Minggu, 22 Mei 2011

THOBAQOT

Tingkatan-Tingkatan Perawi Hadits Dalam Hitungan Masa
( Sebuah Tinjauan Terhadap Ilmu Thabaqat Ar Ruwah ) 
A.   Pendahuluan
Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua, Hadits berbeda dengan Al Qur’an yang semua ayatnya diterima secara mutawatir. Sedangkan hadits dalam periwayatanya sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagian yang lain secara ahad.[1] Bahkan, kodifikasi hadits yang resmipun baru dirintis pada masa khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz (w.110 H/720M)[2] melalui usaha keras ulama Muhammad bin muslim bin Syihab az-Zuhri (w.124 H/742 M). Oleh karenanya penelitian terhadap orisinalitas hadits memang sangat diperlukan agar validitasnya sebagai hadits Nabi dapat dipertanggungjawabkan. Pentingnya problem orisinalitas hadits ini, telah memotivasi para Ulama Hadits melahirkan kajian ilmu yang berkait dengan sanad, yakni ilmu Rijal Al Hadits dan Ilmu ‘Ilalil Hadits.[3]
Sebagai salah satu cabang ‘Ulumul Hadits, Ilmu rijalil hadits merupakan ilmu yang secara spesifik mengelupas keberadaan para rijal hadits atau para rawi atau transmitter hadits. Ilmu Rijalil Hadits memiliki dua anak cabang, yakni Ilmu Tarikh Ar Ruwah atau Ilmu Tarikh Ar-Rijal dan Ilmu Al Jarh Wa At Ta’dil.[4]
Dari dua pokok Ilmu Rijal Al Hadits yang utama itu terpecahlah menjadi beberapa ilmu yang semuanya mencabang kepadanya dengan mempunyai ciri pembahasan yang lebih mengarah kepada hal-hal tertentu. Ilmu cabang itu antara lain:
1.    Ilmu Thabaqat Ar Ruwah  ; yaitu suatu ilmu pengetahuan yang dalam pokok pembahasanya diarahkan kepada kelompok orang-orang yang berserikat dalam satu alat pengikat yang sama. Atau singkatnya mengelompokkan para rawi kedalam suatu angkatan atau generasi tertentu.
2.    Ilmu Al-Mu’talif wa Al Mukhtalif ( المؤتلف والمختلف) yakni suatu ilmu yang membahas tentang perserupaan bentuk tulisan dari nama asli, nama samaran dan nama keturunan para rawi, namun bunyi bacaannya berlainan.  Seperti : سلام  dan سلّام  , البَزَّار  dan البَزَّاز
3.    Ilmu Al-Muttafiq wa Al Muftariq ( المتفق والمفترق); yaitu suatu ilmu yang membahas tentang perserupaan bentuk tulisan dan bunyi bacaanya, akan tetapi berlainan personalianya. Seperti : الخليل بن أحمد  ada enam orang salah satunya guru dari imam sibawaih,  احمد بن جعفر بن حمدان ada empat orang pada tahun pertama.
4.    Ilmu Al Mubhamat (المبهمات) ; Ilmu yang membahas nama-nama rawi yang tidak disebut dengan jelas   seperti pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas r.a أن رجلا قال : يا رسول الله , الحج كل عام ؟. Yang di kehendaki dengan رجل disini ialah . أقرع بن حابس [5]
Dalam hal ini sesuai dengan tugas kami, nantinya pembahasan kami hanya  arahkan pada cabang yang pertama yakni Tingkatan-Tingkatan Perawi Hadits Dalam Hitungan Masa : Sebuah Tinjauan Terhadap Ilmu Thabaqat Ar Ruwah  . 
B.  Ilmu Thabaqat Ar Ruwah  .
Ilmu Thabaqat itu, termasuk bagian dari ilmu rijal al hadits , karena obyek yang dijadikan pembahasannya ialah rawi-rawi yang menjadi sanad suatu hadits. Hanya saja masalahnya berbeda. Kalau dalam ilmu rijal al hadits para rawi dibicarakan secara umum tentang hal ihwal, biografi, cara-cara menerima dan memberikan Al Hadits dan lain sebagainya, maka dalam ilmu Thabaqah, menggolongkan para rawi tersebut dalam satu atau beberapa golongan, sesuai dengan alat pengikatnya. Misalnya rawi-rawi yang sebaya umurnya, digolongkan dalam satu thabaqah dan para rawi yang seperguruan, mengikatkan diri dalam satu thabaqah pula.
Dalam bahasa Thabaqat diartikan  القوم المتشابهون :  kaum yang serupa atau sebaya. Sedangkan menurut istilah Thabaqat adalah :
قَوْمٌ تَقارَبُوْا فى السِّنِّ والإسنَاد أو فى الإسنَاد فقط
Kaum yang berdekatan atau sebaya dalam usia dan dalam isnad atau dalam isnad saja”.[6]
Thabaqat adalah kelompok beberapa orang yang hidup dalam satu generasi atau satu masa dan dalam periwayatan atau isnad yang sama atau sama dalam periwayatan saja. Maksud berdekatan dalam isnad adalah satu perguruan atau satu guru atau diartikan berdekatan dalam berguru. Jadi para gurunya sebagian periwayat juga para gurunya sebagian perawi yang lain.
Para ulama membuat ta’rif Ilmu Thabaqat, ialah :
علم يبحث فيه عن كل جماعة تشترك في أمر واحد
“ Suatu ilmu pengetahuan yang dalam pokok pembahasanya diarahkan kepada kelompok orang-orang yang berserikat dalam satu alat pengikat yang sama.[7]
Misalnya ditinjau dari alat pengikatnya, yaitu perjumpaanya dengan nabi (shuhbah), para shahabat itu termasuk dalam thabaqah yang pertama, para tabi’in termasuk dalam  thabaqat yang kedua, para tabi’it tabi’in termasuk thabaqah yang ketiga dan seterusnya. Kemudian thabaqat masing-masing ini dibagi-bagi lagi menjadi beberapa thabaqat lagi yang nanti akan dijelaskan pada pembahasanya. Asal mula pembagian perawi berdasarkan thabaqat adalah dari tuntunan Islam sendiri, dimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Imran bin Hushain radhiyallohu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِى قَرْنِى , ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ , ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ . قَالَ عِمْرَانُ: فَلاَ أَدْرِى أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنِهِ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا.[8]
Sebaik-baik ummatku yang ada di zamanku, kemudian yang datang sesudah mereka, kemudian yang datang sesudah mereka…” Kata Imran r.a, “Saya tidak tahu apakah ia menyebut sesudah masanya dua masa atau tiga” (HR. Bukhari).
Ilmu ini telah muncul dan berkembang di tangan para ulama hadits sejak abad ke-2 H. Pada perkembanganya ilmu ini tidak terbatas pada pembagian ruwaat atas thabaqat berdasarkan perjumpaan mereka terhadap Syuyukh, tapi juga berkembang di kalangan muhadditsin kepada pembagian mereka berdasarkan makna dan I’tibar yang lainnya seperti fadl (keistimewaan) dan sabiqah (kesenioran) sebagaimana dalam hal sahabat, atau hal (keadaan) dan manzilah (kedudukan) seperti yang disebutkan oleh Abbas Ad Dauraqi [9](wafat 271 H), ada Thabaqat Fuqaha, Thabaqat Ruwaat, Thabaqaat Mufassirin dan seterusnya. Penyusunan kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu ini terus berlanjut dan berkembang hingga akhir abad-9 H. Bahkan muncul system pembagian thabaqat dalam bidang keilmuan yang lain. Misalnya Thabaqaat Al Qurra, Thabaqaat Al Fuqahaa, Thabaqaat Ash Shufiyah, Thabaqaat Asy Syu’ara dan sebagainya.[10]
Menurut Ibnu Hajar Al Asqolani [11]Thabaqat para perawi hadits sejak masa shahabat sampai pada akhir periwayatan ada 12 thabaqat yaitu sebagai berikut ;
1.      Shahabat dengan berbagai tingkatannya.
2.      Tabi’in senior seperti Sa’d bin al-Musayyab.
3.      Tabi’in Pertengahanseperti al-Hasan dan Ibn Sirin.
4.      Tabi’in Dekat pertengahan seperti Az-Zuhri dan Qatadah.
5.      Tabi’in yunior tetapi tidak mendengar dari seorang shahabat Seperti al-A’masy.
6.      Hadir bersama Tabi’in yunior tetapi tidak bertemu dengan seorang shahabat Seperti Ibn Juraij.
7.      Tabi’ Tabi’in senior Seperti Malik bin Anas dan Sufyan Ats-Tsauri.
8.      Tabi’ Tabi’in pertengahan Seperti Ibnu Uyaynah dan Ibnu Ulayyah.
9.      Tabi’ Tabi’in yunior seperti Yazid bin Harun, Abu Dawud, Ath-Thayalisi , abdur Razaq dan Asy-Syafi’i.
10.  Murid Tabi’ Tabi’in senior yang tidak bertemu dengan Tabi’in Seperti Ahmad bin Hanbal.
11.  Murid Tabi’ Tabi’in pertengahan dari mereka Seperti Adz-Dzuhali dan Al-Bukhori.
12.  Murid Tabi’ Tabi’in yunior dari mereka Seperti At-Tirmidzi dan di samakan denganya sebagian guru dari Imam enam yang agak terakhir meninggalnya seperti sebagian guru-guru an Nasa’i .[12]

C.  Faedah mempelajari Thabaqat.
Imam As Sakhawi[13] mengatakan, “ Faidah ilmu thabaqaat ini adalah keamanan dari bercampurnya al mutasyabihin (para rijal hadits yang memiliki kesamaan); seperti yang sama namanya atau kuniyahnya atau yang lain, kita dapat juga menelaah terjadinya tadlis secara jelas dan menyingkap hakikat an’anah untuk mengetahui hadits yang mursal atau munqathi’ dan membedakannya dari yang musnad, selain  untuk mengetahui ke-muttashil-an atau ke-mursal-an suatu hadits. Sebab suatu hadits tidak dapat ditentukan sebagai hadits muttashil atau mursal, kalau tidak diketahui apakah tabi’iy yang meriwayatkan hadits dari shahaby itu hidup segenerasi atau tidak. Kalau seorang tabi’iy itu tidak pernah segenerasi dengan shahaby, sudah barang tentu hadits yang diriwayatkannya tidak muttashil, atau apa yang didakwakan sebagai sabda atau perbuatan Nabi itu adalah mursal.[14]

D.  Thabaqat Shahabat.
Dari segi bahasa shahabat diambil dari kata (الصّحَابَةُ) dengan makna (الصُّحْبَة): persahabatan,  الصَّحَابِي dan الصَّاحِب : yang punya atau menyertai. Jamaknya  أَصْحَابٌ dan صَحْبٌ dan yang banyak di gunakan الصّحَابَةُ dengan makna الأَصْحَاب
Menurut istilah Muhadditsin shahabat adalah :

من لقي النبي صلى الله عليه وسلم مسلما ومات على الإسلام ولو تخللت ذلك ردّة على الأصح
Orang yang bertemu dengan Nabi S.a.w dalam keadaan beragama islam dan mati dalam islam sekalipun dipisah murtad di tengah-tengah menurut pendapat yang benar.[15]
Dari definisi diatas berarti tergolong shahabat siapa saja seorang muslim yang bertemu dengan Nabi S.a.w baik sebentar atau dalam waktu lama, baik meriwayatkan suatu hadits atau tidak, berperang bersama beliau atau tidak, melihat Nabi sekalipn tidak duduk bersama beliau dan sekalipu tidak melihat seperti orang buta. Uraian ini sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Berbeda dengan pengertian shahabat yang ditawarkan oleh Ushuliyyin yaitu setiap orang yang lama persahabatanya dengan Nabi S.a.w dan mengikutinya.
Jumlah para shahabat tidak terhitung besarnya atau sulit dihitung karena mereka berpencar-pencar ke berbagai negara dan daerah setelah masa perluasan wilayah. Tetapi sebagian ulama ada yang menghitung lebih dari 100.000 orang shahabat, bahkan Abu Zarah Ar-Razi menghitungnya sebanyak 140.000 orang shahabat.yang paling akhir meninggal dunia diantara mereka adalah Abu Ath-Thufail bin Watsilah Al-Laitsi di mekah pada tahun 100 H dan sebelum itu Anas bin Malik di Bashrah pada tahun 90 H. Diantara mereka yang lebi dahulu masuk islam dari kalangan laki-laki dewasa dikalangan dewasa Abu bakar, dari kalangan kaum wanita khodijah, dari kalangan anak-anak Ali Bin Abu Thalib, dari kalangan mawali (budak yang telah dimerdekakan) Zaid Bin Haritsah, dan dari kalangan budak adalah Bilal bin Rabah.
Diantara mereka yang paling banyak meriwayatkan hadits adalah Abu Hurairah (w.59 H) sebanyak 5374 buah hadits, Abdullah bin Umar (w.73 H)  sebanyak 2630 buah hadits, Anas bin Malik (w.90 H)  sebanyak 2286 buah hadits, Aisyah binti Abu Bakar (w.58 H) sebanyak 2210 buah hadits, Abdullah bin Abbas (w.68 H)  sebanyak 1660 buah hadits, dan Jabir bin Abdullah (w.78 H)  sebanyak 1540 buah hadits.
Diantara shahabat yang banyak memberikan fatwa adalah Ibn Abbas dan 6 orang shahabat senior yaitu Umar bin Khathab, Aly bin Abi Thalib, ‘Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu ad-Darda’, dan Ibn Mas’ud.[16]
Para penulis buku tentang shahabat berbeda-beda dalam menyebut tingkat-tingkat shahabat. Ibn Sa’d menjadikan mereka kedalam lima tingkat. Al Hakim menjadikan mereka kedalam dua belas tingkat. Sebagian ulama menjadikan mereka lebih dari itu. Perbedaan ini dikarnakan diantara mereka ada yang melihat dari segi masuk islam lebih dahulu atau dari segi hijrahnya, atau dilihat dalam keikutsertaan dalam berbagai peperangan penting. Namun yang populer adalah yang dikemukakan oleh al-Hakim yaitu :
1.      Mereka yang mula-mula masuk islam, seperti 10 shahabat yang diberi berita gembira masuk surga.
2.      Mereka yang masuk islam sebelum musyawarah ahli makah di Daru’n-Nadwah, untuk membuat makar kepada Nabi Muhammad S.a.w. dikala ‘Umar bin Khathab r.a telah menyatakan keislamanya, Nabi membaiat Sa’id bin Zaid dan Sa’d bin Abi Waqqash.
3.      Mereka yang hijrah ke Habasyah, pada tahun 5 kenabian. Mereka terdiri dari 11 laki-laki dan 4 wanita yang dipimpin oleh Utsman bin Affan diantaranya Khatib bin ‘Amr bin ‘Abi’s-Syam, Suhail bin Baidla’ dan Abu Khudzaifah bin ‘Atabah.
4.      Shahabat yang mengikuti Aqabah al-Ula yang terdiri dari 12 orang kaum Anshar seperti Jabir bin Abdillah, Rafi’ bin Malik, ‘Ubadah bin Shamit dan Sa’ad bin Zararah.
5.      Shahabat yang mengikuti Aqabah al-Tsaniah seperti Barra’ bin Ma’rur, Jabir bin Abdullah bin Jubair dan lain-lain yang mayoritas adalah kaum Anshar, yakni terdiri dari 70 laki-laki dan 2 wanita.
6.      Kaum Muhajirin yang pertama, yakni mereka yang menyusul Nabi di Quba’, sebelum sampai di Madinah seperti: Ibnu Salamah bin Abi Asad dan ‘Amir bin Rabi’ah.
7.      Mereka yang mengikuti perang badar, mereka sebanyak 313 orang, antara lain Sa’ad bin Mu’adz al-Miqdad bin al-Aswad. Seperti yang yang dituturkan oleh beliau Nabi S.a.w :
لعلَّ اللَّهَ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ : اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ [17]
8.      Mereka yang berhijrah ke Madinah setelah perang badar dan sebelum Hudaibiyyah, seperti al-Mughirah bin Syu’bah.
9.      Mereka yang menghadiri Bai’at Ar Ridlwan di Hudaibiyyah, seperti Salamah bin Akwa’, Sinan bin Abi Sinan dan Abdullah bin ‘Amr.
10.  Mereka yang hijrah setelah perdamaian Hudaibiyyah dan sebelum Fathu Makkah, seperti Khalid bin Walid dan ‘Amr bin ‘Ash.
11.  Mereka yang masuk islam setelah / saat Fathu Makkah, mereka terdiri dari 1000 orang antara lain Abu Sufyan dan Hakim bin Hizam.
12.  Kalangan anak-anak yang melihat Nabi setelah Fathu Makkah dan Haji Wada’ seperti Hasan dan Husain putra ‘Ali r.a, Sa’d bin Yazid, ‘Abdullah bin Tsa’labah, ‘Abdullah bin Zubair.[18]
Adapun yang membagi Thabaqat shahabat kepada 5 thabaqat, tersusun sebagai berikut ;
1.      Ahli badar.
2.      Shahabat yang lebih dulu masuk islam, berhijrah ke Habasyah dan menyaksikan perang uhud dan pertemuan-pertemuan sesudahnya.
3.      Shahabat yang menyaksikan/ mengikuti perang khadaq.
4.      Shahabat yang memeluk islam setelah Fathu Makkah dan sesudahnya.
5.      Anak-anak dan budak-budak.[19]
Ahlus Sunnah sependapat bahwa shahabat yang paling utama adalah Abu Bakar lalu Umar, setelah itu Utsman lalu ‘Ali bin Abi Thalib. Al-khaththabiy menceritakan bahwa ahlus sunnah kuffah mendahulukan Ali atas Utsman dan inilah yang diikuti Ibn Khuzaimah. Selanjutnya shahabat lain yang masuk kelompok sepuluh orang yang mendapat jaminan surga, lalu Ahli Badar, lalu Ahli Uhud, lalu para peserta Bai’ah Ridlwan dan kaum Anshar yang memiliki keistimewaan dengan pernah mengikuti dua Aqobah, Assabiqunal-Awwalun, yaitu mereka yang pernah melakukan shalat dengan menghadap dua kliblat menurut Ibn Al-Musayyab, Muhammad ibn Sirrin dan Qotadah, dan menurut pendapat Asy-Sya’biy peserta Bai’ah Ridlwan, serta menurut Muhammad ibn Ka’b dan ‘Atho’ bin Yassar adalah Ahli Badar. Ada juga yang mengatakan mereka yamg masuk islam sebelum Fathu Makkah. Ini adalah pendapat al-Hasan al-Bashriy.[20]
E.  Thabaqat Tabi’in.
Tabi'iy adalah orang yang bertemu dengan satu orang sahabat atau lebih. Sebagian mengatakan untuk mendapatkan status tabi'iy, tidak cukup hanya dengan bertemu saja, berbeda dengan status shahabat yang sudah cukup hanya dengan bertemu saja karena keutamaan bertemu dengan Nabi SAW., berkumpul bersama beliau atau melihat beliau. Semua itu memiliki pengaruh yang besar dalam memperbaiki hati dan membersihkan jiwa, yang belum tentu ada jika seseorang bertemu dengan shahabat dengan tanpa mengikuti dan lama belajar dengannya.
Ibn Hibban mensyaratkan, bahwa ia harus melihat shahabat pada saat mampu menghafal, yakni dalam usia Tamyiz. Bila belum dalam usia Tamyiz, maka tidak ada pengaruh sama sekali melihat shahabat terhadap status ketabi'in.[21]   
Mahmud ath-Thahan dalam kitab Taisir musthalahul Hadits menjelaskan tentang definisi Tabi'in, menurutnya Tabi'in adalah jamak dari kata tabi'iy atau tabi' yang berarti mengikuti atau berjalan dibelakang. Menurut istilah Tabi'in adalah sebagai berikut :
هو من لقي صحابيا مسلما ومات على الإسلام
Adalah orang muslim yang bertemu dengan seorang shahabat dan mati dalam beragama islam.
Akan tetapi mayoritas ulama Hadits berpendapat bahwa Tabi'iy adalah orang yang bertemu dengan satu orang sahabat atau lebih, meski tidak pernah bersama.
Jumlah tabi'in tidak terhitung karena setiap orang muslim yang bertemu dengan seorang shahabat disebut tabi'in padahal shahabat yang ditinggalkan oleh rasulullah lebih dari seratus ribu orang. Para ulama juga berbeda dalam membagi thabaqat tabi'in tergantung dari segi tinjauan yang mereka pakai. Imam muslim misalnya membaginya kedalam tiga thabaqat, Ibn Sa'd membaginya 4 thabaqat, dan al-Hakim lebih banyak lagi yakni membaginya kedalam 15 thabaqat.
Thabaqat pertama dari para tabi'in, ialah tabi'iy yang berjumpa dengan 10 orang shahabat, yang digembirakan dengan jaminan surga.[22]  Satu-satunya tabi'iy yang berjumpa dengan 10 shahabat ahli surga itu ialah Qais bin Abi Hazim. Ibnu's-Shalah berkata bahwa Qais mendengar hadits dari 10 shahabat ahli surga tersebut dan meriwayatkannya. Tidak ada seorangpun tabi'ain yang meriwayatkan hadits dari 10 shahabat ahli surga, selain ia sendiri.
Menurut Hakim Abu Abdillah An-Naisabuy, selain Qais masih banyak tabi'iy yang meiwayatkan dari shahabt sepuluh, seperti Utsman An-Nahdy, Qais bin Ubbad, Husain bin Al-Mundzir, Abi Wa'il dan Ibnu'l-Musayyab. Untuk yang terakhir ini banyak mendapat tantangan, disebabkan Ibnu'l-Musayyab itu baru dilahirkan pada waktu Khalifah Umar bin Khaththab menjabat Khalifah,. Dengan demikian sudah barang tentu ia tidak pernah bertemu dengan 10 shahabat yang telah wafat sebelum penobatan Umar bin Khaththab.
 Thabaqat terakhir, ialah mereka yang bertemu dengan Anas bin Malik, untuk yang berdiam di Bashrah, bertemu dengan Saib bin Yazid bagi mereka yang bertempat tinggal di Madinah, berjumpa dengan Abu Umamah bin 'Ajlan al-Bahily bagi mereka yang berdiam di Syam, bertemu dengan Abdullah bin Abi Aufa bagi mereka yang berdiam di Hijaz, dan berjumpa dengan Abu Thufail bagi mereka yang berdiam di Makkah.
Di antara tabi’in terdapat kelompok mukhadhramin, yaitu orang yang mendapati masa Jahiliyyah dan masa Nabi SAW. Dan memeluk islam namun tidak sempat melihat beliau, misalnya Abu Raja’ Al ‘Atharidliy, Suwaid ibn Ghaffah dan Tabi’iy lainya. Al hafidh Burhanuddin Sibth ibn al ‘Anjamiy menghitung mereka sebanyak lebih dari empat puluh Mukhadhram.[23]
Sedangkan tentang Tabi’in yang paling utama para Ulama Hadits berbeda pendapat, penduduk Madinah mengatakan, yang paling utama adalah Sa’d Ibn al Musayyab (15-94 H).  Penduduk kufah mengatakan, yang paling utama adalah ‘Alqamah ibn Qois an Nakha’iy (28 SH- 62 SH) dan al Aswad bin Yazid an Nakha’iy (-75 H) sebagian ulama’ mengatakan, yang paling utama adalah Uwais Al Qarniy (-37 H). Penduduk Basrah mengatakan, yang paling utama adalah al Hasan al Bashri (21-110 H). Penduduk makkah mengatakan, yang paling utama adalah Atha’ bin Abi Rabbah (27-114 H). dan semuanya ahli keutamaan dan ilmu. Dan kita masih bias menambahkan banyak lagi pembesar tabi’in seperti Urwah bin Zubair (22-94 H), Amir asy Sya’biy (19-103 H), Muhammad bin Sirrin (33-100 H) dan lain lain.[24]
Dari kelompok Tabi’in wanita yang masuk dalam kategori pembesar adalah Hafshah Binti Sirrin (wafat sesudah tahun seratus Hijriyah), ‘Amrah binti Abdirrahman (21-98 H) dan Umm ad Darda’ ash Shughra ad Dimasyqiyah [25]( -81 H), semoga Alloh SWT. meridloi mereka semua.
Dan tokoh Tabi’in yang ahli fikih ada tuju orang, yaitu ; Sa’d ibn al Musayyab, al Qasim ibn Muhammad bin Abu Bakar as Shiddiq (37-107H), ‘Urwah bin Zubair, Kharijah bin Zaid bin Tsabit (29-99 H), Sulaiman bin Yassar (37-107 H) Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud al Hudzali ( -98H), ada  yang mengatakan Salim bin Abdillah bin Umar (-106 H), dan ada  yang mengatakan Abu Bakar bin Abdirrahman bin al Harits bin Hisyam al Makhzumiy (-94 H)[26] semoga Alloh SWT. meridloi mereka semua.

F.   Kitab-kitab Thabaqat.
Kitab Ilmu Thabaqat Ar Ruwah   yang di tulis oleh para Ulama' sekitar dua puluhan lebih sedikit, diantara kitab yang termasyhur adalah ;
1.         At-Thabaqat Al Kubra. Karya Muhammad bin Sa'ad bin Mani' Al Hafidh Katib Al Waqidy ( 168-230 H). kitab ini yang terpercaya dan terpenting bagi sumber sejarah Islamiyah mengenai rijalul-Hadits. Di cetak di Leiden tahun 1322 H, terdiri dari 13 jilid.
2.         Thabaqat Ar Ruwah  . Karya Al-Hafidh Abu 'Amr Khalilfah bin Khayath Asy-Syaibani (240 H), salah seorah guru Bukhari, terdiri dari 8 jilid.
3.         Thabaqat At Tabi'in, Karya Imam Muslim bin Hajjaj Al Qusyairy (204 – 261 H)
4.         Thabaqat Al Muhadditsin wa Ruwah . Karya Nu'aim Ahmad bin Abdullah bin Ahmad Al Ashbihany (336-430 H)
5.         Thabaqat Al Hufazh. Oleh Syamsuddin Adz Dzahaby (673-748 H)
6.         Thabaqat Al Hufazh Oleh Jalaluddin As Suyuthy ( 849 - 911 H) Di cetak di Guthe tahun 1833 H.[27]

G.    Kesimpulan
Disebutkan di muka bahwa Oleh karenanya penelitian terhadap orisinalitas hadits memang sangat diperlukan agar validitasnya sebagai hadits Nabi dapat dipertanggungjawabkan. Dan kemudian lahirlah kajian ilmu yang berkait dengan sanad, yakni ilmu Rijal al Hadits dan Ilmu ‘Ilalil Hadits.
 Ilmu rijalil Hadits memiliki dua anak cabang, yakni Ilmu Tarikh ar-Ruwah atau Ilmu Tarikh Ar-Rijal dan Ilmu Al Jarh Wa At Ta’dil. Dari dua pokok Ilmu Rijal Al Hadits yang utama itu terpecahlah menjadi beberapa ilmu yang semuanya mencabang kepadanya dengan mempunyai ciri pembahasan yang lebih mengarah kepada hal-hal tertentu. Ilmu cabang itu antara lain: Ilmu Thabaqat Ar Ruwah  , Ilmu Thabaqat Ar Ruwah  Ilmu Al-Muttafiq wa Al Muftariq Ilmu Al Mubhamat.
Ilmu Thabaqat merupakan bagian dari ilmu rijal al hadits, dalam Ilmu Thabaqat obyek yang dijadikan pembahasannya ialah rawi-rawi yang menjadi sanad suatu hadits. Kalau dalam ilmu rijal al hadits para rawi dibicarakan secara umum tentang hal ihwal, biografi, cara-cara menerima dan memberikan Al Hadits dan lain sebagainya, maka dalam ilmu Thabaqah, menggolongkan para rawi tersebut dalam satu atau beberapa golongan, sesuai dengan alat pengikatnya.
Dengan mengetahui ilmu thabaqaat kita dapat menelaah terjadinya tadlis secara jelas dan menyingkap hakikat an’anah untuk mengetahui hadits yang mursal atau munqathi’ dan membedakannya dari yang musnad, selain  dapat mengetahui ke-muttashil-an atau ke-mursal-an suatu hadits.
Akhirnya ; teguran dan kritikan terhadap kekhilafan dan kekurangan yang kemungkinan besar dijumpai dalam makalah ini, sungguh masih sangat kami harapkan dan amat sangat kami hargai.
Lebih dari itu, hanya Allahlah yang kami harapkan menjadikan makalah ini bermanfaat. Amiin.


                                                      Kediri, 14 Desember 2010

                                                                       Pemakalah












DAFTAR PUSTAKA
1.      Mahmud ath-Thahan, Taisir musthalahul Hadits, (Baerut; Dar al-Qur'an al-Karim,1979).
2.      Suryadi, Drs, Metodologi Ilmu Rijalil Hadits, (Yogyakarta; Madani Pustaka Ilmiah, 2003)
3.      Fatchur Rahman, Drs Ikhtshar Musthalahul Hadits (Bandung ; PT. Al Ma'arif,1974)
4.      Bukhari, Shahih,(Baerut; Dar El-Fikr,1995),
5.      Al Asqalani, Ibn Hajar, Taqribut Tahdzib (Baerut ; Dar El Fikr, 1995 )
6.      http;/ www.Markaz assunah.com
7.      Abdul Majid Khon, Haji, Ulumul Hadits, (Jakarta; Amzah,2008)
8.      Ash SHIDDIEQY, Muhammad Hasbi, Tengku, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits ( Jakarta; Bulan Bintang 1954).
9.      Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribun Nawawi karya As Suyuthi, ( CD. Maktabah Syamela).
10.  Ushul Al Hadits Dr. Muhammad Ajajj Al-Khatib, (Baerut ; Dar El Fikr 1430 H ).
11.  Sahliono, Biografi dan Tingkatan perowi Hadits (Jakarta; Pustaka Panji Mas, 1990).
12.   Al-Khatib.M.Ajajj USHUL AL HADITS—Pokok pokok Ilmu Hadits penerjemah Drs. H.M.Qodirun Nur,(Jakarta;Graha Media Pratama, 1998).
13.  http://id.wikipedia.org/wiki/Umar_bin_Abdul-Aziz
14.  Al Asqalani, Ibn Hajar Taqribut Tahdzib ( Baerut ; Dar El Fikr, 1451 H).
15.  Al Albani, M. Nashiruddin. Ringkasan Shahih Muslim, penulis M. Nashiruddin Al Albani, penerjemah ; Elly Lathifah, penyunting ; Harlis Kurniawan (Jakarta ; Gema Insani Press 2006).
16.  Ma’rifah  Ulum Al Hadits,  (CD. Maktabah Syamela).
17.  Al Asqalani, Ibn Hajar, Bulugh Al Maram (Jakarta ; Dar El Kutub Al Islamiyyah, 1422 H).












[1]  Mahmud Ath Thahan, Taisir musthalahul Hadits, (Baerut; Dar Al Qur'an Al Karim,1979)h.18-222.
[2] Umar bin Abdul-Aziz عمر بن عبد العزيز, bergelar Umar II, lahir pada tahun 63 H / 682 – Februari 720; umur 37–38 tahun)  adalah khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 717 (umur 34–35 tahun) sampai 720 (selama 2–3 tahun). ia bukan merupakan keturunan dari khalifah sebelumnya, tetapi ditunjuk langsung, dimana ia merupakan sepupu dari khalifah sebelumnya, Sulaiman. Salah satu dari dua penguasa bani umayah yang pernah mendapat surat dari  raja Sriwijaya. Tercatat Raja Sriwijaya pernah dua kali mengirimkan surat kepada khalifah Bani Umayyah. Yang pertama dikirim kepada Muawiyah I, dan yang ke-2 kepada Umar bin Abdul-Aziz. Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (860-940) dalam karyanya Al-Iqdul Farid.
[3] Ilmu ‘Ilalil Hadits adalah ilmu yang membahas sebab-sebab tersembunyi yang menjadikan cacatnya hadits yang secara lahiriyah terhindar dari itu.
[4] Suryadi, Drs, Metodologi Ilmu Rijalil Hadits, (Yogyakarta; Madani Pustaka Ilmiah,2003)h.2
[5] Mahmud ath-Thahan, Taisir musthalahul Hadits, (Baerut; Dar Al Qur'an al-Karim,1979)h.171. dan lihat pula, Fatchur Rahman, Drs, Ikhtshar Musthalahul Hadits (Bandung ; PT. Al Ma'arif,1974) h.293-294.
[6] Mahmud ath-Thahan, Taisir musthalahul Hadits, (Baerut; Dar Al Qur'an Al Karim,1979) h.189. lihat pula Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribun Nawawi karya As Suyuthi Bag ; 63. (CD. Maktabah Syamela).
[7] Fatchur Rahman, Drs Ikhtshar Musthalahul Hadits (Bandung ; PT. Al Ma'arif,1974) h.301.
[8] Bukhari, Shahih,( Bairut; Dar El Fikr,1995), jilid 2 h.324 hadits no.3650. bab Fadloilu Ashhabi an-Nabiy. Dalam redaksi lain yang di keluarkan oleh Imam Muslim :
" ان خيركم قرني, ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ , ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ . قَالَ عِمْرَانُ: فَلاَ أَدْرِى أقال رسول الله ص.م. بعد قرنه بَعْدَ قَرْنِهِ مَرّتيْنِ أَوْ ثَلاَثة, ثم يكون بعدهم قوم يشهدون ولا يستشهدون, ويخونون ولا يُؤتَمَنون, ويَنذرون ولا يوفون. ويظهر فيهم السمن. "
Sebaik-baik kalian adalah pada masaku, kemudian orang-orang pada masa berikutnya, kemudian orang orang pada masa berikutnya, kemudian orang orang pada masa berikutnya. Kata Imran r.a, “ Aku  tidak tahu apakah Rasulullah menyebut orang orang pada masa sesudah masa  beliau dua kali ataukah tiga kali. Setelah itu aka nada orang orang yang memberikan kesaksian yang tidak benar. Mereka berkhianat dan tidak dapat dipercaya. Mereka bernadzar tanpa mereka laksanakan dan mereka tampak gemuk.
[9] Ahmad bin Ibrahim bin Katsir Bin Zaid Ad Dauraqi An Nukriy (Wafat Thn 46 H).
[10] http;/ www.Markaz assunah.com
[11]  Nama sebenarnya Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al Kinani, al ‘Asqalani, asy Syafi’i, al Mishri. Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya “al Hafizh”. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah. Beliau lahir di Mesir pada bulan Sya’ban 773 H / 18 Pebruari 1372 M, namun tanggal kelahirannya diperselisihkan. Beliau tumbuh di sana dan termasuk anak yatim piatu, karena ibunya wafat ketika beliau masih bayi, kemudian bapaknya menyusul wafat ketika beliau masih kanak-kanak berumur empat tahun. Ketika wafat, bapaknya berwasiat kepada dua orang ‘alim untuk mengasuh Ibnu Hajar yang masih bocah itu. Dua orang itu ialah Zakiyuddin al Kharrubi dan Syamsuddin Ibnul Qaththan al Mishri. semenjak kecil beliau memiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Beliau masuk kuttab (semacam Taman Pendidikan al Qur’an) setelah genap berusia lima tahun. Hafal al Qur’an ketika genap berusia sembilan tahun. Di samping itu, pada masa kecilnya, beliau menghafal kitab-kitab ilmu yang ringkas, sepeti al ‘Umdah Al Ahkam, al Hawi ash Shagir, Mukhtashar Ibnu Hajib, Milhatul I’rab, Al Fiyyah Al ‘Iraqiy, Al Fiyyah Ibn Malik dan At Tanbih Fi Furu’ Asy Syafi’iyyah. Semangat dalam menggali ilmu, beliau tunjukkan dengan tidak mencukupkan mencari ilmu di Mesir saja, tetapi beliau melakukan rihlah (perjalanan) ke banyak negeri. Semua itu dikunjungi untuk menimba ilmu. Negeri-negeri yang pernah beliau singgahi dan tinggal disana, di antaranya:
- Dua tanah haram, yaitu Makkah dan Madinah. Beliau tinggal di Makkah al Mukarramah dan shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Yaitu pada umur 12 tahun. Beliau mendengarkan Shahih Bukhari di Makkah dari Syaikh al Muhaddits (ahli hadits) ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki Rahimahullah. Dan Ibnu Hajar berulang kali pergi ke Makkah untuk melakukah haji dan umrah.
- Dimasyq (Damaskus). Di negeri ini, beliau bertemu dengan murid-murid ahli sejarah dari kota Syam, Ibu ‘Asakir Rahimahullah. Dan beliau menimba ilmu dari Ibnu Mulaqqin dan al Bulqini.
- Baitul Maqdis, dan banyak kota-kota di Palestina, seperti Nablus, Khalil, Ramlah dan Ghuzzah. Beliau bertemu dengan para ulama di tempat-tempat tersebut dan mengambil manfaat.
- Shana’ dan beberapa kota di Yaman dan menimba ilmu dari mereka.
Semua ini, dilakukan oleh al Hafizh untuk menimba ilmu, dan mengambil ilmu langsung dari ulama-ulama besar. Dari sini kita bisa mengerti, bahwa guru-guru al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqlani sangat banyak, dan merupakan ulama-ulama yang masyhur. Bisa dicatat, seperti: ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki (wafat 790 H), Muhammad bin ‘Abdullah bin Zhahirah al Makki (wafat 717 H), Abul Hasan al Haitsami (wafat 807 H), Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H), Sirajuddin al Bulqini Rahimahullah (wafat 805 H) dan beliaulah yang pertama kali mengizinkan al Hafizh mengajar dan berfatwa. Kemudian juga, Abul-Fadhl al ‘Iraqi (wafat 806 H) –beliaulah yang menjuluki Ibnu Hajar dengan sebutan al Hafizh, mengagungkannya dan mempersaksikan bahwa Ibnu Hajar adalah muridnya yang paling pandai dalam bidang hadits-, ‘Abdurrahim bin Razin Rahimahullah –dari beliau ini al Hafizh mendengarkan shahih al Bukhari-, al ‘Izz bin Jama’ah Rahimahullah, dan beliau banyak menimba ilmu darinya. Tercatat juga al Hummam al Khawarizmi Rahimahullah. Dalam mengambil ilmu-ilmu bahasa arab, al Hafizh belajar kepada al Fairuz Abadi Rahimahullah, penyusun kitab al Qamus (al Muhith-red), juga kepada Ahmad bin Abdurrahman Rahimahullah. Untuk masalah Qira’atus-sab’ (tujuh macam bacaan al Qur’an), beliau belajar kepada al Burhan at-Tanukhi Rahimahullah, dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 500 guru dalam berbagai cabang ilmu, khususnya fiqih dan hadits. Jadi, al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani mengambil ilmu dari para imam pada zamannya di kota Mesir, dan melakukakan rihlah (perjalanan) ke negeri-negeri lain untuk menimba ilmu, sebagaimana kebiasaan para ahli hadits. Layaknya sebagai seorang ‘alim yang luas ilmunya, maka beliau juga kedatangan para thalibul ‘ilmi (para penuntut ilmu, murid-red) dari berbagai penjuru yang ingin mengambil ilmu dari beliau, sehingga banyak sekali murid beliau. Bahkan tokoh-tokoh ulama dari berbagai madzhab adalah murid-murid beliau. Yang termasyhur misalnya, Imam ash-shakhawi (wafat 902 H), yang merupakan murid khusus al Hafizh dan penyebar ilmunya, kemudian al Biqa’i (wafat 885 H), Zakaria al-Anshari (wafat 926 H), Ibnu Qadhi Syuhbah (wafat 874 H), Ibnu Taghri Bardi (wafat 874 H), Ibnu Fahd al-Makki (wafat 871 H), dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kepakaran al Hafizh Ibnu Hajar sangat terbukti. Beliau mulai menulis pada usia 23 tahun, dan terus berlanjut sampai mendekti ajalnya. Beliau mendapatkan karunia Allah Ta’ala di dalam karya-karyanya, yaitu keistimewaan-keistimewaan yang jarang didapati pada orang lain. Oleh karena itu, karya-karya beliau banyak diterima umat islam dan tersebar luas, semenjak beliau masih hidup. Para raja dan amir biasa saling memberikan hadiah dengan kitab-kitab Ibnu hajar Rahimahullah. Bahkan sampai sekarang, kita dapati banyak peneliti dan penulis bersandar pada karya-karya beliau Rahimahullah.
Di antara karya beliau yang terkenal ialah: Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari, Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, al Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Tahdzibut Tahdzib, ad Durarul Kaminah, Taghliqut Ta’liq, Inbaul Ghumr bi Anbail Umr dan lain-lain. Bahkan menurut muridnya, yaitu Imam asy-Syakhawi, karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab. Sebagian peneliti pada zaman ini menghitungnya, dan mendapatkan sampai 282 kitab. Kebanyakan berkaitan dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan dirayat (kajian).
Ibnu Hajar wafat pada tanggal 28 Dzulhijjah 852 H di Mesir, setelah kehidupannya dipenuhi dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, menurut sangkaan kami, dan kami tidak memuji di hadapan Allah terhadap seorangpun. Beliau dikuburkan di Qarafah ash-Shugra. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas, memaafkan dan mengampuninya dengan karunia dan kemurahanNya. (Dikutip dari Kitab Hadits Bulughul Maraam).


[12] Al Asqalani, Ibn Hajar, Taqribut Tahdzib (Baerut ; Dar El Fikr, 1995 ) h; 9. Dan lihat pula , Abdul Majid Khon, Haji, Ulumul Hadits, (Jakarta; Amzah,2008), h;109-110
[13] شمس الدين أبو الخير محمد بن عبد الرحمن بن محمد بن أبي بكر بن عثمان بن محمد السخاوي
[14] http;/ www.Markaz assunah.com, lihat pula ; Fatchur Rahman, Drs Ikhtshar Musthalahul Hadits (Bandung ; PT. Alma'arif,1974) h.303.
[15] Mahmud ath-Thahan, Taisir musthalahul Hadits, (Baerut; Dar Al Qur’an Al Karim,1979)h.164.
[16] Ibid h ; 165. Lihat pula, Abdul Majid Khon, Haji, Ulumul Hadits, (Jakarta; Amzah,2008), h;111-112.
[17] Di keluarkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dan Imam Muslim dalam shahihnya hadits no. 1720.  Artinya “semoga allah memperhatikan orang orang yang turut perang badar. Sabda rasul selanjutnya ‘ berbuatlah sesukamu, aku benar benar talah mengampunimu,”.  Hadits ini berkenaan dengan khatib bin abu baltaah yang mengirim surat kepada orang kafir mekah. 
[18] Sahliono, Biografi dan Tingkatan perowi Hadits (Jakarta; Pustaka Panji Mas, 1990)h.180-181, lihat pula, Fatchur Rahman, Drs Ikhtshar Musthalahul Hadits (Bandung ; PT. Alma'arif,1974)h.305.
[19] Ibid h. 302. lihat pula Ash SHIDDIEQY, Muhammad Hasbi, Tengku, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits ( Jakarta; Bulan Bintang 1954) h.272-273.
[20] Ibid h.275. lihat pula Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribun Nawawi karya As Suyuthi, Bag. 39( CD. Maktabah Syamela). Dan lihat pula  Ushul Al Hadits Dr. Muhammad Ajajj Al-Khatib, (Baerut ; Dar El Fikr 1430 H ) h.259.
[21] Ushul Al Hadits Dr. Muhammad Ajajj Al-Khatib, (Baerut ; Dar El Fikr 1430 H ) h. 271.
[22] Mereka adalah khulafau Ar Rasyidin ditambah Sa'd bin Abi Waqash, Sa'id bin Zaid, Thalhah bin Abdillah, Zubair bin awwam, 'Abdurrahman bin 'Auf dan 'Ubaidah bin Jarah.
[23] Lihat Ma’rifah  Ulum Al Hadits,  (CD. Maktabah Syamela).
[24] Lihat As Sunnah Qobla At Tadwin  (CD. Maktabah Syamela).
[25] Umm ad Darda’ ash Shughra adalah istri dari Shahabat Abu Darda’yang bernama Hujaimah dan dikatakan pula Juhaimah. Sedangkan Umm ad Darda’ al Kubra juga istri dari Shahabat Abi Darda’ yang bernama Khairah seorang Shahabat dari kaum perempuan.
[26] Lihat Tadribur Rawi , Bag ; 40 ( CD. Maktabah Syamela).
[27] Rahman, Fatchur Drs.  Ikhtshar Musthalahul Hadits (Bandung ; PT. Alma'arif,1974)h.305.