AL-QUR’AN:
MUKJIZAT ABADI
Seorang kafir Makkah
berkunjung ke Najd. Ia meninggalkan Nabi Muhammad saw., orang yang sangat
dibencinya, menemui Musailamah Al-Kadzdzab, yang juga mengaku sebagai nabi.
Musailamah berkata kepadanya: "Apa gerangan yang turun kepada kawanmu
akhir-akhir ini?" Amr bin Ash, tamu dari Makkah itu, menjawab: "Telah
turun satu surat yang singkat, padat dan indah." "Bagaimana surat
itu?", tanya
Musailamah. Amr
bin Ash kemudian membacakan surat ini:
Îوَالْعَصْرِ (١)إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢)إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)
“ Demi masa. Sesungguhnya manusia
itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Sejenak Musailamah tepekur, lalu berkata, "Surat
semacam itu turun juga kepadaku." Giliran Amr bertanya, "Bagaimana
bunyi surat itu?" Musailamah berkata:
يا وبر يا وبر
. إنك أذنان وصدْرٌ. وسائرك حفرٌ نقْرٌ
Wahai kelinci, wahai kelinci. Kamu itu cuma dua telinga
dan dada. Di sekitarmu lubang galian.
"Bagaimana
pendapatmu, hai Amr?" Amr segera menjawab, "Demi Allah, Anda tahu
bahwa aku tahu Anda berdusta." (Tafsir Ibn Kathi>r 4:547). Amr bin Ash,
yang waktu itu belum masuk Islam dan tidak menyukai Nabi Muhammad saw. mengaku
dengan jujur bahwa al-Quran mengandung kata-kata yang singkat dengan kandungan
makna yang dalam. Kata-kata itu dirangkai dalam susunan kalimat yang indah. Amr
menyebutnya su>rah wajizah bala>ghah.
Surat "al-‘As}r" yang pendek itu mengajarkan
kepada manusia untuk memperhatikan waktu atau tanda-tanda zaman. "Waw
qasam" (huruf sumpah) dipergunakan untuk mencengkeram perhatian
pendengar. Alangkah dahsyatnya waktu. Peredaran waktu akan meletakkan manusia
dalam kerugian. Waktu akan mengauskan manusia. Kecuali mereka yang mengisi
waktu itu dengan kehidupan yang bermakna; yakni kehidupan yang berisi iman,
amal saleh, dan kerja sama dalam menegakkan kebenaran dan kesabaran. Kata Imam
Sya>fi’i: "Seandainya manusia merenungkan surat ini, cukuplah satu
surat ini saja sebagai pedoman manusia." Bandingkan surat "al-‘As}r"
ini dengan surat "Kelinci"-nya Musailamah. Pedoman hidup apakah yang
dapat kita petik dari kisah kelinci itu. Karena itu, Amr bin Ash segera yakin
bahwa Musailamah berdusta.
Namun Musailamah tidak jera. Untuk menandingi surat al-Kauthar,
ia membuat surat aI-Jama>hir:
إنا أعطيناك
الجماهر . فصل لربك وجاهر
Sesungguhnya
aku telah memberikan padamu orang banyak. Salatlah kepada Tuhan-Mu dan nyatakan
secara terbuka.
Musailamah hanya bisa menulis dua ayat
saja. Sekarang bandingkan, kekayaan makna pada "al-Kautsar" (nikmat
yang banyak) dengan "AI-Jamahir". Lihat, betapa indahnya hubungan perintah
salat dengan perintah berkorban; dan betapa centang-perenangnya hubungan
antara "salat"-nya Musailamah dengan pernyataan terbuka. Perhatikan
juga bagaimana Allah menutup surat pendek itu dengan janji yang menggetarkan,
"Sesungguhnya musuhmu itulah yang akan binasa."
Saya akan menyerahkan kepada kearifan
pembaca untuk membandingkan pembukaan Surat aI-Na>zi'a>t dengan karya
Musailamah ini:
والطاحنات طحنا. والعاجنات عجنا.
والخابزات خبزا
Demi perempuan-perempuan yang menggiling gilingan. Demi
perempuan-perempuan yang mengadon adonan. Demi perempuan-perempuan yang
memasak roti.
Dan inilah
pembukaan Surat aI-Na>zi'a>t:
وَالنَّازِعَاتِ غَرْقًا
(١)وَالنَّاشِطَاتِ نَشْطًا (٢)وَالسَّابِحَاتِ سَبْحًا
(٣)فَالسَّابِقَاتِ سَبْقًا (٤)فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا
(٥) “
Demi
(malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras. Dan (malaikat-malaikat)
yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut. Dan (malaikat-malaikat) yang turun
dari langit dengan cepat. Dan
(malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang. Dan (malaikat-malaikat)
yang mengatur urusan (dunia).
Apa yang dilakukan Musailamah adalah upaya untuk menjawab
tantangan al-Qur’an. Kepada bangsa Arab, yang waktu itu terkenal piawai dalam
menggunakan bahasa, yang melahirkan banyak penyair, al-Qur’an menantang mereka
berkali-kali. Mula-mula al-Quran menyuruh
mereka membuat kitab yang seperti al-Qur’an.
Katakanlah: "Sesungguhnya kalau manusia dan jin itu
berkumpul untuk
mengadakan yang serupa Quran ini, niscaya mereka tiada akan dapat
membuat yang serupa Quran, biarpun sebagiannya menjadi pembantu bagi sebagian
yang lain." (Al-Isra' 88).
Ataukah mereka mengatakan: "Dia saja yang
membuat-buat Al-Quran itu." Tidak, melainkan mereka yang tidak percaya.
Hendaklah mereka mengemukakan perkataan yang serupa dengan itu, bila mereka
benar. (Al-T}u>r 33-34).
Kemudian, al-Qur’an menantang mereka untuk membuat 10
surat seperti surat-surat dalam al-Qur’an.
Atau mereka mengatakan: "Dialah yang mengada-adakan
Al-Quran. " Katakanlah: “Kemukakanlah sepuluh surat yang diada-adakan itu
yang menyamai Al-Quran dan panggillah siapa pun yang sanggup selain Allah,
kalau kamu benar. " (Hu>d 13 ).
Konon, tiga penyair besar – Abu al-'Ala
al-Ma'ri, Al-Mutanabbi, Ibn al-Muqaffa' - berusaha memenuhi tantangan ini. Tidak
sanggup mereka menggubah satu ayat pun, sehingga mereka mematah-matahkan pena
dan merobek-robek kertas mereka. Akhirnya al-Qur’an menantang mereka untuk
membuat satu surat saja yang seperti al-Qur’an:
Dan
jika kamu masih ragu-ragu tentang kebenaran Al-Quran yang Kami turunkan pada
hamba Kami (Muhammad), cobalah kamu kemukakan sebuah surat seumpama AlQuran
itu dan panggillah pembantu-pembantumu selain Allah, bila kamu benar. Dan kalau
kamu tidak bisa membuatnya, dan kamu tidak akan bisa membuatnya, maka jagalah
dlrimu dari neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu-batu.
Disediakan untuk orang yang tidak beriman." (Al-Baqarah 23-24).
Untuk menjawab tantangan yang terakhir inilah, Musailamah
membuat Surat Kelinci, Surat Jamahir, dan Surat Tukang Adonan. Al-Qur’an
menantang orang Arab supaya membuat "satu surat seumpama al-Qur’an "
dalam hal diksi (pilihan kata), susunan kalimat (bala>ghah), dan
kandungan maknanya (baya>n). Anda melihat Musailamah tidak mampu.
Al-Mutanabbi tidak mampu. Penyair-penyair besar sepanjang sejarah juga tidak
mampu. Dalam bahasa Arab, tidak mampu itu ‘ajiza. Membuat tidak mampu
adalah a'jaza. Sesuatu yang membuat orang tidak mampu disebut mu’jizat.
Proses "men-tidak-mampukan" disebut I’ja>z.
Dalam 'Ulu>m al-Qur’an, ada pembahasan mengenai I’ja>z
al-Qur’an. Di dalamnya, para ulama al-Quran membahas
keistimewaan-keistimewaan Al-Quran, yang membuat siapa pun tidak akan sanggup
menyamainya. Dr. Abu Zahra' al-Najdiy, menyebutkan beberapa buku yang khusus
membahas I’ja>z al-Quran. Tidaklah pada tempatnya di sini kita
membahas isi buku-buku itu. Cukuplah di sini saya kutipkan penggalan-penggalan
pendek dari Sayyid T{abat}aba'i dalam Tafsir Al-Mizan 1:63-73.
I'jaz al-Qur’an yang pertama adalah keluasan pengetahuan yang dikandungnya.
Sebagaimana Anda ketahui, al-Qur’an meliputi berbagai disiplin ilmu, aturan moral, hukum,
aqidah dan lainlain. Tetapi lebih dari itu, dan ini yang membedakan al-Qur’an dari kitab-kitab yang lain, pengetahuan al-Qur’an tidak pemah "ketinggalan zaman". Al-Qur’an
selalu modern. Kata T{abat}aba’i , " al-Qur’an menegaskan bahwa semua pengetahuan yang dikandungnya
akan tetap berlaku sampai hari akhir; akan terus membimbing umat manusia dan
akan selalu relevan dengan kebutuhan manusia dan lingkungannya.... Inilah kitab
yang tidak dikenai pembatalan, yang tidak memerlukan perubahan dan penyempurnaan."
(AI-Mizan 1:62).
I'jaz AI-Quran
yang kedua adalah kepribadian Nabi Muhammad saw. yang menyampaikan al-Qur’an ini. "Nabi
yang ummi telah membawa al-Qur’an yang mu’jiz dalam hal lafal dan maknanya. la tidak pernah belajar dari guru
mana pun. Ia tidak pernah berguru kepada siapa pun. Ini dinyatakan Allah SWT,
Katakan: “ Jika Allah menghendaki, aku tidak
akan membacakannya, kepadamu dan la pun tidak akan mengajarkannya kepadamu.
Bukankah aku telah hidup sepanjang usiaku di tengah-tengah kamu. Tidakkah kamu
merenungkannya." (Yunus : 16).
Nabi saw. telah
hidup di tengah-tengah mereka seperti mereka. Selama itu, ia tidak dikenal
dalam hal kepandaian dan pengetahuannya. la tidak pernah menyampaikan kuliah.
Ia tidak menggubah puisi atau prosa. Sebelum ia berusia 40 tahun, dua per tiga
dari sejarah hidupnya, ia tidak memiliki keistimewaan dalam sastra dan
pengetahuan. Tiba-tiba ia datang membawa apa yang ia bawa. Di hadapan (wahyu
Allah) yang disampaikannya, raksasa-raksasa sastra menjadi kecil, lidah-lidah
orang-orang fasih menjadi kelu. Ia menyebarkan wahyu itu ke seluruh dunia,
tetapi tidak seorang pun yang mampu mendatangkan yang seumpama itu sepanjang
sejarah" (Al-Mizan 1:63).
I'jaz al-Qur’an
ketiga adalah, kandungan berita gaib di dalamnya. T{abat}aba’i menyebutkan paling tidak empat berita gaib
yang dikemukakan al-Qur’an:
berita tentang nabi-nabi dan umat-umat terdahulu; nubuwah (ramalan)
tentang peristiwa-peristiwa yang akan datang; kenyataan-kenyataan ilmiah yang
baru diketahui kebenarannya ribuan tahun setelah al-Qur’an itu turun; dan kejadian-kejadian besar yang akan menimpa
kaum muslim sepeninggal Rasulullah saw.
I'jaz al-Qur’an keempat
ialah bersihnya al-Qur’an dari
pertentangan di dalamnya. al-Qur’an sangat konsisten. Tidak ada diskrepansi. "Lihatlah
al-Qur’an. Muhammad saw, menyampaikannya sepenggal demi sepenggal,
surat demi surat, atau beberapa ayat dalam satu waktu. Ini berlangsung selama
23 tahun, di berbagai tempat, dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Di Makkah
dan di Madinah. Siang dan malam. Dalam perjalanan atau ketika tinggal di
rumah. Di tengah pertempuran atau dalam suasana damai. Selama hari-hari yang
sulit dan hari-hari yang menyenangkan. Ketika orang-orang Islam menang dan
ketika mereka kalah. Dalam keadaan aman atau bahaya. Al-Qur’an mengandung segala
persoalan, menyingkapkan pengetahuan ruhaniah, mengajarkan akhlak yang mulia,
menetapkan hukum dalam segala aspek kehidupan. Dengan mengingat segala faktor
ini, tidak satu pun terjadi diskrepansi di dalamnya dalam hal susunan dan
maknanya. Dalam al-Qur’an
banyak ayat yang berulang dan menyerupai satu sama lain. Tidak sedikit pun
terdapat pertentangan dalam realitas yang diungkapkannya, tidak juga dalam
hukum yang ditetapkannya. Setiap ayat menafsirkan ayat yang lain. Sebagian
menerangkan bagian yang lain. Setiap kalimat membenarkan kalimat yang lain.
Seperti kata Ali bin Abi T{a>lib k.w., "Sebagian al-Qur’an berbicara tentang bagian yang lain. Sebagian menjadi
saksi bagi bagian yang lain." (Al-Mizan 1:66).
Terakhir, al-Qur’an mengatasi
kitab mana pun dalam keindahan maknanya (bala>ghah). "Bahkan
setelah empat belas abad, tidak seorang pun yang mampu membuat yang seumpama al-Qur’an.
Mereka yang pernah mencobanya telah dipermalukan dan dicemoohkan. Sejarah
telah mencatat beberapa upaya perlawanan ini. Lihatlah Musailamah mencoba
menandingi surat al-Fi>l:
الفيل ما الفيل . وما أدراك ما الفيل .
له ذنب وبيل وخرطوم طويل
Gajah. Apakah gajah. Tahukah kamu apakah itu
gajah. Yang punya
ekor buruk dan taring panjang.
Dalam "ayat" yang lain, yang ia bacakan di
hadapan al-Sajah} (perempuan yang juga mengaku sebagai nabi):
فَنُولِجُهُ فيكنّ إيلاجا . ونخرجه منكنّ اخراجا
Kami memasukkan kepada kamu (perempuan
perempuan)
sekeras-kerasnya.
Dan kami mengeluarkannya sekeras-kerasnya.
Perhatikan
kata-kata kotor yang dipergunakannya. Pernah belakangan ini orang Kristen membuat
surat untuk menandingi surat al-Fa>tih}ah (Al-Mizan 1:68):
الحمد للرحمن . رب الأكوان. الملكِ الديّان . لك العبادةُ
وبك المستعان. إهدنا صراط الإيمان
Kami tidak
menerjemahkan surat al-Fa>tih}ah tandingan itu. Para pembaca yang mengerti
ilmu Balaghah dan ilmu Bayan akan segera menemukan kelemahannya.
Walaupun penulis Kristen ini berusaha untuk menangkap makna dalam al-Fa>tih}ah,
ia kehilangan banyak makna di dalamnya. Pada "ayat" yang pertama --
Al-H{amdu li al-Rahma>n -- tidak kita temukan ulu>hiyyah dan rububiyyah
Allah (yang dinyatakan dalam Allah Rabb) dan kerendahan diri manusia
menghadapi Allah (yang dinyatakan dalam Al-H{amdu li Allah Rabb al-‘A>lami>n).
Walhasil,
kata-kata al-Qur’an telah
dipilih begitu rupa sehingga tidak bisa digantikan dengan kata-kata lain,
walaupun semakna. Kata-kata itu sudah tepat diletakkan pada kalimat tertentu,
pada surat tertentu, karenanya penggunaan kata-kata lain akan menghancurkan
makna dan keindahan al-Qur’an.
Cobalah Anda baca Surat al-Fa>tih}ah tandingan itu. Bandingkan dengan Surat al-Fa>tih}ah
yang asli. Anda akan merasakan perbedaan bunyi yang jauh berbeda. Lagi pula,
seperti diungkapkan oleh para peneliti al-Qur’an belakangan ini, dalam keseluruhan al-Qur’an, frekuensi kata-kata itu ternyata menunjukkan hubungan
dengan makna kata-kata itu. Inilah yang kemudian disebut sebagai I’ja>z ‘Adadiy
(i'jaz dari segi bilangan).
Kemudian I’ja>z ‘Adadiy ini Adakah hubungannya dengan makna?
Ir. Abd al-Razaq
Nawfal dari Mesir dalam penelitiannya tahun 1975 ia menulis Al-I’ja>z
al-'Adadiy li al-Quran al-Kari>m. Ia menemukan bahwa ada pasangan
kata-kata yang frekuensi penyebutannya sama dalam al-Qur’an. Di bawah ini kami
kutipkan sebagian:
a.
Keseimbangan antara
jumlah bilangan kata dengan antonimnya.
Beberapa contoh, di antaranya:
- Al-H{ayah (hidup) dan al-Mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali;
- Al-Naf' (manfaat) dan al-Madharrah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali;
- Al-H{ar (panas) dan al-Bard (dingin), masing-masing 4 kali;
- Al-S}alihat (kebajikan) dan al-Sayyi'at (keburukan), masing-masing 167 kali;
- Al-T{uma’ninah (kelapangan/ketenangan) dan al-Dhiq (kesempitan/kekesalan), masing-masing 13 kali;
- Al-Rah}bah (cemas/takut) dan al-Raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali;
- Al-Kufr (kekufuran) dan al-Iman (iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17 kali;
- Kufr (kekufuran) dan Iman (iman) dalam bentuk indifinite, masing-masing 8 kali;
- Al-S{ayf (musim panas) dan al-Shita' (musim dingin), masing-masing 1 kali.
b.
Keseimbangan jumlah
bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.
- Al-H{arts dan al-Zira'ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali;
- Al-'Ushb dan al-Dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali;
- Al-Dha>llun dan al-Mawta (orang sesat/mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali;
- Al-Qur'an, al-Wah}yu dan al-Islam (Al-Quran, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali;
- Al-Aql dan al-Nu>r (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali;
- Al-Jahr dan al-'Ala>niyah (nyata), masing-masing 16 kali.
c.
Keseimbangan antara
jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya.
- Al-Infaq (infak) dengan al-Ridha (kerelaan), masing-masing 73 kali;
- Al-Bukhl (kekikiran) dengan al-H{asarah (penyesalan), masing-masing 12 kali;
- Al-Kafirun (orang-orang kafir) dengan al-Na>r/al-Ah}raq (neraka/ pembakaran), masing-masing 154 kali;
- Al-Zakah (zakat/penyucian) dengan al-Barakat (kebajikan yang banyak), masing-masing 32 kali;
- Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadhb (murka), masing-masing 26 kali.
d.
Keseimbangan antara
jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya.
- Al-Israf (pemborosan) dengan al-Sur'ah (ketergesa-gesaan), masing-masing 23 kali;
- Al-Maw'iz}ah (nasihat/petuah) dengan al-Lisan (lidah), masing-masing 25 kali;
- Al-Asra (tawanan) dengan al-H{arb (perang), masing-masing 6 kali;
- Al-Salam (kedamaian) dengan al-T{ayyibat (kebajikan), masing-masing 60 kali.
e.
Di samping
keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus.
a.
Kata yawm (hari)
dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun.
Sedangkan kata hari yang menunjuk kepada bentuk plural (ayya>m) atau dua
(yawmayni), jumlah keseluruhannya hanya tiga puluh, sama dengan jumlah hari
dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti "bulan" (shahr) hanya
terdapat dua belas kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
b.
Al-Quran menjelaskan
bahwa langit ada "tujuh." Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh
kali pula, yakni dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra>' 44, Al-Mu'minu>n
86, Fus}s}ilat 12, Al-T}alaq 12, Al-Mulk 3, dan Nu>h 15. Selain itu,
penjelasannya tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan
pula dalam tujuh ayat.
c.
Kata-kata yang
menunjuk kepada utusan Tuhan, baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau bashir
(pembawa berita gembira), atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya
berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama
nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518 kali.
Demikianlah
sebagian dari hasil penelitian yang kita rangkum dan kelompokkan ke dalam
bentuk seperti terlihat di atas.
Dengan memperhatikan kutipan di atas, segera Anda
menemukan bahwa jumlah yang sama tampaknya menyampaikan hubungan makna.
Bukankah kita dapat menafsirkan bahwa kehidupan dunia ini harus selalu kita
hubungkan dengan kehidupan akhirat, bahwa diperlukan kesabaran dalam menghadapi
kesulitan, bahwa kecintaan kepada Allah itu ditunjukkan dengan ketaatan
kepada-Nya, bahwa Allah memberikan petunjuk sebagai ungkapan kasih-Nya, bahwa
ada hubungan antara kedamaian dengan kebaikan, bahwa Allah menjadikan akal kita
sebagai cahaya, bahwa para penguasa itu bersifat munafiq dan seterusnya.
Kesemua hal tersebut tidak dimaksudkan kecuali menjadi
bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang disampaikan oleh Al-Quran adalah benar,
sehingga dengan demikian manusia yakin serta secara tulus mengamalkan
petunjuk-petunjuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar