Memahami Hadis dengan Melihat Fungsi
Nabi Muhammad SAW
Nabi
Muhammad SAW di utus oleh Allah SWT untuk semua umat manusia, sebagaimana
dinyatakan oleh Allah dalam surat al-Saba’,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ
إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“ Dan Kami tidak mengutus kamu,
melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (Qs. Al-Saba’ [34]:28).
Dan sebagai rahmat bagi seluruh alam,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ
إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“ Dan Tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Qs. Al-Anbiya>’[21]:107).
Hal ini berarti, kehadiran beliau
membawa kebajikan dan rahmat bagi semua umat manusia dalam segala waktu dan
tempat. Dalam pada itu, hidup beliau dibatasi oleh waktu dan tempat. Kalau
begitu, hadis Nabi, yang merupakan salah satu sumber utama agam Islam disamping
al-Qur’an, mengandung ajaran yang bersifat universal, temporal, dan lokal.
Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa
Nabi Muhammad selain dinyatakan sebagai Rasulullah,[1]
juga dinyatakan sebagai manusia biasa.[2]
Dalam sejarah beliau berperan dalam banyak fungsi, antara lain sebagai
Rasulullah, kepala negara,[3]
pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim,[4]
dan pribadi. Kalau begitu, hadis yang merupakan sesuatu yang berasal dari Nabi
mengandung petunjuk yang pemahaman dan penerapannya perlu dikaitkan juga dengan
peran Nabi tatkala hadis itu terjadi.
Menurut Mahmud Shalt}ut}, mengetahui
hal-hal yang dilakukan oleh Nabi dengan mengaitkannya pada fungsi Nabi tatkala
hal-hal itu dilakukan sangat besar manfaatnya.[5]
Ulama yang pertama kali memahami kandungan hadis Nabi dengan menghubungkan
fungsi Nabi adalah Imam Shihab al-Di>n al-Qarafi (w.694 H) dalam kitabnya al-Furu>q
dan al-Ih}ka>m fi Tamyi>z min al-Ah}ka>m. Dalam kitab
tersebut al-Qarafi melakukan kajian tentang ucapan dan perbuatan Rasulullah
beserta perbedaan kondisinya, antara beliau sebagai pemimpin, hakim, dan pemberi
fatwa atau penyampai ajaran dari Allah SWT. Hal ini berpengaruh pada keumuman
hukum dan kekhususannya serta universalnya atau temporernya.
Shaikh Ahmad Abd al-Rahim atau lebih
dikenal dengan Shah Waliyyullah al-Dahlawi (w. 1176 H) dalam kitabny, Hujjah
Allah al-Ba>lighah, menjelaskan bahwa sabda Nabi SAW dibagi kepada
Sunnah yang di sabdakan Nabi dalam kapasitasnya sebagai penyampai Risalah dan
yang di sabdakan bukan sebagai penyampai risalah.
Dalam hal ini, Sunnah Nabi di
klasifikasikan menurut fungsi-fungsi Nabi SAW. tatkala hadis itu dikemukakan
kepada (1). Sebagai Rasul; (2). Sebagai Kepala Negara / Pemimpin masyarakat
atau sebagai panglima perang; (3). Sebagai Hakim; dan (6). Sebagai Suami atau
Pribadi. Klasifikasi ini tidak mudah disusun namun sangat perlu untuk
dilakukan.[6]
Beberapa contoh hadis yang di maksud antara lain;
1.
Sebagai Rasulullah
Tentang
Keutamaan Nabi Muhammad SAW;
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ هُوَ الْعَوَقِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ قَالَ ح و
حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ النَّضْرِ قَالَ أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ قَالَ أَخْبَرَنَا
سَيَّارٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ هُوَ ابْنُ صُهَيْبٍ الْفَقِيرُ قَالَ
أَخْبَرَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي
نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا
وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ
وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ
الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ
إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sinan -yaitu
Al 'Awaqi- telah menceritakan kepada kami Husyaim berkata. (dalam jalur lain
disebutkan) Telah menceritakan kepadaku Sa'id bin An Nadlr berkata, telah
mengabarkan kepada kami Husyaim berkata, telah mengabarkan kepada kami Sayyar
berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid -yaitu Ibnu Shuhaib Al Faqir-
berkata, telah mengabarkan kepada kami Jabir bin 'Abdullah bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku diberikan lima perkara yang
tidak diberikan kepada orang sebelumku; aku ditolong melawan musuhku dengan
ketakutan mereka sejauh satu bulan perjalanan, dijadikan bumi untukku sebagai
tempat sujud dan suci. Maka dimana saja salah seorang dari umatku mendapati
waktu shalat hendaklah ia shalat, dihalalkan untukku harta rampasan perang yang
tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku, aku diberikan (hak) syafa'at,
dan para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk
seluruh manusia."
(HR. al-Jama’ah).
Secara tekstual, hadis tersebut
memberi informasi tentang lima keutamaan Nabi Muhammmad di bandingkan dengan
para Nabi sebelumnya.[7]
Pernyataan ini bersifat universal. Nabi muhammad
ketika menyampaikan pernyataan itu berada dalam Kapasitas beliau sebagai
Rasulullah sebab informasi yang beliau sampaikan tidak mungkin didasarkan atas pertimbangan
rasio, tetapi semata-mata petunjuk wahyu Allah. Tetapi tidaklah berarti bahwa
dalam fungsi Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, pertimbangan rasio tidak di
kenal sama sekali. Dengan demikian, salah satu indikator sebuah hadis Nabi
dinyatakan dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah adalah jika hadis tersebut
tidak mungkin atau sulit didasarkan atas pertimbangan rasio, tetapi semata-mata
atas petunjuk wahyu Allah.
2.
Sebagai Kepala
Negara atau Pemimpin Masyarakat
Contoh hadis Nabi
dalam kaitannya dengan kedudukan Nabi sebagai kepala Negara atau Pemimpin
Masyarakat adalah ;
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ
قَالَ ابْنُ عُمَرَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
يَزَالُ هَذَا الْأَمْرُ فِي قُرَيْشٍ مَا بَقِيَ مِنْهُمْ اثْنَانِ
"Telah menceritakan kepada kami Ahmad
bin Yunus telah menceritakan kepada kami 'Ashim bin Muhammad, aku mendengar
Ayahku mengatakan; Ibnu Umar mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: " Dalam urusan (beragama,
bermasyarakat dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi pemimpinnya)
selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang saja."(HR.
Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Pemahaman
secara tekstual terhadap hadis-hadis di atas dan yang semakna dengannya dalam
sejarah telah menjadi pendapat umum ulama. Konon ulama yang mempelopori
pemahaman secara kontekstual adalah Ibnu Khaldun (w.808H=1406M). Menurut Ibnu
Khaldun, hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada
kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi yang memenuhi syarat sebagai
pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat yang dipimpinnya adalah dari kalangan
Quarisy.[8]
Apabila kandungan hadis-hadis di atas dihubungkan dengan fungsi Nabi, maka
dapatlah dinyatakan bahwa pada saat hadis-hadis itu dinyatakan, Nabi berada
pada fungsinya sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Yang menjadi
indikasinya (qarinah) antara lain adalah ketetapan yang bersifat
primordial, yakni sangat mengutamakan orang Suku Quraisy. Hal itu tidak sejalan
dengan, misalnya, petunjuk al-Qur’an yang menyatakan bahwa yang paling utama di
hadirat Allah adalah yang paling bertakwa.[9]
3.
Sebagai Hakim.
Adakalanya suatu hadis dinyatakan
Nabi SAW dalam kapasitas beliau sebagai hakim atau manusia biasa. Sebagai
contoh adalah hadis Nabi tentang keterbatasan pengetahuan hakim;
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ
صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ
زَيْنَبَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ سَمِعَ خُصُومَةً بِبَابِ حُجْرَتِهِ
فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنَّهُ يَأْتِينِي
الْخَصْمُ فَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَبْلَغَ مِنْ بَعْضٍ فَأَحْسِبُ
أَنَّهُ صَادِقٌ فَأَقْضِي لَهُ بِذَلِكَ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ
فَإِنَّمَا هِيَ قِطْعَةٌ مِنْ النَّارِ فَلْيَأْخُذْهَا أَوْ لِيَتْرُكْهَا
“ Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abdullah
telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'd dari Salih dari Ibnu Syihab
mengatakan, Urwah bin Zubair mengabarkan kepadaku, bahwasanya Zainab binti Abu
Salamah mengabarkan kepadanya, bahwa Ummu Salamah isteri Nabi shallallahu
'alaihi wasallam mengabarinya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam; bahwasannya
beliau mendengar pertengkaran di (muka) pintu kamar beliau. Maka beliau keluar
(dari kamar untuk) menemui mereka, kemudian beliau bersabda : “Sesungguhnya
saya ini adalah manusia biasa. Sesungguhnya orang yang terlibat pertengkaran
mendatangi saya, maka mungkin saja sebagian dari kamu (yang bertengkar) lebih
mampu (berargumentasi) daripada pihak lainnya, sehingga saya menduga bahwa
dialah yang benar, lalu saya putuskan (perkara itu) dengan memenangkannya. Barangsiapa
yang saya menangkan (perkaranya) dengan mengambil hak saudaranya sesama muslim,
maka sesunguhnya keputusan itu adalah potongan api neraka yang saya berikan
kepadanya; (Terserah apakah) dia harus mengambilnya ataukah menolaknya.
(HR. al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya).
Hadis
tersebut memberi petunjuk tentang pengakuan Nabi sebagai manusia biasa dan
sebagai hakim. Dalam melaksanakan kedua fungsi itu, Nabi mengaku memiliki
kekurangan, yakni mungkin saja dapat dikelabuhi oleh kepintaran pihak yang
berperkara dalam mengemukakan argumen-argumen untuk memenangkan perkaranya,
walaupun sesungguhnya apa yang dikatakannya itu tidak benar.
Apa
yang berlaku bagi hakim sebagaimana yang dikemukakan oleh hadis Nabi tersebut
bersifat universal. Dalam pada itu, keputusan yang ditetapkan oleh hakim di
satu segi mungkin bersifat universal, temporal, ataupun lokal, sedang di segi
yang lain, keputusan hakim itu mungkin benar dan mungkin tidak benar. Kesalahan
keputusan hakim terjadi mungkin karena keterangan yang disampaikan oleh pihak
yang berperkara tidak benar dan mungkin karena kesalahan hakim dalam
berijtihad.
4.
Pribadi.
Sebagai
contoh hadis Nabi dalam kapasitas beliau sebagai manusia biasa adalah tentang cara
Nabi Muhamad Berbaring, dalam riwayat hadis Nabi dinyatakan :
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبَّادِ
بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مُسْتَلْقِيًا فِي الْمَسْجِدِ وَاضِعًا إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى
الْأُخْرَى
“ Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah dari
Malik dari Ibnu Syihab dari 'Abbad bin Tamim dari Pamannya bahwa dia melihat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berbaring di dalam masjid dengan
meletakkan satu kakinya di atas kaki yang lain." (HR. al-Bukhari,
Muslim dan Ahmad).
Hadis
tersebut memberi petunjuk tentang cara berbaring Nabi ketika itu, yakni dengan
meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lainnya. Pada saat itu tampaknya
Nabi sedang merasa nyaman dengan berbaring dalam posisi yang digambarkan oleh
hadis di atas. Perbuatan itu dilakukan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai
pribadi.
Menghubungkan
kandungan petunjuk hadis Nabi dengan fungsi beliau tatkala hadis itu terjadi,
selain dimungkinkan, juga sangat membantu untuk memahami kandungan petunjuk
hadis Nabi secara benar. Hanya saja, usaha yang demikian tidak mudah dilakukan.
Pada sisi lain, menghubungkan kandungan petunjuk hadis Nabi dengan fungsi
beliau tatkala hadis itu terjadi menunjukkan bahwa tidak semua hadis dapat dipahami
secara tekstual, tetapi kadang menghendaki pemahaman kontekstual. Itu berarti
pemahaman hadis Nabi ada yang bersifat universal, temporal, dan atau lokal.
Lebih lanjut bisa dilihat pada tabel ;
I: Kecenderungan
Metode Pemahaman Hadis Nabi di Hubungkan dengan Fungsi Nabi
No
|
Fungsi Nabi SAW
|
Kecenderungan
Metode Pemahaman
|
||||
Tekstual
|
Kontekstual
|
|||||
Universal
|
Temporal
|
Universal
|
Temporal
|
Lokal
|
||
1
|
Rasulullah
|
√
|
|
|
√
|
|
2
|
Kepala Negara
|
|
|
√
|
|
|
3
|
Hakim
|
√
|
|
√
|
√
|
√
|
4
|
Pribadi
|
|
|
|
√
|
|
Dari tabel diatas dapat dinyatakan bahwa
pemahaman terhadap hadis Nabi SAW di hubungkan dengan fungsi Nabi Muhammad SAW
lebih bersifat kontekstual disamping tekstual. Sedangkan kandungan petunjuk
hadis-hadis tersebut ada yang bersifat universal, temporal, dan atau lokal.
[1] Lihat, Qs. Ali Imran [3]: 144).
[2] Lihat, Qs. Al-Kahfi [18]: 110).
[3] W. Montgomery Watt menulis buku
sejarah Nabi Muhammad dengan judul yang membedakan fungsi diri Nabi Muhammad
sebagai Rasulullah dan sebagai kepala Negara. W. Montgomery Watt, Muhammad
Prophet and Statesman, (London : Oxford University Press, 1996).
[4] Philip K Hitti, History of
the Arabs, (London: The Macmillan Press, 1974), hlm. 139.
[5] Mahmud Shalt}ut, al-Isla>m
‘Aqidah wa Shari’ah, Da>r al-Qalam (Kairo: 1966), h. 510.
[6] Syuhudi Isma’il, Hadis Nabi
Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’anil Hadis Tentang Ajaran Islam Yang
Universal, Temporal dan Lokal.(Jakarta: Bulan Bintang, 1994). h. 33-34.
[7] Dalam hadis lain, terdapat perbedaan dari jenis
keutamaan tersebut; dan dalam riwayat yang lain lagi Nabi mengemukakan enam
keutamaan, Lihat misalnya, S}ah}ih} Muslim, Juz I, h. 370-372.
[8]
Lihat, Abd al-Rahman bin
Muhammad ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Da>r al-Fikr, [ttp],
[tth].
[9]
Lihat, al-Qur’an Surat
al-Hujurat:13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar