Selasa, 20 Maret 2012

Ilmu Qira>’a>t

Qira>’a>t al-Qur’an
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah mukjizat yang abadi, yang diturunkan kepada Rasulullah SAW sebagai hidayah bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda antara yang h}aq  dan yang ba>t}il. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT dalam bahasa Arab yang sangat tinggi susunan bahasanya dan keindahan balaghahnya.[1] Al-Qur’an juga merupakan salah satu sumber hukum Islam yang menduduki peringkat teratas[2], dan seluruh ayatnya berstatus qat}’iy al-wuru>d, yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah SWT.[3]
Dengan demikian , autentisitas serta orisinilitas al-Qur’an benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, karena ia merupakan wahyu Allah baik dari segi lafaz} maupun dari segi maknanya.[4] Seluruh ayat al-Qur’an telah diriwayatkan secara mutawa>tir baik secara hafalan maupun tulisan. Sementara dalam penulisan atau periwayatannya tidak boleh bahkan dilarang keras secara makna. Dengan demikian, ketika Rasulullah SAW wafat, al-Qur’an telah sempurna dihafal dan ditulis dengan lengkap.[5]
Ketika khilafah pemerintahan Islam dipimpin oleh Uthma>n bin ‘Affa>n, terjadi kekacauan terhadap eksistensi bacaan al-Qur’an. Dengan merujuk dan berpedoman pada s}uh}uf Abu> Bakar, Uthma>n bin ‘Affa>n berkoordinasi dengan panitia penulisan al-Qur’an pimpinan Zaid bin Thabit. Panitia penulisan al-Qur’an diperintahkan untuk menulis al-Qur’an dalam beberapa mushaf yang populer dengan sebutan Mas}a>h}if ‘Uthma>niyyah, dan ejaan tulisannya populer disebut Rasm ‘Uthma>ni>. Oleh karena ejaan tulisan Mas}a>h}if ‘Uthma>niyyah merujuk pada s}uh}uf yang dikumpulkan pada zaman Abu>> Bakar r.a., yang mana s}uh}uf ini mencangkup sab’ah ah}ruf dan merupakan kodifikasi tulisan al-Qur’an para kutta>b al-Wah}yi, berarti ejaan Rasm ‘Uthma>ni>  sesuai dengan ejaan tulisan yang dipakai para penulis wahyu Rasulullah SAW.[6]
Dalam sejarah perkembangan Qira>’a>t al-Qur’an dapat diketahui bahwa masa keemasan eksistensinya adalah mulai abad ke-1 hingga abad ke-9 Hijri, tepatnya hingga masa Ibn Jazari> (w. 833 H/1429 M). setelah itu hingga dekade tahun 1970-an boleh dikatakan mengalami masa kemunduran atau paling tidak stagnan didunia Islam termasuk Indonesia.[7]hal ini tercermin dengan adanya fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat pada tanggal 2 Maret 1983 yang merekomendasikan bahwa Qira>’a>t Tujuh wajib dikembangkan dan dipertahankan eksistensinya.[8]
Bahkan jauh sebelum itu, Majma’ al-Buh}uth (Lembaga Riset) Al-Azhar Cairo dalam Muktamarnya tanggal 20-27 April telah memutuskan bahwa Qira>’a>t al-Qur’an itu bukanlah hasil Ijtihad, melainkan Tauqifi yang berpegang pada riwayat-riwayat mutawatir. Muktamar juga mendorong dan menggalakkan para pembaca al-Qur’an agar tidak hanya membaca dengan Qira>’ah ‘A<s}im riwayat H{afsh saja, demi untuk menjaga qira>’a>t yang lain yang telah diyakini kebenarannya agar jangan terlupakan dan musnah. Muktamar juga menghimbau seluruh negara Islam agar menggalakkan mempelajari Qira>’a>t ini di lembaga-lembaga pendidikan khusus yang dikelola pakar Ilmu Qira>’a>t yang terpercaya keahliannya.[9]Berangkat dari latar belakang tersebut tulisan ini mengetengahkan kajian ringkas tentang Qira>’a>t dan para ahlinya.

B.    Pengertian Qira>’a>t.
Kata al-Qira>’a>t (القراءات) merupakan bentuk plural dari kata al-Qira>’ah (القراءة) yang tidak lain adalah bentuk mas}dar dari fi’il qara’a (قرأ). Kata al-Qira>’a>t sendiri secara etimologis berarti ragam bacaan.[10] Sedangkan secara terminologis, ada beberapa pendapat ulama yang penting untuk diperhatikan, diantaranya adalah keterangan yang telah dirumuskan oleh Abd al-Fatah} al-Qa>d}i> dan juga oleh Abu>> Sha>mah al-Dimashqi> (w.665/1266), definisi yang dirumuskan Abd al-Fatah} al-Qa>d}i> adalah sebagai berikut :
القراءات علم يعرف به كيفية النطق فى الكلمات القرءانية وطريق أدائها اتفاقا واختلافا مع عزو كل وجه لناقله
Qira>’a>t adalah Ilmu yang membahas tentang tatacara pengucapan kata-kata al-Qur’an berikut cara penyampainnya, baik yang disepakati (ulama ahli al-Qur’an ) maupun yang terjadi perbedaan pendapat, dengan menisbatkan setiap wajah bacaannya kepada seorang Imam Qira>’a>t”
Sedangkan Abu>> Sha>mah al-Dimashqi memberikan rumusan definisi sebagai berikut:
القراءات علم بكيفيات أداء كلمات القرءان وختلافها معزوا لناقله[11]
Qira>’a>t adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tatacara melafalkan beberapa kosakata al-Qur’an dan perbedaan pelafalannya dengan menisbatkan kepada orang yang meriwayatkannya”

Dari definisi yang disebutkan, Abu>> Sha>mah tidak hanya menganggap qira>’a>t sebagai artikulasi lafaz}, namun ia juga menganggapnya sebagai disiplin ilmu yang independen. Bahkan ia juga menyebutkan secara tegas bahwa sumber keberagaman qira>’a>t bukan sebagai produk inovasi manusia, melainkan disandarkan pada keterangan periwayatannya.
Apabila rumusan definisi Abu>> Sha>mah menekankan qira>’a>t sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen, Manna’ al-Qat}t}a>n dalam rumusan definisinya secara eksplisit mengukuhkan bahwa qira>’a>t tidak hanya sebagai sebuah disiplin ilmu, namun juga telah berakumulasi dalam sebuah mazhab qira>’a>t tertentu. Pemahaman ini tidak jauh berbeda dengan al-S{a>bu>ni>, hanya saja rumusan definisi yang disampaikannya terlihat lebih lengkap daripada rumusan yang ditawarkan oleh al-Qat}t}a>n. berikut ini rumusan definisi yang ditawarkan oleh al-Qat}t}a>n :
القراءات مذهب من مذاهب النطق في القرءان يذهب به إمام من الأئمة القراء مذهبا يخالف غيره[12]
Qira>’a>t adalah sebuah mazhab dari beberapa mazhab artikulasi (kosakata) al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang Imam Qira>’a>t yang berbeda dengan mazhab lainnya.”
Sedangkan Muhammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni> mendefinisikan Qira>’a>t sebagai berikut :
القراءات مذهب من مذاهب النطق في القرءان يذهب به إمام من الأئمة القراء مذهبا يخالف غيره في النطق بالقرءان الكريم وهي ثابتة بأسانيدها إلى رسول الله .ص.م[13]
Qira>’a>t adalah sebuah mazhab dari beberapa mazhab artikulasi (kosakata) al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang Imam Qira>’a>t yang berbeda dengan mazhab lainnya.”
Dari uraian diatas dapat diketahui aspek ontologi dan epistemologi disiplin ilmu Qira>’a>t. objek kajian (ontologi) ilmu qira>’a>t adalah al-Qur’an al-Kari>m dari segi perbedaan lafaz} dan cara artikulasinya. Metode mendapatkan (epistemologi) ilmu qira>’a>t adalah melalui riwayat yang berasal dari Rasulullah SAW. Sementara aksiologi ilmu qira>’a>t  tidak tampak dalam beberapa definisi diatas. Namun al-Zarqa>ni> di dalam kitabnya Mana>hil al-‘Irfa>n mendefinisikan sebagai berikut:
القراءات مذهب يذهب إليه إمام من أئمة القراء مخالفا به غيره في النطق بالقرءان الكريم[14]
 Qira>’a>t adalah salah satu mazhab yang dipakai oleh salah satu Imam qira>’a>t yang berbeda dengan yang lainnya dalam hal membaca al-Qur’an.”
Menurut al-Zarqa>ni>, nilai guna (aksiologi) ilmu qira>’a>t adalah sebagai salah satu instrumen untuk mempertahankan arisinilitas al-Qur’an.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan, bahwa:
1.      Qira>’a>t sudah merupakan disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan tersusun secara sistematis dan mempunyai metode tertentu.
2.      Qira>’a>t al-Qur’an selalu disandarkan atau dinisbatkan kepada Imam Qira>’a>t.
3.      Bacaan tersebut bukan didasarkan atas hasil ijtihad, tetapi berlandskan kepada riwayat yang sanadnya bersambung sampai Rasulullah Muhammad SAW.
4.      Manfaat ilmu Qira>’a>t adalah sebagai salah satu intrumen untuk mempertahankan orisinilitas al-Qur’an.
Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu qira>’a>t al-Qur’an kepada salah seorang Imam Qira>’a>t dan kepada orang-orang sesudahnya, istilah –istilah tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Qira>’ah (القراءة)            : dipergunakan sebagai istilah untuk menyebut suatu bacaan lafaz} al Qur’an yang di nisbatkan kepada seorang Imam. Dengan demikian, bila yang disebut adalah Imam Qira>’at, berarti tidak ada ikhtilaf bacaan untuk kedua periwayat.[15] Sebagai contoh, jika ada bacaan suatu lafaz} dinisbatkan kepada nama Imam ‘A<s}im, maka disebut Qira>’at ‘A<s}im.
2.    Riwa>yat (الرواية) atau riwa>yah: dipergunakan pada bacaan lafaz} al Qur’an yang dinisbatkan kepada seorang pera>wi/ra>wi dari Imam Qira>’at. Sebagai contoh, jika suatu bacaan lafaz} dinisbatkan kepada H{afs dari Imam ‘A<s}im, maka bacaannya disebut Riwa>yat H{afs} dari Imam ‘A<s}im.
3.    T{ari>q (الطريق): dipergunakan jika ada perbedaan bacaan suatu lafaz} yang dinisbatkan kepada seorang t}ari>q dari para perawi.[16] Sebagai contoh, jika suatu bacaan lafaz} dinisbatkan kepada Imam ash-Shat}ibi> dari para perawi H{afs}, maka bacaannya disebut menurut t}ari>q Imam ash-Shat}ibi> dari para perawi H{afs}.
4.    Wajah (الوجه):  dipergunakan untuk menyebut bentuk-bentuk bacaan yang berbeda yang diperbolehkan bagi seorang pembaca untuk memilihnya.[17] Misalnya, ketika terjadi hukum Mad ‘A<ridh Li as-Suku>n, maka mempunyai tiga wajah bacaan, yaitu al-Qas}r (2 harakat), at-Tawassut} (4 harakat), dan at-T{u>l (6 harakat). Dengan demikian, seorang pembaca al-Qur’an boleh memilih satu dari tiga wajah bacaan yang diperbolehkan.

C.    Perbedaan Qira>’a>t dengan al-Qur’an dan Tajwi>d
a.                 Perbedaan antara Qira>’a>t dengan al-Qur’an
Terdapat perbedaan pendapat dikalngan ulama tentang apa sebenarnya pebedaan antara Qira>’a>t dengan al-Qur’an. Berikut ini kami kemukakan perbedaan pendapat mereka, antara lain sebagai berikut:
1). Al-Zarkashi> dan al-Qus}t}ala>ni> menyatakan pendapat mereka sebagai berikut:
“ al-Qur’an dan Qira>’a>t merupakan dua substansi yang berbeda. Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan (kepada Nabi Muhammad SAW) sebagai mukjizat dan penjelasan. Sementara Qira>’a>t adalah perbedaan lafaz}-lafaz} wahyu tersebut, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapannya, seperti takhfi>f, tashdi>d dan lain-lain.”[18]

2). Jumhur Ulama dan para ahli Qira>’a>t berpendapat, bahwa jika Qira>’a>t itu diriwayatkan dengan sanad yang s}ah}i>h}, sesuai dengan kaidah bahasa arab, dan tidak menyalahi rasm al-Mus}h}af, maka Qira>’a>t tersebut tergolong al-Qur’an. Akan tetapi bilamana tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka hanya tergolong Qira>’a>t semata-mata.[19]
3). Ibn Daqi>q al-‘I<d sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fad}li> menyatakan, baha setiap Qira>’a>t tergolong al-Qur’an, termasuk Qira>’a>t sha>dhdhat.[20]
Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa  pada dasarnya Qira>’a>t dan al-Qur’an memang merupakan dua substansi yang berbeda. Namun demikian, Qira>’a>t bisa digolongkan al-Qur’an bila mana memenuhi persyaratan berikut:
a). Qira>’a>t sesuai dengan kaidah bahasa Arab
b). Qira>’a>t tersebut tidak menyalahi rasm al-mus}h}af
c). Qira>’a>t tersebut bersumber dari Nabi SAW. Melalui sanad yang s}ah}i>h}, serta diriwayatkan secara mutawatir. Persyaratan yang terakhir disebut ini, merupakan unsur yang paling dominan. Hal ini karena unsur tawatur (ke-mutawatir-an) merupakan salah satu unsur pokok bagi suatu Qira>’a>t yang diakui Qur’aniyya>t(ke-qur’a>n-an)nya.[21]
b.    Perbedaan antara Qira>’a>t dengan Tajwi>d.
Untuk membedakan antara Qira>’a>t dengan Tajwi>d, perlu diketahui terlebih dahulu apa sebenarnya yang dimaksud dengan Tajwi>d.
Sebagian Ulama mengemukakan pengertian Tajwi>d sebagai berikut:
secara bahasa Tajwi>d berarti al-Tah}si>n atau membaguskan, sedangkan secara istilah Tajwi>d adalah : mengucapkan setiap huruf (al-Qur’an) sesuai dengan makhraj nya menurut sifat-sifat huruf yang mesti diucapkan, baik berdasarkan sifat asalnya maupun berdasarkan sifat-sifat yang baru
Sebagian yang lain menyatakan :
Tajwi>d yaitu: mengucapkan huruf(al-Qur’an) dengan tertib menurut yang seharusnya, sesuai dengan makhraj serta bunyi asalnya, serta melembutkan bacaannya sesempurna mungkin, tanpa berlebih lebihan , serampangan, ataupun dibuat-buat”

Dengan memperhatikan pengertian diatas maka dapat disimpulkan perbedaan antara Qira>’a>t dengan Tajwi>d sebagai berikut:
Qira>’a>t adalah, cara pengucapan lafaz}-lafaz} al-Qur’an yang berkenaan dengan substansi lafaz}, kalimat, ataupun dialek kebahasaan. Sedangkan Tajwi>d yaitu, kaidah-kaidah yang bersifat teknis dalam upaya memperindah bacaan al-Qur’an, dengan cara membunyikan huruf-huruf al-Qur’an tersbut sesuai dengan makhraj dan sifatnya.

D.    Kualifikasi Orisinilitas Qira>’a>t.
Tinjauan dari segi sanad –menurut al-Suyu>t}i>, menukil dari pendapat Ibn al-Jaza>ri>-- klasifikasi Qira>’a>t dalam enam tingkatan[22], yaitu:
1). Mutawatir, yaitu sanad qira>’a>t yang diterima oleh sejumlah perawi yang tidak mungkin bersepakat bohong dari setiap angkatan, dan sanadnya bersambung sampai Rasulullah SAW.
2). Masyhur, yaitu qira>’a>t yang memiliki sanad s}ah}i>h}, sesuai dengan tata bahasa Arab dan sesuai dengan slah satu Rasm Mas}a>h}if ‘Uthma>niyyah. Namun periwayatnya tidak sebanyak perawi qira>’a>t mutawatirah.
3). Aha>d, yaitu yang s}ah}i>h} sanadnya dan berbeda dengan kaidah bahasa Arab dan Rasm Mas}a>h}if ‘Uthma>niyyah, qira>’a>t pada tingkatan ini tidak populer dan hanya diketahui oleh orang-orang yang benar-benar mendalami qira>’a>t al-Qur’an. Oleh karena itu layak untuk diyakini sebagai bacaan al-Qur’an yang sah, seperti bacaan Abi Bakrah:
متكئين على رفارف خضرٍ وعباقريَّ حسان
4). Sha>dh,  yaitu tidak memiliki sanad s}ah}i>h}. didalamnya banyak menyalahi kaidah tata bahasa Arab dan Rasm Mas}a>h}if ‘Uthma>niyyah. qira>’a>t  pada tingkatan ini tidak dapat dijadikan pegangan dalam bacaan yang sah, seperti bacaan Ibn al-Samaifa’:
فليوم ننحيك ببدنك لتكون لمن خلفك ءاية
Dan membaca  مَلَكَ يو مَ الدّين(dengan fi’il mad}i) dan bacaan nas}ab  يومَ dan إيّاك يُعبَد. dengan fi’il mabni majhul.
5). Maud}u>’ , yaitu qira>’a>t yang disandarkan pada seseorang tanpa dasar, seperti qira>’a>t yang dikumpulkan oleh Muhammad bin Ja’far al-Khazza>’I, atau bacaan yang di nisbatkan kepada Abu>> Hanifah:
يخشى اللهُ من عباده العلماء dengan rafa’ pada lafazhالله  dan nas}ab pada العلماء
6). Mudraj, yakni bacaan yang disisipkan kedalam  ayat al-Qur’an sebagai tambahan yang biasanya dipakai untuk memperjelas makna atau penafsiran, tentunya qira>’a>t yang demikian tidak dapat dianggap sebagai bacaan yang sah, seperti:
- Bacaan Sa’d bin Abi Waqqa>s وله أخ او أخت من أمDia memiliki saudara laki-laki dan saudara perempuan dari ibu” yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mans}u>r.
- Bacaan Ibn ‘Abba>s
ليس عليكم جناح ان تبتغوا فضلا من ربكم فى موسم الحجTidak ada dosa bagi kalian jika kalian mencari karunia dari Tuhan kalian pada musim haji”.
Namun menurut hemat penulis, ad pembagian yang lebih sederhana lagi dengan membagi qira>’a>t menjadi dua, yaitu qira>’a>t mutaw>tirah dan qira>’a>t shadhdhah. Penyederhanaan ini berangkat dari patokan bahwa yang dinamakan al-Qur’an adalah wahyu Allah yang mempunyai nilai kemukjizatan, yang diturunkan kepada Nabi SAW dan diriwayatkan secara mutawatir. Berarti bila ada qira>’a>t yang tidak diriwayatkan secara mutawatir ia sudah kehilangan keabsahannya sebagai al-Qur’an, dan ia disebut qira>’a>t shadhdhah.
E. Qurra>’( Ahli atau Imam Qira>’a>t).
Qurra>’ (قرّاء) adalah bentuk plural dari kata Qa>ri’, yang dalam ilmu qira>’a>t diartikan dengan ahli atau imam Qira>'a>t. Jumlah mereka banyak sekali, disini kami akan menuturkan para imam Qira>'a>t mulai dari masa sahabat, Periode qurra>’ (ahli atau imam Qirō'at) yang mengajarkan bacaan al-Qur'an pada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan standar dari masa sahabat yang mulia dan diantara para sahabat yang termasyhur bacaannya adalah ‘Uthma>n bin ‘Affa>n, Ali> bin Abi> T{a>lib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tha>bit, Ibn Mas’u>d, Abu> Darda>’ dan Abu> Mu>sa> al-Ash’a>ri. Dari mereka inilah kebanyakan para sahabat dan para tabi'in dari berbagai negeri belajar Qira>'a>t, dan mereka semua berpedoman (bersandar) kepada Rasulullah S.A.W.
Dari kalangan sahabat banyak yang mengambil (belajar) bacaan Al-Qur'an dari Ubay bin Ka’ab, diantara sahabat-sahabat yang belajar darinya adalah Abu> Hurayrah, Abdullah bin ‘Abba>s dan Abdu>llah bin al-Sa>’ib. Abdullah bin ‘Abba>s selain belajar kepada Ubay juga belajar kepada Zaid bin Tha>bit, kemudian para tabi’in banyak yang belajar al-Qur'an dari para sahabat tersebut.
Diantara para tabi’in di kota Madinah yang belajar dari para sahabat tersebut adalah  Ibn al-Musayyib, Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan At}a>’ bin Yasar, Muadz bin Al-H{arith atau yang lebih dikenal dengan panggilan Muadh Al-Qa>ri’, Abdurrahman bin Hurmuz, al-A’ra>j, Ibn Shiha>b al-Zuhri, Muslim bin Jundub dan Zaid bin Aslam. Sedangkan para tabi’in di kota Makkah yang belajar Al-Qur'an dari para sahabat adalah Ubaid bin Umair, At}a>’ bin Abi Rabbah, T{a>wus, Mujahid, 'Ikrimah dan Ibnu Abi Mulaikah. Dan yang dari Kuffah yang belajar Al-Qur'an dari para sahabat adalah 'Alqamah, Al-Aswad, Masruq, 'Ubaidah, 'Amr bin Shurahbil, al-H{arith bin Al-Qois, al-Rabi' bin Khuthaim, 'Amru bin Maimun, Abu> Abdirrahman bin As-Sulamy, Zirr bin Hubaish, Ubaid bin Nudhailah, Sa'id bin Jubair, Ibrahim al-Nakha>’i dan Al-Sha’biy. Dari Basrah para tabi'in yang mewarisi Al-Qur'an dari para sahabat adalah Abu> al-‘Aliyah, Abu> Raja’, Nas}r bin 'Ās}im, Yah}ya bin Ya’mur, al-H{asan, Ibnu Sirin dan Qatadah. Sedangkan tabi’in dari kota Syam yang mewarisi al-Qur'an dari para sahabat adalah Al-Mughiroh bin Abi Shihab Al-Makhzumi murid ‘Uthma>n dan Khalifah bin Sa’ad murid Abi Darda>’.
Kemudian setelah itu pada permulaan abad pertama Hijriyah yakni di masa tabi'in, tampilah sejumlah 'ulama' yang mengkhususkan diri dengan Al-Qur'an. Mereka mempelajari Al-Qur'an dengan perhatian yang sangat besar, sehingga mereka menjadi Imam dalam Al-Qur'an yang menjadi panutan masyarakat luas dan banyak dikunjungi lantaran ilmunya yang begitu dalam, Ulama-ulama seperti itu yang tinggal di kota Madinah adalah Abu> Ja’far Yazid bin al-Qa’qa’, Shaibah bin Nas}ah} dan Na>fi’ bin Abi Nu’aim. Dan yang tinggal di kota Makkah ada Abdullah bin Kathi>r, H{umaid bin Qais, al-A’ra>j dan Muhammad bin Muh}aisin, sedangkan yang tinggal di kota Kufah ada Yahya bin Wathab, 'Āshim bin Abi al-Najud, Sulaiman al-A’Mash, kemudian H{amzah dan al-Kisa>’i, dan yang tinggal di kota Basrah ada Abdullah bin Abi Ishaq, 'Isa bin Umar, Abu> 'Amr bin Al-'Ala dan 'Āshim Al-Juhdary kemudian Ya’qub Al-Hadhramy, dan mereka yang tinggal di Syam ada Abdullah bin 'Āmir, 'Āt}iyyah bin Qais al-Kulabiy, Ismail bin Abdullah bin Muhajir, Yahya bin Harith Al-Dhamary, kemudian Shuraih bin Yazid al-Had}ramiy.
 Adapun yang paling terkenal di segala penjuru dari para ulama' Qira>'a>t  (para qa>ri’yang termasyhur) tersebut hanyalah tujuh orang yaitu:
1)      Imam Nāfi’ bin Abi Nu’aim, ia telah belajar dari 70 orang Tabi’in diantaranya adalah Abu> Ja’far.
2)      Imam Ibn Kathi>r, ia telah mewarisi al-Qur'an dari Abdullah bin As-Sāib --  sahabat--.
3)      Imam Abu> 'Amru ia telah mewarisi al-Qur'an dari para tabi'in.
4)      Imam Ibn 'Āmir ia telah mewarisi al-Qur'an dari sahabat Abu> Darda>’ dan murid-murid sayyidiana ‘Uthma>n r.a.
5)      Imam 'Āshim bin Abi al-Najud, ia telah mewarisi al-Qur'an dari para tabi'in.
6)      Imam H{amzah, ia telah mewarisi al-Qur'an dari 'Āshim, Al-A’masy, al-Sabī'iy, Mans}ur bin al-Mu'tamir dan juga yang lainnya.
7)      Imam 'Ali Al-Kisā'i, ia telah mewarisi al-Qur'an dari H{amzah dan Abu> Bakar bin Ayyas.
Selain itu populer pula Qira>’a>t sepuluh (al-Qira>’a>t al-‘Ashr), yakni Qira>’a>t tujuh diatas dilengkapi dengan tiga Imam Qira>’a>t, yaitu ; Qira>’ah Ya’qu>b, Qira>’ah  Khalaf, dan Qira>’ah Yazi>d bin Qa’qa’ (Abu> Ja’far). Dan juga Qira>’a>t Empat belas (al-Qira>’a>t al-Arba’ ‘Ashr), yaitu Qira>’a>t sepuluh ditambah empat Imam Qira>’a>t, yaitu : Qira>’ah H{asan Bas}ri>, Qira>’ah Ibn Muh}aisin, Qira>’ah Yah}ya al-Yazi>di dan Qira>’ah al-Shanabudh.[23]

F.     Penutup.
Ragam Qira>’a>t al-Qur’an bukan didasarkan atas hasil ijtihad, tetapi berlandaskan kepada riwayat dan sanad yang bersambung sampai kepada Nabi saw. Qira>’a>t merupakan disiplin ilmu sendiri, tersusun secara sistematis, dan mempunyai metode tertentu. Ilmu Qira>’a>t merupakan salah satu instrumen untuk mempertahankan orisinilitas al-Qur’an.
Ragam Qira>’a>t al-Qur’an, termasuk kajian keilmuannya, bagi sebagian masyarakat Indonesia merupakan disiplin ilmu yang baru bila dibandingkan dengan kajian Islam lainnya. Oleh karena itu, wajar bila sebagian masyarakat belum mengenal ilmu ini.





























Daftar Pustaka-
-  al-Dimashqi>, Abu>> Sha>mah Ibra>z al-Ma’a>niy min Hirz al-Ama>niy fi al-Qira>’a>t as-Sab’ Baerut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1980.
- al-Dimyat}I, Ahmad bin Muhammad bin abd Ghani Ith}a>f Fud}ala>’ al-Bashar fi al-Qira>’a>t al-Arba’> ‘Ashar,.Kairo: Ma’had al-Husaini, t.t.
- al-Fad}li>, Abd al-Ha>di Al-Qira>’a>t al-Qur’a>niyya>t,Baerut: Da>r al-Majma’ al-‘Ilm, 1979.
- Fathoni, Ahmad, KAIDAH QIRA>A>T TUJUH Menurut T{ariq Syat}ibiyyah, jilid I Jakarta: PTIQ & IIQ dan Darul Ulum Press,2005.
- ............................., Ragam Qiraat Al-Qur’an,dalam SUHUF: Jurnal Kajian Al-Qur’an dan Kebudayaan,Vol.1, No. 1, Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008.
- Khalla>f, ‘Abd al-Wahha>b. Ilm Us}u>l al-Fiqh, Mesir : Maktabah al-Da’wah al-Isla>miyyah, 1968, Cet, ke-8,
- Kumpulan Fatwa MUI , Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
- Muh}aisin, Muhammad Sa>lim Al-Irsya>da>t al-Jaliyyah fi al-Qira>’a>t al-Sab’ min T{ari>q al-Sha>t}ibiyyah, Al-Azhar: Maktabah al-Kulliyya>t al-Azhariyyah, 1974
- Syalt}u>t}, Mahmu>d, Al-Isla>m ‘Aqidah wa Shari>’ah, Mesir:Da>r al-Qalam, 1966.
- al-S{a>bu>ni>, Muhammad ‘Ali> Al-Tibya>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Baerut: Da>r al-‘Irsha>d, t.t.
- al-Qat}t}a>n, Manna’ Khalil Maba>h}ith fi ‘Ulu>m al-Qur’an,T.tp., T.pn., 1973Ke-3,
- al-Qus}t}ala>ni>, Shiha>b al-Di>n Lat}a>’if al-Isha>ra>t li Funu>n al-Qira>’a>t,Kairo:T.tp., 1974
- al-Zarkashi>, Ima>m Badr al-Di>n Muhammad al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Mesir: Isa> al-Ba>b al-Halabi>, t.t, Juz I
- al-Zarqa>ni>, Muhammad ‘Abd al-‘Az}i>m Mana>hil al-‘Irfa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, jilid.I. kairo: al-Halabi>, t.t..
















[1] Ahmad Fathoni, KAIDAH QIRA>A>T TUJUH Menurut T{ariq Syat}ibiyyah, jilid I (Jakarta: PTIQ & IIQ dan Darul Ulum Press,2005), h.1.
[2] ‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, Ilm Us}u>l al-Fiqh, (Mesir : Maktabah al-Da’wah al-Isla>miyyah, 1968), Cet, ke-8, hlm. 21.
[3] Ibid, hlm. 34.
[4] Ibid, hlm. 23.
[5] Mahmu>d Syalt}u>t}, Al-Isla>m ‘Aqidah wa Shari>’ah (Mesir:Da>r al-Qalam, 1966), hlm.507.
[6] Ahmad Fathoni, Ragam Qiraat Al-Qur’an,dalam SUHUF: Jurnal Kajian Al-Qur’an dan Kebudayaan,Vol.1, No. 1, (Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008). Hlm.54.
[7] Ibid,hlm.55
[8] Kumpulan Fatwa MUI (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hlm. 152.
[9] Ahmad Fathoni, KAIDAH QIRA>A>T TUJUH….., h.14.
[10] Lihat: Manna’ Khalil al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi ‘Ulu>m al-Qur’an, (T.tp., T.pn., 1973), Cet. Ke-3, hlm.170., Ali> al-S{a>bu>ni>, al-Tibya>n fi ‘Ulu>m al-Qur’an, , (T.tp., T.pn., 1980), Cet. Ke-2, hlm.223
[11] Abu>> Sha>mah al-Dimashqi>, Ibra>z al-Ma’a>niy min Hirz al-Ama>niy fi al-Qira>’a>t as-Sab’ (Baerut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1980), hlm.3.
[12] Manna’ Khalil al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi ‘Ulu>m….., hlm.171.
[13] Muhammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni>, Al-Tibya>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Baerut: Da>r al-‘Irsha>d, t.t.), hlm.218.
[14] Muhammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, jilid.I. (kairo: al-Halabi>, t.t.), hlm.405.
[15] Muhammad Sa>lim Muh}aisin, Al-Irsya>da>t al-Jaliyyah fi al-Qira>’a>t al-Sab’ min T{ari>q al-Sha>t}ibiyyah  (Al-Azhar: Maktabah al-Kulliyya>t al-Azhariyyah, 1974), hlm. 13.
[16] Ibid,. hlm. 13.
[17] Ibid,.
[18] Shiha>b al-Di>n al-Qus}t}ala>ni>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t li Funu>n al-Qira>’a>t, (Kairo:T.tp., 1974),.hlm.170. Ima>m Badr al-Di>n Muhammad al-Zarkashi>, al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Mesir: Isa> al-Ba>b al-Halabi>, t.t), Juz I ,. Hlm. 318.
[19] Abd al-Ha>di al-Fad}li>, Al-Qira>’a>t al-Qur’a>niyya>t, (Baerut: Da>r al-Majma’ al-‘Ilm, 1979), hlm. 63.
[20] Ibid.
[21] Muhammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n…, hlm.418.
[22] Ibid,. 430-431
[23] Ahmad bin Muhammad bin abd Ghani al-Dimyat}I, Ith}a>f Fud}ala>’ al-Bashar fi al-Qira>’a>t al-Arba’> ‘Ashar,. (Kairo: Ma’had al-Husaini, t.t.).hlm. 9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar