain radhiyallohu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِى قَرْنِى , ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ , ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ . قَالَ عِمْرَانُ: فَلاَ أَدْرِى أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنِهِ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا.[8]
Sebaik-baik ummatku yang ada di zamanku, kemudian yang datang sesudah mereka, kemudian yang datang sesudah mereka…” Kata Imran r.a, “Saya tidak tahu apakah ia menyebut sesudah masanya dua masa atau tiga” (HR. Bukhari).
Ilmu ini telah muncul dan berkembang di tangan para ulama hadits sejak abad ke-2 H. Pada perkembanganya ilmu ini tidak terbatas pada pembagian ruwaat atas thabaqat berdasarkan perjumpaan mereka terhadap Syuyukh, tapi juga berkembang di kalangan muhadditsin kepada pembagian mereka berdasarkan makna dan I’tibar yang lainnya seperti fadl (keistimewaan) dan sabiqah (kesenioran) sebagaimana dalam hal sahabat, atau hal (keadaan) dan manzilah (kedudukan) seperti yang disebutkan oleh Abbas Ad Dauraqi [9](wafat 271 H), ada Thabaqat Fuqaha, Thabaqat Ruwaat, Thabaqaat Mufassirin dan seterusnya. Penyusunan kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu ini terus berlanjut dan berkembang hingga akhir abad-9 H. Bahkan muncul system pembagian thabaqat dalam bidang keilmuan yang lain. Misalnya Thabaqaat Al Qurra, Thabaqaat Al Fuqahaa, Thabaqaat Ash Shufiyah, Thabaqaat Asy Syu’ara dan sebagainya.[10]
Menurut Ibnu Hajar Al Asqolani [11]Thabaqat para perawi hadits sejak masa shahabat sampai pada akhir periwayatan ada 12 thabaqat yaitu sebagai berikut ;
1.      Shahabat dengan berbagai tingkatannya.
2.      Tabi’in senior seperti Sa’d bin al-Musayyab.
3.      Tabi’in Pertengahanseperti al-Hasan dan Ibn Sirin.
4.      Tabi’in Dekat pertengahan seperti Az-Zuhri dan Qatadah.
5.      Tabi’in yunior tetapi tidak mendengar dari seorang shahabat Seperti al-A’masy.
6.      Hadir bersama Tabi’in yunior tetapi tidak bertemu dengan seorang shahabat Seperti Ibn Juraij.
7.      Tabi’ Tabi’in senior Seperti Malik bin Anas dan Sufyan Ats-Tsauri.
8.      Tabi’ Tabi’in pertengahan Seperti Ibnu Uyaynah dan Ibnu Ulayyah.
9.      Tabi’ Tabi’in yunior seperti Yazid bin Harun, Abu Dawud, Ath-Thayalisi , abdur Razaq dan Asy-Syafi’i.
10.  Murid Tabi’ Tabi’in senior yang tidak bertemu dengan Tabi’in Seperti Ahmad bin Hanbal.
11.  Murid Tabi’ Tabi’in pertengahan dari mereka Seperti Adz-Dzuhali dan Al-Bukhori.
12.  Murid Tabi’ Tabi’in yunior dari mereka Seperti At-Tirmidzi dan di samakan denganya sebagian guru dari Imam enam yang agak terakhir meninggalnya seperti sebagian guru-guru an Nasa’i .[12]

C.  Faedah mempelajari Thabaqat.
Imam As Sakhawi[13] mengatakan, “ Faidah ilmu thabaqaat ini adalah keamanan dari bercampurnya al mutasyabihin (para rijal hadits yang memiliki kesamaan); seperti yang sama namanya atau kuniyahnya atau yang lain, kita dapat juga menelaah terjadinya tadlis secara jelas dan menyingkap hakikat an’anah untuk mengetahui hadits yang mursal atau munqathi’ dan membedakannya dari yang musnad, selain  untuk mengetahui ke-muttashil-an atau ke-mursal-an suatu hadits. Sebab suatu hadits tidak dapat ditentukan sebagai hadits muttashil atau mursal, kalau tidak diketahui apakah tabi’iy yang meriwayatkan hadits dari shahaby itu hidup segenerasi atau tidak. Kalau seorang tabi’iy itu tidak pernah segenerasi dengan shahaby, sudah barang tentu hadits yang diriwayatkannya tidak muttashil, atau apa yang didakwakan sebagai sabda atau perbuatan Nabi itu adalah mursal.[14]

D.  Thabaqat Shahabat.
Dari segi bahasa shahabat diambil dari kata (الصّحَابَةُ) dengan makna (الصُّحْبَة): persahabatan,  الصَّحَابِي dan الصَّاحِب : yang punya atau menyertai. Jamaknya  أَصْحَابٌ dan صَحْبٌ dan yang banyak di gunakan الصّحَابَةُ dengan makna الأَصْحَاب
Menurut istilah Muhadditsin shahabat adalah :

من لقي النبي صلى الله عليه وسلم مسلما ومات على الإسلام ولو تخللت ذلك ردّة على الأصح
Orang yang bertemu dengan Nabi S.a.w dalam keadaan beragama islam dan mati dalam islam sekalipun dipisah murtad di tengah-tengah menurut pendapat yang benar.[15]
Dari definisi diatas berarti tergolong shahabat siapa saja seorang muslim yang bertemu dengan Nabi S.a.w baik sebentar atau dalam waktu lama, baik meriwayatkan suatu hadits atau tidak, berperang bersama beliau atau tidak, melihat Nabi sekalipn tidak duduk bersama beliau dan sekalipu tidak melihat seperti orang buta. Uraian ini sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Berbeda dengan pengertian shahabat yang ditawarkan oleh Ushuliyyin yaitu setiap orang yang lama persahabatanya dengan Nabi S.a.w dan mengikutinya.
Jumlah para shahabat tidak terhitung besarnya atau sulit dihitung karena mereka berpencar-pencar ke berbagai negara dan daerah setelah masa perluasan wilayah. Tetapi sebagian ulama ada yang menghitung lebih dari 100.000 orang shahabat, bahkan Abu Zarah Ar-Razi menghitungnya sebanyak 140.000 orang shahabat.yang paling akhir meninggal dunia diantara mereka adalah Abu Ath-Thufail bin Watsilah Al-Laitsi di mekah pada tahun 100 H dan sebelum itu Anas bin Malik di Bashrah pada tahun 90 H. Diantara mereka yang lebi dahulu masuk islam dari kalangan laki-laki dewasa dikalangan dewasa Abu bakar, dari kalangan kaum wanita khodijah, dari kalangan anak-anak Ali Bin Abu Thalib, dari kalangan mawali (budak yang telah dimerdekakan) Zaid Bin Haritsah, dan dari kalangan budak adalah Bilal bin Rabah.
Diantara mereka yang paling banyak meriwayatkan hadits adalah Abu Hurairah (w.59 H) sebanyak 5374 buah hadits, Abdullah bin Umar (w.73 H)  sebanyak 2630 buah hadits, Anas bin Malik (w.90 H)  sebanyak 2286 buah hadits, Aisyah binti Abu Bakar (w.58 H) sebanyak 2210 buah hadits, Abdullah bin Abbas (w.68 H)  sebanyak 1660 buah hadits, dan Jabir bin Abdullah (w.78 H)  sebanyak 1540 buah hadits.
Diantara shahabat yang banyak memberikan fatwa adalah Ibn Abbas dan 6 orang shahabat senior yaitu Umar bin Khathab, Aly bin Abi Thalib, ‘Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu ad-Darda’, dan Ibn Mas’ud.[16]
Para penulis buku tentang shahabat berbeda-beda dalam menyebut tingkat-tingkat shahabat. Ibn Sa’d menjadikan mereka kedalam lima tingkat. Al Hakim menjadikan mereka kedalam dua belas tingkat. Sebagian ulama menjadikan mereka lebih dari itu. Perbedaan ini dikarnakan diantara mereka ada yang melihat dari segi masuk islam lebih dahulu atau dari segi hijrahnya, atau dilihat dalam keikutsertaan dalam berbagai peperangan penting. Namun yang populer adalah yang dikemukakan oleh al-Hakim yaitu :
1.      Mereka yang mula-mula masuk islam, seperti 10 shahabat yang diberi berita gembira masuk surga.
2.      Mereka yang masuk islam sebelum musyawarah ahli makah di Daru’n-Nadwah, untuk membuat makar kepada Nabi Muhammad S.a.w. dikala ‘Umar bin Khathab r.a telah menyatakan keislamanya, Nabi membaiat Sa’id bin Zaid dan Sa’d bin Abi Waqqash.
3.      Mereka yang hijrah ke Habasyah, pada tahun 5 kenabian. Mereka terdiri dari 11 laki-laki dan 4 wanita yang dipimpin oleh Utsman bin Affan diantaranya Khatib bin ‘Amr bin ‘Abi’s-Syam, Suhail bin Baidla’ dan Abu Khudzaifah bin ‘Atabah.
4.      Shahabat yang mengikuti Aqabah al-Ula yang terdiri dari 12 orang kaum Anshar seperti Jabir bin Abdillah, Rafi’ bin Malik, ‘Ubadah bin Shamit dan Sa’ad bin Zararah.
5.      Shahabat yang mengikuti Aqabah al-Tsaniah seperti Barra’ bin Ma’rur, Jabir bin Abdullah bin Jubair dan lain-lain yang mayoritas adalah kaum Anshar, yakni terdiri dari 70 laki-laki dan 2 wanita.
6.      Kaum Muhajirin yang pertama, yakni mereka yang menyusul Nabi di Quba’, sebelum sampai di Madinah seperti: Ibnu Salamah bin Abi Asad dan ‘Amir bin Rabi’ah.
7.      Mereka yang mengikuti perang badar, mereka sebanyak 313 orang, antara lain Sa’ad bin Mu’adz al-Miqdad bin al-Aswad. Seperti yang yang dituturkan oleh beliau Nabi S.a.w :
لعلَّ اللَّهَ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ : اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ [17]
8.      Mereka yang berhijrah ke Madinah setelah perang badar dan sebelum Hudaibiyyah, seperti al-Mughirah bin Syu’bah.
9.      Mereka yang menghadiri Bai’at Ar Ridlwan di Hudaibiyyah, seperti Salamah bin Akwa’, Sinan bin Abi Sinan dan Abdullah bin ‘Amr.
10.  Mereka yang hijrah setelah perdamaian Hudaibiyyah dan sebelum Fathu Makkah, seperti Khalid bin Walid dan ‘Amr bin ‘Ash.
11.  Mereka yang masuk islam setelah / saat Fathu Makkah, mereka terdiri dari 1000 orang antara lain Abu Sufyan dan Hakim bin Hizam.
12.  Kalangan anak-anak yang melihat Nabi setelah Fathu Makkah dan Haji Wada’ seperti Hasan dan Husain putra ‘Ali r.a, Sa’d bin Yazid, ‘Abdullah bin Tsa’labah, ‘Abdullah bin Zubair.[18]
Adapun yang membagi Thabaqat shahabat kepada 5 thabaqat, tersusun sebagai berikut ;
1.      Ahli badar.
2.      Shahabat yang lebih dulu masuk islam, berhijrah ke Habasyah dan menyaksikan perang uhud dan pertemuan-pertemuan sesudahnya.
3.      Shahabat yang menyaksikan/ mengikuti perang khadaq.
4.      Shahabat yang memeluk islam setelah Fathu Makkah dan sesudahnya.
5.      Anak-anak dan budak-budak.[19]
Ahlus Sunnah sependapat bahwa shahabat yang paling utama adalah Abu Bakar lalu Umar, setelah itu Utsman lalu ‘Ali bin Abi Thalib. Al-khaththabiy menceritakan bahwa ahlus sunnah kuffah mendahulukan Ali atas Utsman dan inilah yang diikuti Ibn Khuzaimah. Selanjutnya shahabat lain yang masuk kelompok sepuluh orang yang mendapat jaminan surga, lalu Ahli Badar, lalu Ahli Uhud, lalu para peserta Bai’ah Ridlwan dan kaum Anshar yang memiliki keistimewaan dengan pernah mengikuti dua Aqobah, Assabiqunal-Awwalun, yaitu mereka yang pernah melakukan shalat dengan menghadap dua kliblat menurut Ibn Al-Musayyab, Muhammad ibn Sirrin dan Qotadah, dan menurut pendapat Asy-Sya’biy peserta Bai’ah Ridlwan, serta menurut Muhammad ibn Ka’b dan ‘Atho’ bin Yassar adalah Ahli Badar. Ada juga yang mengatakan mereka yamg masuk islam sebelum Fathu Makkah. Ini adalah pendapat al-Hasan al-Bashriy.[20]
E.  Thabaqat Tabi’in.
Tabi'iy adalah orang yang bertemu dengan satu orang sahabat atau lebih. Sebagian mengatakan untuk mendapatkan status tabi'iy, tidak cukup hanya dengan bertemu saja, berbeda dengan status shahabat yang sudah cukup hanya dengan bertemu saja karena keutamaan bertemu dengan Nabi SAW., berkumpul bersama beliau atau melihat beliau. Semua itu memiliki pengaruh yang besar dalam memperbaiki hati dan membersihkan jiwa, yang belum tentu ada jika seseorang bertemu dengan shahabat dengan tanpa mengikuti dan lama belajar dengannya.
Ibn Hibban mensyaratkan, bahwa ia harus melihat shahabat pada saat mampu menghafal, yakni dalam usia Tamyiz. Bila belum dalam usia Tamyiz, maka tidak ada pengaruh sama sekali melihat shahabat terhadap status ketabi'in.[21]   
Mahmud ath-Thahan dalam kitab Taisir musthalahul Hadits menjelaskan tentang definisi Tabi'in, menurutnya Tabi'in adalah jamak dari kata tabi'iy atau tabi' yang berarti mengikuti atau berjalan dibelakang. Menurut istilah Tabi'in adalah sebagai berikut :
هو من لقي صحابيا مسلما ومات على الإسلام
Adalah orang muslim yang bertemu dengan seorang shahabat dan mati dalam beragama islam.
Akan tetapi mayoritas ulama Hadits berpendapat bahwa Tabi'iy adalah orang yang bertemu dengan satu orang sahabat atau lebih, meski tidak pernah bersama.
Jumlah tabi'in tidak terhitung karena setiap orang muslim yang bertemu dengan seorang shahabat disebut tabi'in padahal shahabat yang ditinggalkan oleh rasulullah lebih dari seratus ribu orang. Para ulama juga berbeda dalam membagi thabaqat tabi'in tergantung dari segi tinjauan yang mereka pakai. Imam muslim misalnya membaginya kedalam tiga thabaqat, Ibn Sa'd membaginya 4 thabaqat, dan al-Hakim lebih banyak lagi yakni membaginya kedalam 15 thabaqat.
Thabaqat pertama dari para tabi'in, ialah tabi'iy yang berjumpa dengan 10 orang shahabat, yang digembirakan dengan jaminan surga.[22]  Satu-satunya tabi'iy yang berjumpa dengan 10 shahabat ahli surga itu ialah Qais bin Abi Hazim. Ibnu's-Shalah berkata bahwa Qais mendengar hadits dari 10 shahabat ahli surga tersebut dan meriwayatkannya. Tidak ada seorangpun tabi'ain yang meriwayatkan hadits dari 10 shahabat ahli surga, selain ia sendiri.
Menurut Hakim Abu Abdillah An-Naisabuy, selain Qais masih banyak tabi'iy yang meiwayatkan dari shahabt sepuluh, seperti Utsman An-Nahdy, Qais bin Ubbad, Husain bin Al-Mundzir, Abi Wa'il dan Ibnu'l-Musayyab. Untuk yang terakhir ini banyak mendapat tantangan, disebabkan Ibnu'l-Musayyab itu baru dilahirkan pada waktu Khalifah Umar bin Khaththab menjabat Khalifah,. Dengan demikian sudah barang tentu ia tidak pernah bertemu dengan 10 shahabat yang telah wafat sebelum penobatan Umar bin Khaththab.
 Thabaqat terakhir, ialah mereka yang bertemu dengan Anas bin Malik, untuk yang berdiam di Bashrah, bertemu dengan Saib bin Yazid bagi mereka yang bertempat tinggal di Madinah, berjumpa dengan Abu Umamah bin 'Ajlan al-Bahily bagi mereka yang berdiam di Syam, bertemu dengan Abdullah bin Abi Aufa bagi mereka yang berdiam di Hijaz, dan berjumpa dengan Abu Thufail bagi mereka yang berdiam di Makkah.
Di antara tabi’in terdapat kelompok mukhadhramin, yaitu orang yang mendapati masa Jahiliyyah dan masa Nabi SAW. Dan memeluk islam namun tidak sempat melihat beliau, misalnya Abu Raja’ Al ‘Atharidliy, Suwaid ibn Ghaffah dan Tabi’iy lainya. Al hafidh Burhanuddin Sibth ibn al ‘Anjamiy menghitung mereka sebanyak lebih dari empat puluh Mukhadhram.[23]
Sedangkan tentang Tabi’in yang paling utama para Ulama Hadits berbeda pendapat, penduduk Madinah mengatakan, yang paling utama adalah Sa’d Ibn al Musayyab (15-94 H).  Penduduk kufah mengatakan, yang paling utama adalah ‘Alqamah ibn Qois an Nakha’iy (28 SH- 62 SH) dan al Aswad bin Yazid an Nakha’iy (-75 H) sebagian ulama’ mengatakan, yang paling utama adalah Uwais Al Qarniy (-37 H). Penduduk Basrah mengatakan, yang paling utama adalah al Hasan al Bashri (21-110 H). Penduduk makkah mengatakan, yang paling utama adalah Atha’ bin Abi Rabbah (27-114 H). dan semuanya ahli keutamaan dan ilmu. Dan kita masih bias menambahkan banyak lagi pembesar tabi’in seperti Urwah bin Zubair (22-94 H), Amir asy Sya’biy (19-103 H), Muhammad bin Sirrin (33-100 H) dan lain lain.[24]
Dari kelompok Tabi’in wanita yang masuk dalam kategori pembesar adalah Hafshah Binti Sirrin (wafat sesudah tahun seratus Hijriyah), ‘Amrah binti Abdirrahman (21-98 H) dan Umm ad Darda’ ash Shughra ad Dimasyqiyah [25]( -81 H), semoga Alloh SWT. meridloi mereka semua.
Dan tokoh Tabi’in yang ahli fikih ada tuju orang, yaitu ; Sa’d ibn al Musayyab, al Qasim ibn Muhammad bin Abu Bakar as Shiddiq (37-107H), ‘Urwah bin Zubair, Kharijah bin Zaid bin Tsabit (29-99 H), Sulaiman bin Yassar (37-107 H) Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud al Hudzali ( -98H), ada  yang mengatakan Salim bin Abdillah bin Umar (-106 H), dan ada  yang mengatakan Abu Bakar bin Abdirrahman bin al Harits bin Hisyam al Makhzumiy (-94 H)[26] semoga Alloh SWT. meridloi mereka semua.

F.   Kitab-kitab Thabaqat.
Kitab Ilmu Thabaqat Ar Ruwah   yang di tulis oleh para Ulama' sekitar dua puluhan lebih sedikit, diantara kitab yang termasyhur adalah ;
1.         At-Thabaqat Al Kubra. Karya Muhammad bin Sa'ad bin Mani' Al Hafidh Katib Al Waqidy ( 168-230 H). kitab ini yang terpercaya dan terpenting bagi sumber sejarah Islamiyah mengenai rijalul-Hadits. Di cetak di Leiden tahun 1322 H, terdiri dari 13 jilid.
2.         Thabaqat Ar Ruwah  . Karya Al-Hafidh Abu 'Amr Khalilfah bin Khayath Asy-Syaibani (240 H), salah seorah guru Bukhari, terdiri dari 8 jilid.
3.         Thabaqat At Tabi'in, Karya Imam Muslim bin Hajjaj Al Qusyairy (204 – 261 H)
4.         Thabaqat Al Muhadditsin wa Ruwah . Karya Nu'aim Ahmad bin Abdullah bin Ahmad Al Ashbihany (336-430 H)
5.         Thabaqat Al Hufazh. Oleh Syamsuddin Adz Dzahaby (673-748 H)
6.         Thabaqat Al Hufazh Oleh Jalaluddin As Suyuthy ( 849 - 911 H) Di cetak di Guthe tahun 1833 H.[27]

G.    Kesimpulan
Disebutkan di muka bahwa Oleh karenanya penelitian terhadap orisinalitas hadits memang sangat diperlukan agar validitasnya sebagai hadits Nabi dapat dipertanggungjawabkan. Dan kemudian lahirlah kajian ilmu yang berkait dengan sanad, yakni ilmu Rijal al Hadits dan Ilmu ‘Ilalil Hadits.
 Ilmu rijalil Hadits memiliki dua anak cabang, yakni Ilmu Tarikh ar-Ruwah atau Ilmu Tarikh Ar-Rijal dan Ilmu Al Jarh Wa At Ta’dil. Dari dua pokok Ilmu Rijal Al Hadits yang utama itu terpecahlah menjadi beberapa ilmu yang semuanya mencabang kepadanya dengan mempunyai ciri pembahasan yang lebih mengarah kepada hal-hal tertentu. Ilmu cabang itu antara lain: Ilmu Thabaqat Ar Ruwah  , Ilmu Thabaqat Ar Ruwah  Ilmu Al-Muttafiq wa Al Muftariq Ilmu Al Mubhamat.
Ilmu Thabaqat merupakan bagian dari ilmu rijal al hadits, dalam Ilmu Thabaqat obyek yang dijadikan pembahasannya ialah rawi-rawi yang menjadi sanad suatu hadits. Kalau dalam ilmu rijal al hadits para rawi dibicarakan secara umum tentang hal ihwal, biografi, cara-cara menerima dan memberikan Al Hadits dan lain sebagainya, maka dalam ilmu Thabaqah, menggolongkan para rawi tersebut dalam satu atau beberapa golongan, sesuai dengan alat pengikatnya.
Dengan mengetahui ilmu thabaqaat kita dapat menelaah terjadinya tadlis secara jelas dan menyingkap hakikat an’anah untuk mengetahui hadits yang mursal atau munqathi’ dan membedakannya dari yang musnad, selain  dapat mengetahui ke-muttashil-an atau ke-mursal-an suatu hadits.
Akhirnya ; teguran dan kritikan terhadap kekhilafan dan kekurangan yang kemungkinan besar dijumpai dalam makalah ini, sungguh masih sangat kami harapkan dan amat sangat kami hargai.
Lebih dari itu, hanya Allahlah yang kami harapkan menjadikan makalah ini bermanfaat. Amiin.


                                                      Kediri, 14 Desember 2010

                                                                       Pemakalah












DAFTAR PUSTAKA
1.      Mahmud ath-Thahan, Taisir musthalahul Hadits, (Baerut; Dar al-Qur'an al-Karim,1979).
2.      Suryadi, Drs, Metodologi Ilmu Rijalil Hadits, (Yogyakarta; Madani Pustaka Ilmiah, 2003)
3.      Fatchur Rahman, Drs Ikhtshar Musthalahul Hadits (Bandung ; PT. Al Ma'arif,1974)
4.      Bukhari, Shahih,(Baerut; Dar El-Fikr,1995),
5.      Al Asqalani, Ibn Hajar, Taqribut Tahdzib (Baerut ; Dar El Fikr, 1995 )
6.      http;/ www.Markaz assunah.com
7.      Abdul Majid Khon, Haji, Ulumul Hadits, (Jakarta; Amzah,2008)
8.      Ash SHIDDIEQY, Muhammad Hasbi, Tengku, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits ( Jakarta; Bulan Bintang 1954).
9.      Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribun Nawawi karya As Suyuthi, ( CD. Maktabah Syamela).
10.  Ushul Al Hadits Dr. Muhammad Ajajj Al-Khatib, (Baerut ; Dar El Fikr 1430 H ).
11.  Sahliono, Biografi dan Tingkatan perowi Hadits (Jakarta; Pustaka Panji Mas, 1990).
12.   Al-Khatib.M.Ajajj USHUL AL HADITS—Pokok pokok Ilmu Hadits penerjemah Drs. H.M.Qodirun Nur,(Jakarta;Graha Media Pratama, 1998).
13.  http://id.wikipedia.org/wiki/Umar_bin_Abdul-Aziz
14.  Al Asqalani, Ibn Hajar Taqribut Tahdzib ( Baerut ; Dar El Fikr, 1451 H).
15.  Al Albani, M. Nashiruddin. Ringkasan Shahih Muslim, penulis M. Nashiruddin Al Albani, penerjemah ; Elly Lathifah, penyunting ; Harlis Kurniawan (Jakarta ; Gema Insani Press 2006).
16.  Ma’rifah  Ulum Al Hadits,  (CD. Maktabah Syamela).
17.  Al Asqalani, Ibn Hajar, Bulugh Al Maram (Jakarta ; Dar El Kutub Al Islamiyyah, 1422 H).












[1]  Mahmud Ath Thahan, Taisir musthalahul Hadits, (Baerut; Dar Al Qur'an Al Karim,1979)h.18-222.
[2] Umar bin Abdul-Aziz عمر بن عبد العزيز, bergelar Umar II, lahir pada tahun 63 H / 682 – Februari 720; umur 37–38 tahun)  adalah khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 717 (umur 34–35 tahun) sampai 720 (selama 2–3 tahun). ia bukan merupakan keturunan dari khalifah sebelumnya, tetapi ditunjuk langsung, dimana ia merupakan sepupu dari khalifah sebelumnya, Sulaiman. Salah satu dari dua penguasa bani umayah yang pernah mendapat surat dari  raja Sriwijaya. Tercatat Raja Sriwijaya pernah dua kali mengirimkan surat kepada khalifah Bani Umayyah. Yang pertama dikirim kepada Muawiyah I, dan yang ke-2 kepada Umar bin Abdul-Aziz. Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (860-940) dalam karyanya Al-Iqdul Farid.
[3] Ilmu ‘Ilalil Hadits adalah ilmu yang membahas sebab-sebab tersembunyi yang menjadikan cacatnya hadits yang secara lahiriyah terhindar dari itu.
[4] Suryadi, Drs, Metodologi Ilmu Rijalil Hadits, (Yogyakarta; Madani Pustaka Ilmiah,2003)h.2
[5] Mahmud ath-Thahan, Taisir musthalahul Hadits, (Baerut; Dar Al Qur'an al-Karim,1979)h.171. dan lihat pula, Fatchur Rahman, Drs, Ikhtshar Musthalahul Hadits (Bandung ; PT. Al Ma'arif,1974) h.293-294.
[6] Mahmud ath-Thahan, Taisir musthalahul Hadits, (Baerut; Dar Al Qur'an Al Karim,1979) h.189. lihat pula Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribun Nawawi karya As Suyuthi Bag ; 63. (CD. Maktabah Syamela).
[7] Fatchur Rahman, Drs Ikhtshar Musthalahul Hadits (Bandung ; PT. Al Ma'arif,1974) h.301.
[8] Bukhari, Shahih,( Bairut; Dar El Fikr,1995), jilid 2 h.324 hadits no.3650. bab Fadloilu Ashhabi an-Nabiy. Dalam redaksi lain yang di keluarkan oleh Imam Muslim :
" ان خيركم قرني, ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ , ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ . قَالَ عِمْرَانُ: فَلاَ أَدْرِى أقال رسول الله ص.م. بعد قرنه بَعْدَ قَرْنِهِ مَرّتيْنِ أَوْ ثَلاَثة, ثم يكون بعدهم قوم يشهدون ولا يستشهدون, ويخونون ولا يُؤتَمَنون, ويَنذرون ولا يوفون. ويظهر فيهم السمن. "
Sebaik-baik kalian adalah pada masaku, kemudian orang-orang pada masa berikutnya, kemudian orang orang pada masa berikutnya, kemudian orang orang pada masa berikutnya. Kata Imran r.a, “ Aku  tidak tahu apakah Rasulullah menyebut orang orang pada masa sesudah masa  beliau dua kali ataukah tiga kali. Setelah itu aka nada orang orang yang memberikan kesaksian yang tidak benar. Mereka berkhianat dan tidak dapat dipercaya. Mereka bernadzar tanpa mereka laksanakan dan mereka tampak gemuk.
[9] Ahmad bin Ibrahim bin Katsir Bin Zaid Ad Dauraqi An Nukriy (Wafat Thn 46 H).
[10] http;/ www.Markaz assunah.com
[11]  Nama sebenarnya Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al Kinani, al ‘Asqalani, asy Syafi’i, al Mishri. Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya “al Hafizh”. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah. Beliau lahir di Mesir pada bulan Sya’ban 773 H / 18 Pebruari 1372 M, namun tanggal kelahirannya diperselisihkan. Beliau tumbuh di sana dan termasuk anak yatim piatu, karena ibunya wafat ketika beliau masih bayi, kemudian bapaknya menyusul wafat ketika beliau masih kanak-kanak berumur empat tahun. Ketika wafat, bapaknya berwasiat kepada dua orang ‘alim untuk mengasuh Ibnu Hajar yang masih bocah itu. Dua orang itu ialah Zakiyuddin al Kharrubi dan Syamsuddin Ibnul Qaththan al Mishri. semenjak kecil beliau memiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Beliau masuk kuttab (semacam Taman Pendidikan al Qur’an) setelah genap berusia lima tahun. Hafal al Qur’an ketika genap berusia sembilan tahun. Di samping itu, pada masa kecilnya, beliau menghafal kitab-kitab ilmu yang ringkas, sepeti al ‘Umdah Al Ahkam, al Hawi ash Shagir, Mukhtashar Ibnu Hajib, Milhatul I’rab, Al Fiyyah Al ‘Iraqiy, Al Fiyyah Ibn Malik dan At Tanbih Fi Furu’ Asy Syafi’iyyah. Semangat dalam menggali ilmu, beliau tunjukkan dengan tidak mencukupkan mencari ilmu di Mesir saja, tetapi beliau melakukan rihlah (perjalanan) ke banyak negeri. Semua itu dikunjungi untuk menimba ilmu. Negeri-negeri yang pernah beliau singgahi dan tinggal disana, di antaranya:
- Dua tanah haram, yaitu Makkah dan Madinah. Beliau tinggal di Makkah al Mukarramah dan shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Yaitu pada umur 12 tahun. Beliau mendengarkan Shahih Bukhari di Makkah dari Syaikh al Muhaddits (ahli hadits) ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki Rahimahullah. Dan Ibnu Hajar berulang kali pergi ke Makkah untuk melakukah haji dan umrah.
- Dimasyq (Damaskus). Di negeri ini, beliau bertemu dengan murid-murid ahli sejarah dari kota Syam, Ibu ‘Asakir Rahimahullah. Dan beliau menimba ilmu dari Ibnu Mulaqqin dan al Bulqini.
- Baitul Maqdis, dan banyak kota-kota di Palestina, seperti Nablus, Khalil, Ramlah dan Ghuzzah. Beliau bertemu dengan para ulama di tempat-tempat tersebut dan mengambil manfaat.
- Shana’ dan beberapa kota di Yaman dan menimba ilmu dari mereka.
Semua ini, dilakukan oleh al Hafizh untuk menimba ilmu, dan mengambil ilmu langsung dari ulama-ulama besar. Dari sini kita bisa mengerti, bahwa guru-guru al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqlani sangat banyak, dan merupakan ulama-ulama yang masyhur. Bisa dicatat, seperti: ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki (wafat 790 H), Muhammad bin ‘Abdullah bin Zhahirah al Makki (wafat 717 H), Abul Hasan al Haitsami (wafat 807 H), Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H), Sirajuddin al Bulqini Rahimahullah (wafat 805 H) dan beliaulah yang pertama kali mengizinkan al Hafizh mengajar dan berfatwa. Kemudian juga, Abul-Fadhl al ‘Iraqi (wafat 806 H) –beliaulah yang menjuluki Ibnu Hajar dengan sebutan al Hafizh, mengagungkannya dan mempersaksikan bahwa Ibnu Hajar adalah muridnya yang paling pandai dalam bidang hadits-, ‘Abdurrahim bin Razin Rahimahullah –dari beliau ini al Hafizh mendengarkan shahih al Bukhari-, al ‘Izz bin Jama’ah Rahimahullah, dan beliau banyak menimba ilmu darinya. Tercatat juga al Hummam al Khawarizmi Rahimahullah. Dalam mengambil ilmu-ilmu bahasa arab, al Hafizh belajar kepada al Fairuz Abadi Rahimahullah, penyusun kitab al Qamus (al Muhith-red), juga kepada Ahmad bin Abdurrahman Rahimahullah. Untuk masalah Qira’atus-sab’ (tujuh macam bacaan al Qur’an), beliau belajar kepada al Burhan at-Tanukhi Rahimahullah, dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 500 guru dalam berbagai cabang ilmu, khususnya fiqih dan hadits. Jadi, al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani mengambil ilmu dari para imam pada zamannya di kota Mesir, dan melakukakan rihlah (perjalanan) ke negeri-negeri lain untuk menimba ilmu, sebagaimana kebiasaan para ahli hadits. Layaknya sebagai seorang ‘alim yang luas ilmunya, maka beliau juga kedatangan para thalibul ‘ilmi (para penuntut ilmu, murid-red) dari berbagai penjuru yang ingin mengambil ilmu dari beliau, sehingga banyak sekali murid beliau. Bahkan tokoh-tokoh ulama dari berbagai madzhab adalah murid-murid beliau. Yang termasyhur misalnya, Imam ash-shakhawi (wafat 902 H), yang merupakan murid khusus al Hafizh dan penyebar ilmunya, kemudian al Biqa’i (wafat 885 H), Zakaria al-Anshari (wafat 926 H), Ibnu Qadhi Syuhbah (wafat 874 H), Ibnu Taghri Bardi (wafat 874 H), Ibnu Fahd al-Makki (wafat 871 H), dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kepakaran al Hafizh Ibnu Hajar sangat terbukti. Beliau mulai menulis pada usia 23 tahun, dan terus berlanjut sampai mendekti ajalnya. Beliau mendapatkan karunia Allah Ta’ala di dalam karya-karyanya, yaitu keistimewaan-keistimewaan yang jarang didapati pada orang lain. Oleh karena itu, karya-karya beliau banyak diterima umat islam dan tersebar luas, semenjak beliau masih hidup. Para raja dan amir biasa saling memberikan hadiah dengan kitab-kitab Ibnu hajar Rahimahullah. Bahkan sampai sekarang, kita dapati banyak peneliti dan penulis bersandar pada karya-karya beliau Rahimahullah.
Di antara karya beliau yang terkenal ialah: Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari, Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, al Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Tahdzibut Tahdzib, ad Durarul Kaminah, Taghliqut Ta’liq, Inbaul Ghumr bi Anbail Umr dan lain-lain. Bahkan menurut muridnya, yaitu Imam asy-Syakhawi, karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab. Sebagian peneliti pada zaman ini menghitungnya, dan mendapatkan sampai 282 kitab. Kebanyakan berkaitan dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan dirayat (kajian).
Ibnu Hajar wafat pada tanggal 28 Dzulhijjah 852 H di Mesir, setelah kehidupannya dipenuhi dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, menurut sangkaan kami, dan kami tidak memuji di hadapan Allah terhadap seorangpun. Beliau dikuburkan di Qarafah ash-Shugra. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas, memaafkan dan mengampuninya dengan karunia dan kemurahanNya. (Dikutip dari Kitab Hadits Bulughul Maraam).


[12] Al Asqalani, Ibn Hajar, Taqribut Tahdzib (Baerut ; Dar El Fikr, 1995 ) h; 9. Dan lihat pula , Abdul Majid Khon, Haji, Ulumul Hadits, (Jakarta; Amzah,2008), h;109-110
[13] شمس الدين أبو الخير محمد بن عبد الرحمن بن محمد بن أبي بكر بن عثمان بن محمد السخاوي
[14] http;/ www.Markaz assunah.com, lihat pula ; Fatchur Rahman, Drs Ikhtshar Musthalahul Hadits (Bandung ; PT. Alma'arif,1974) h.303.
[15] Mahmud ath-Thahan, Taisir musthalahul Hadits, (Baerut; Dar Al Qur’an Al Karim,1979)h.164.
[16] Ibid h ; 165. Lihat pula, Abdul Majid Khon, Haji, Ulumul Hadits, (Jakarta; Amzah,2008), h;111-112.
[17] Di keluarkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dan Imam Muslim dalam shahihnya hadits no. 1720.  Artinya “semoga allah memperhatikan orang orang yang turut perang badar. Sabda rasul selanjutnya ‘ berbuatlah sesukamu, aku benar benar talah mengampunimu,”.  Hadits ini berkenaan dengan khatib bin abu baltaah yang mengirim surat kepada orang kafir mekah. 
[18] Sahliono, Biografi dan Tingkatan perowi Hadits (Jakarta; Pustaka Panji Mas, 1990)h.180-181, lihat pula, Fatchur Rahman, Drs Ikhtshar Musthalahul Hadits (Bandung ; PT. Alma'arif,1974)h.305.
[19] Ibid h. 302. lihat pula Ash SHIDDIEQY, Muhammad Hasbi, Tengku, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits ( Jakarta; Bulan Bintang 1954) h.272-273.
[20] Ibid h.275. lihat pula Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribun Nawawi karya As Suyuthi, Bag. 39( CD. Maktabah Syamela). Dan lihat pula  Ushul Al Hadits Dr. Muhammad Ajajj Al-Khatib, (Baerut ; Dar El Fikr 1430 H ) h.259.
[21] Ushul Al Hadits Dr. Muhammad Ajajj Al-Khatib, (Baerut ; Dar El Fikr 1430 H ) h. 271.
[22] Mereka adalah khulafau Ar Rasyidin ditambah Sa'd bin Abi Waqash, Sa'id bin Zaid, Thalhah bin Abdillah, Zubair bin awwam, 'Abdurrahman bin 'Auf dan 'Ubaidah bin Jarah.
[23] Lihat Ma’rifah  Ulum Al Hadits,  (CD. Maktabah Syamela).
[24] Lihat As Sunnah Qobla At Tadwin  (CD. Maktabah Syamela).
[25] Umm ad Darda’ ash Shughra adalah istri dari Shahabat Abu Darda’yang bernama Hujaimah dan dikatakan pula Juhaimah. Sedangkan Umm ad Darda’ al Kubra juga istri dari Shahabat Abi Darda’ yang bernama Khairah seorang Shahabat dari kaum perempuan.
[26] Lihat Tadribur Rawi , Bag ; 40 ( CD. Maktabah Syamela).
[27] Rahman, Fatchur Drs.  Ikhtshar Musthalahul Hadits (Bandung ; PT. Alma'arif,1974)h.305.