Rabu, 18 Januari 2012

Rabo Wekasan


Rebo Wekasan
Sebagian orang mempunyai keyakinan bahwa pada hari Rabu terakhir bulan S{afar itu merupakan hari sial atau nahas, mereka percaya akan turun 320.000 bencana pada hari yang disebut “ Rebo Wekasan”. Oleh karena itu mereka tidak berani mengadakan acara hajatan tertentu dan bepergian karena takut celaka. Dan untuk menolak bencana tersebut mereka dianjurkan melakukan suatu amalan tertentu, seperti membaca suatu bacaan, menulis wifiq dan iletakkan kedalam bejana yang berisi air kemudian iminum, bahkan ada yang menganjurkan S{alat empat rakaat untuk menolak bala’.
Keyakinan pesimistis semacam ini suah terjadi paa zaman Rasulullah SAW. Dalam hadith riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَكَمِ حَدَّثَنَا النَّضْرُ أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلُ أَخْبَرَنَا أَبُو حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al H{akam telah menceritakan kepada kami An Nadhr telah mengabarkan kepada kami Isra>il telah mengabarkan kepada kami Abu Has}in dari Abu S{alih dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu dari Nabi S{allallahu '’alaihi wasallam beliau bersabda: "Tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit), tidak ada t}iyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), tidak ada hammah (keyakinan jahiliyah tentang reinkarnasi) dan tidak pula s}afar (menganggap bulan s}afar sebagai bulan sial, haram atau keramat). (S{ah}ih Bukhari, hadith no: 5316, kitab : at}-T{ibb, dan hadith no: 5328, S{ah}ih Muslim, hadith no: 4116, 4118, 4120, 4121, Sunan Abi Daud 3412 dan yang lain).

Minggu, 01 Januari 2012

Ushul Fiqh, Mashlahah Mursalah

Mashlahah  Mursalah
  1. Pendahuluan .
Persoalan yang dihadapi manusia selalu tumbuh dan berkembang, demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak hal-hal atau persoalan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, kemudian timbul dan terjadi pada masa-masa sesudahnya, bahkan ada yang terjadi tidak lama setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Seandainya tidak ada dalil yang dapat memecahkan hal-hal yang demikian berarti akan sempitlah kehidupan manusia. Dalil itu ialah dalil yang dapat menetapkan mana yang merupakan kemaslahatan manusia dan mana yang tidak sesuai dengan dasar-dasar umum dari agama Islam. Jika hal itu telah ada, maka dapat direalisir kemaslahatan manusia pada setiap masa, keadaan dan tempat. Demikian pula tidak disebut oleh syara’ tentang keperluan mendirikan rumah penjara, menggunakan mikrofon di waktu adzan atau shalat jama’ah, menjadikan tempat melempar jumrah menjadi dua tingkat, tempat sa’i dua tingkat, tetapi semuanya itu dilakukan semata-mata untuk kemashlahatan agama, manusia dan harta.

hakim perempuan

Perspektif (Fikih) Tentang Hakim Perempuan
(Suatu Analisis terhadap Polemik Para Ulama Fiqh)
A. Pendahuluan.
Sebagai sebuah ajaran yang secara substansial membawa misi keadilan universal, Islam memposisikan peradilan, sebagai sesuatu yang cukup penting dan mendasar. Dengan piranti peradilan diharapkan prinsip-prinsip keadilan, dan hak-hak dasar manusia (human rigth) dapat terpelihara secara baik. Sedemikian significannya sebuah proses peradilan, maka nash-nash pembentukan hukum Islam tentang peradilanpun menaruh perhatian cukup intens. Tidak heran jika kemudian Rasulullah sendiri -pada zamannya-, tidak saja dalam kapasitas pemimpin spiritual dan politik, tetapi juga pemegang kendali sebuah proses peradilan.
Dalam perkembangannya -pasca Rasul dan sahabat- Ulama-ulama fiqh pun menaruh perhatian yang sama dengan tokoh tokoh pendahulunya. Konsep –Ikhtiath- menjadi bagian inhern dalam pemikiran para ulama dalam membuat kriteria keabsahan sebuah proses peradilan dan subjek yang menjadi aktornya. Salah satu yang menjadi konsen para ahli fiqh (Yurist) sebagai wujud komitmennya terhadap peradilan adalah keseriusannya dalam membuat kriteria seorang Hakim.

أسماء الأعظم

أسماء الأعظم
اللّهم إِنِّي أَسْئََلُكَ بِاسْمِكَ الْأَعْظَمِ الْمَكْتُوبِ مِن نُّوْرِ وَجْهِكَ الْأَعْلَى الْمُؤَبَّدِ الدَّائِمِ الْبَاقِى الَمُخَلَّدِ فِى قَلْبِ نَبِيِّكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَأَسْئََلُكَ بِاسْمِكَ الْأَعْظَمِ الَوَاحِدِ بِوَحْدَةِ الْأَحَدِ الْمُتَعَالِي عَنْ وَحْدَةِ الْكَمِّ وَالْعَدَدِ الْمُقَدَّسِ عنْ كُلِّ أَحَدٍ وَبِحَقِّ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ  قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ  أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ سِرِّ حَيَاةِ الْوُجُودِ وَالسَّبَبِ الْأَعْظَمِ لِكُلِّ مَوْجُودٍ صَلَاةً تُثَبِّتُ فِى قَلْبِيَ الْإِيْمَانِ وَتُحَفِّظُنِيَ الْقُرْءَانَ وَتُفَهِّمُنِي مِنْهُ الْأيَاتِ وَتَفْتَحُ لِي بِهَا نُورَ الجَنَّاتِ وَنُورَ النَّعِيْمِ وَنُورَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ الْعَظِيْمِ وَعَلَى ءَالِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ.

Shalat Lima Waktu

Shalat Lima Waktu
Dalam Al-Quran, kata Shalawat (صَلَوَات) disebut lima kali, sama dengan jumlah shalat wajib sehari semalam: shubuh, zhuhur, ashar, maghrib dan isya’, yaitu di dalam ayat-ayat berikut:
أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (١٥٧)
” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna (shalawat) dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 157).
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (٢٣٨)
” Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Al-Baqarah: 238).

BACAAN GHARIB QIRA’AH ‘ASHIM RIWAYAT HAFSH

BACAAN GHARIB QIRA’AH ‘ASHIM RIWAYAT HAFSH
Sebuah tinjauan kebahasaan.
Berbicara tentang al-Qur’an memang bagaikan mengarungi samudera yang tak bertepi, semakin jauh ia diarungi semakin luas pula jangkauannya. Dari aspek manapun al-Qur’an dikaji dan diteliti, ia tidak akan pernah habis, bahkan semakin kaya dan selalu aktual. Ia bagaikan intan yang memiliki berbagai sudut, dan setiap sudut selalu memancarkan cahayanya yang terang. Aspek bacaan al-Qur’an atau qira’ah –dalam pengertian yang lebih luas, bukan hanya sekedar melafazhkan huruf Arab dengan lancar– merupakan salah satu aspek kajian yang paling jarang diperbincangkan, baik dikalangan santri atau kaum terpelajar, padahal membaca al-Qur’an tergolong ibadah mahdhah yang paling utama. Hal ini barangkali bisa dimengerti, mengingat kurangnya kitab atau buku yang secara panjang lebar mengupas ilmu qira’ah dan minimnya guru al-Qur’an yang memiliki kemampuan memadai tentang itu dan juga terlalu padatnya disiplin ilmu yang dipelajari. Tingginya semangat para “santri/pelajar” mempelajari dan mencari dalil tentang batalnya wudlu — misalnya — dari al-Qur’an, hadis dan pendapat-pendapat ulama, ternyata tidak diikuti oleh semangat mentashhihkan bacaan atau mencari dalil bacaan saktah, madd, ghunnah yang sama-sama wajib dan penting bagi kaum muslimin.