Minggu, 29 April 2012

Mukjizat Abadi

AL-QUR’AN: MUKJIZAT ABADI

Seorang kafir Makkah berkunjung ke Najd. Ia meninggalkan Nabi Muhammad saw., orang yang sangat dibencinya, menemui Musailamah Al-Kadzdzab, yang juga mengaku sebagai nabi. Musailamah berkata kepadanya: "Apa gerangan yang turun kepada kawanmu akhir-akhir ini?" Amr bin Ash, tamu dari Makkah itu, menjawab: "Telah turun satu surat yang singkat, padat dan indah." "Bagaimana surat itu?", tanya Musailamah. Amr bin Ash kemudian membacakan surat ini:

Îوَالْعَصْرِ (١)إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢)إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)
“ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,  Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Sejenak Musailamah tepekur, lalu berkata, "Surat semacam itu turun juga kepadaku." Giliran Amr bertanya, "Bagaimana bunyi surat itu?" Musailamah berkata:

 يا وبر يا وبر .  إنك أذنان وصدْرٌ. وسائرك حفرٌ نقْرٌ

Wahai kelinci, wahai kelinci. Kamu itu cuma dua telinga dan dada. Di sekitarmu lubang galian.
 "Bagaimana pendapatmu, hai Amr?" Amr segera menjawab, "Demi Allah, Anda tahu bahwa aku tahu Anda berdusta." (Tafsir Ibn Kathi>r 4:547). Amr bin Ash, yang waktu itu belum masuk Islam dan tidak menyukai Nabi Muhammad saw. mengaku dengan jujur bahwa al-Quran mengandung kata-kata yang singkat dengan kandungan makna yang dalam. Kata-kata itu dirangkai dalam susunan kalimat yang indah. Amr menyebutnya su>rah wajizah bala>ghah.
Surat "al-‘As}r" yang pendek itu mengajarkan kepada manusia untuk memperhatikan waktu atau tanda-tanda zaman. "Waw qasam" (huruf sumpah) dipergunakan untuk mencengkeram perhatian pendengar. Alangkah dahsyatnya waktu. Peredaran waktu akan meletakkan manusia dalam kerugian. Waktu akan mengauskan manusia. Kecuali mereka yang mengisi waktu itu dengan kehidupan yang bermakna; yakni kehidupan yang berisi iman, amal saleh, dan kerja sama dalam menegakkan kebenaran dan kesabaran. Kata Imam Sya>fi’i: "Seandainya manusia merenungkan surat ini, cukuplah satu surat ini saja sebagai pedoman manusia." Bandingkan surat "al-‘As}r" ini dengan surat "Kelinci"-nya Musaila­mah. Pedoman hidup apakah yang dapat kita petik dari kisah ke­linci itu. Karena itu, Amr bin Ash segera yakin bahwa Musailamah berdusta.
Namun Musailamah tidak jera. Untuk menandingi surat al­-Kauthar, ia membuat surat aI-Jama>hir:
إنا أعطيناك الجماهر . فصل لربك وجاهر
Sesungguhnya aku telah memberikan padamu orang banyak. Salatlah kepada Tuhan-Mu dan nyatakan secara terbuka.

Musailamah hanya bisa menulis dua ayat saja. Sekarang banding­kan, kekayaan makna pada "al-Kautsar" (nikmat yang banyak) dengan "AI-Jamahir". Lihat, betapa indahnya hubungan perintah salat dengan perintah berkorban; dan betapa centang-perenang­nya hubungan antara "salat"-nya Musailamah dengan pernyataan terbuka. Perhatikan juga bagaimana Allah menutup surat pendek itu dengan janji yang menggetarkan, "Sesungguhnya musuhmu itulah yang akan binasa."
Saya akan menyerahkan kepada kearifan pembaca untuk membandingkan pembukaan Surat aI-Na>zi'a>t dengan karya Musai­lamah ini:
والطاحنات طحنا. والعاجنات عجنا. والخابزات خبزا
Demi perempuan-perempuan yang menggiling gilingan. Demi perempuan-perempuan yang mengadon adonan. Demi perem­puan-perempuan yang memasak roti.
Dan inilah pembukaan Surat aI-Na>zi'a>t:

وَالنَّازِعَاتِ غَرْقًا (١)وَالنَّاشِطَاتِ نَشْطًا (٢)وَالسَّابِحَاتِ سَبْحًا (٣)فَالسَّابِقَاتِ سَبْقًا (٤)فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا (٥)

Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras. Dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut. Dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat.  Dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang. Dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia).
Apa yang dilakukan Musailamah adalah upaya untuk menjawab tantangan al-Qur’an. Kepada bangsa Arab, yang waktu itu terkenal piawai dalam menggunakan bahasa, yang melahirkan banyak penyair, al-Qur’an menantang mereka berkali-kali. Mula-mula al-Quran menyuruh mereka membuat kitab yang seperti al-Qur’an.

Katakanlah: "Sesungguhnya kalau manusia dan jin itu berkumpul untuk mengadakan yang serupa Quran ini, niscaya mereka tiada akan dapat membuat yang serupa Quran, biarpun sebagiannya menjadi pembantu bagi sebagian yang lain." (Al-Isra' 88).

Ataukah mereka mengatakan: "Dia saja yang membuat-buat Al-Quran itu." Tidak, melainkan mereka yang tidak percaya. Hendaklah mereka mengemukakan perkataan yang serupa dengan itu, bila mereka benar. (Al-T}u>r 33-34).

Kemudian, al-Qur’an menantang mereka untuk membuat 10 surat seperti surat-surat dalam al-Qur’an.

Atau mereka mengatakan: "Dialah yang mengada-adakan Al-Quran. " Katakanlah: “Kemukakanlah sepuluh surat yang diada-adakan itu yang menyamai Al-Quran dan panggillah siapa pun yang sanggup selain Allah, kalau kamu benar. " (Hu>d 13 ).

Konon, tiga penyair besar – Abu al-'Ala al-Ma'ri, Al-Mutanab­bi, Ibn al-Muqaffa' - berusaha memenuhi tantangan ini. Tidak sanggup mereka menggubah satu ayat pun, sehingga mereka mematah-matahkan pena dan merobek-robek kertas mereka. Akhirnya al-Qur’an menantang mereka untuk membuat satu surat saja yang seperti al-Qur’an:
 Dan jika kamu masih ragu-ragu tentang ke­benaran Al-Quran yang Kami turunkan pada hamba Kami (Mu­hammad), cobalah kamu kemukakan sebuah surat seumpama Al­Quran itu dan panggillah pembantu-pembantumu selain Allah, bila kamu benar. Dan kalau kamu tidak bisa membuatnya, dan kamu tidak akan bisa membuatnya, maka jagalah dlrimu dari neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu-batu. Disediakan untuk orang yang tidak beriman." (Al-Baqarah 23-24).

Untuk menjawab tantangan yang terakhir inilah, Musailamah membuat Surat Kelinci, Surat Jamahir, dan Surat Tukang Adonan. Al-Qur’an menantang orang Arab supaya membuat "satu surat seumpama al-Qur’an " dalam hal diksi (pilihan kata), susunan kalimat (bala>ghah), dan kandungan maknanya (baya>n). Anda melihat Musailamah tidak mampu. Al-Mutanabbi tidak mampu. Penyair-penyair besar sepanjang sejarah juga tidak mampu. Dalam bahasa Arab, tidak mampu itu ‘ajiza. Membuat tidak mampu adalah a'jaza. Sesuatu yang membuat orang tidak mampu disebut mu’jizat. Proses "men-tidak-mampukan" disebut I’ja>z.
Dalam 'Ulu>m al-Qur’an, ada pembahasan mengenai I’ja>z al-Qur’an. Di dalamnya, para ulama al-Quran membahas keistimewaan-keistimewaan Al-Quran, yang membuat siapa pun tidak akan sanggup menyamainya. Dr. Abu Zahra' al-Najdiy, menyebutkan beberapa buku yang khusus membahas I’ja>z al-Quran. Tidaklah pada tempatnya di sini kita membahas isi buku-buku itu. Cukuplah di sini saya kutipkan penggalan-penggalan pendek dari Sayyid T{abat}aba'i dalam Taf­sir Al-Mizan 1:63-73.
I'jaz al-Qur’an yang pertama adalah keluasan pengetahuan yang dikandungnya. Sebagaimana Anda ketahui, al-Qur’an meliputi berbagai disiplin ilmu, aturan moral, hukum, aqidah dan lain­lain. Tetapi lebih dari itu, dan ini yang membedakan al-Qur’an dari kitab-kitab yang lain, pengetahuan al-Qur’an tidak pemah "keting­galan zaman". Al-Qur’an selalu modern. Kata T{abat}aba’i , " al-Qur’an menegaskan bahwa semua pengetahuan yang dikandung­nya akan tetap berlaku sampai hari akhir; akan terus membimbing umat manusia dan akan selalu relevan dengan kebutuhan manusia dan lingkungannya.... Inilah kitab yang tidak dikenai pembatalan, yang tidak memerlukan perubahan dan penyempur­naan." (AI-Mizan 1:62).
I'jaz AI-Quran yang kedua adalah kepribadian Nabi Muhammad saw. yang menyampaikan al-Qur’an  ini. "Nabi yang ummi telah membawa al-Qur’an yang mu’jiz dalam hal lafal dan maknanya. la tidak pernah belajar dari guru mana pun. Ia tidak pernah ber­guru kepada siapa pun. Ini dinyatakan Allah SWT,
 Katakan: “ Jika Allah menghendaki, aku tidak akan membacakannya, kepadamu dan la pun tidak akan mengajarkannya kepadamu. Bukankah aku telah hidup sepanjang usiaku di tengah-tengah kamu. Tidakkah kamu merenungkannya." (Yunus : 16).
 Nabi saw. telah hidup di tengah-tengah mereka seperti mereka. Selama itu, ia tidak dikenal dalam hal kepandaian dan pengetahuannya. la tidak pernah me­nyampaikan kuliah. Ia tidak menggubah puisi atau prosa. Sebelum ia berusia 40 tahun, dua per tiga dari sejarah hidupnya, ia tidak memiliki keistimewaan dalam sastra dan pengetahuan. Tiba-tiba ia datang membawa apa yang ia bawa. Di hadapan (wahyu Allah) yang disampaikannya, raksasa-raksasa sastra menjadi kecil, lidah-­lidah orang-orang fasih menjadi kelu. Ia menyebarkan wahyu itu ke seluruh dunia, tetapi tidak seorang pun yang mampu menda­tangkan yang seumpama itu sepanjang sejarah" (Al-Mizan 1:63).
I'jaz al-Qur’an ketiga adalah, kandungan berita gaib di dalam­nya. T{abat}aba’i  menyebutkan paling tidak empat berita gaib yang dikemukakan al-Qur’an: berita tentang nabi-nabi dan umat­-umat terdahulu; nubuwah (ramalan) tentang peristiwa-peristiwa yang akan datang; kenyataan-kenyataan ilmiah yang baru diketahui kebenarannya ribuan tahun setelah al-Qur’an itu turun; dan kejadian-kejadian besar yang akan menimpa kaum muslim sepeninggal Rasulullah saw.
I'jaz al-Qur’an keempat ialah bersihnya al-Qur’an dari perten­tangan di dalamnya. al-Qur’an sangat konsisten. Tidak ada diskre­pansi. "Lihatlah al-Qur’an. Muhammad saw, menyampaikannya sepenggal demi sepenggal, surat demi surat, atau beberapa ayat dalam satu waktu. Ini berlangsung selama 23 tahun, di berbagai tempat, dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Di Makkah dan di Madinah. Siang dan malam. Dalam perjalanan atau ketika ting­gal di rumah. Di tengah pertempuran atau dalam suasana damai. Selama hari-hari yang sulit dan hari-hari yang menyenangkan. Ketika orang-orang Islam menang dan ketika mereka kalah. Dalam keadaan aman atau bahaya. Al-Qur’an mengandung segala persoalan, menyingkapkan pengetahuan ruhaniah, mengajarkan akhlak yang mulia, menetapkan hukum dalam segala aspek kehidupan. Dengan mengingat segala faktor ini, tidak satu pun terjadi diskrepansi di dalamnya dalam hal susunan dan maknanya. Dalam al-Qur’an banyak ayat yang berulang dan menyerupai satu sama lain. Tidak sedikit pun terdapat pertentangan dalam realitas yang di­ungkapkannya, tidak juga dalam hukum yang ditetapkannya. Setiap ayat menafsirkan ayat yang lain. Sebagian menerangkan bagian yang lain. Setiap kalimat membenarkan kalimat yang lain. Seperti kata Ali bin Abi T{a>lib k.w., "Sebagian al-Qur’an berbicara tentang bagian yang lain. Sebagian menjadi saksi bagi bagian yang lain." (Al-Mizan 1:66).
Terakhir, al-Qur’an mengatasi kitab mana pun dalam keindahan maknanya (bala>ghah). "Bahkan setelah empat belas abad, tidak seorang pun yang mampu membuat yang seumpama al-Qur’an.
Mereka yang pernah mencobanya telah dipermalukan dan dicemoohkan. Sejarah telah mencatat beberapa upaya perlawanan ini. Lihatlah Musailamah mencoba menandingi surat al-Fi>l:

الفيل ما الفيل . وما أدراك ما الفيل . له ذنب وبيل وخرطوم طويل 
Gajah. Apakah gajah. Tahukah kamu apakah itu gajah. Yang punya ekor buruk dan taring panjang.
 Dalam "ayat" yang lain, yang ia bacakan di hadapan al-Sajah} (pe­rempuan yang juga mengaku sebagai nabi):
فَنُولِجُهُ فيكنّ إيلاجا . ونخرجه منكنّ اخراجا
Kami memasukkan kepada kamu (perempuan perempuan) se­keras-kerasnya. Dan kami mengeluarkannya sekeras-kerasnya.
 Perhatikan kata-kata kotor yang dipergunakannya. Pernah belakangan ini orang Kristen membuat surat untuk menandingi surat al-Fa>tih}ah (Al-Mizan 1:68):
 الحمد للرحمن . رب الأكوان. الملكِ الديّان . لك العبادةُ وبك المستعان. إهدنا صراط الإيمان
Kami tidak menerjemahkan surat al-Fa>tih}ah tandingan itu. Para pembaca yang mengerti ilmu Balaghah dan ilmu Bayan akan segera menemukan kelemahannya. Walaupun penulis Kristen ini ber­usaha untuk menangkap makna dalam al-Fa>tih}ah, ia kehilangan banyak makna di dalamnya. Pada "ayat" yang pertama -- Al-H{amdu li al-Rahma>n -- tidak kita temukan ulu>hiyyah dan rububiyyah Allah (yang dinyatakan dalam Allah Rabb) dan kerendahan diri manusia menghadapi Allah (yang dinyatakan dalam Al-H{amdu li Allah Rabb al-‘A>lami>n).
Walhasil, kata-kata al-Qur’an telah dipilih begitu rupa sehing­ga tidak bisa digantikan dengan kata-kata lain, walaupun semakna. Kata-kata itu sudah tepat diletakkan pada kalimat tertentu, pada surat tertentu, karenanya penggunaan kata-kata lain akan menghancurkan makna dan keindahan al-Qur’an. Cobalah Anda baca Surat al-Fa>tih}ah tandingan itu. Bandingkan dengan Surat al-Fa>tih}ah yang asli. Anda akan merasakan perbedaan bunyi yang jauh berbeda. Lagi pula, seperti diungkapkan oleh para peneliti al-Qur’an belakangan ini, dalam keseluruhan al-Qur’an, frekuensi kata-kata itu ternyata menunjukkan hubungan dengan makna kata-kata itu. Inilah yang kemudian disebut sebagai I’ja>z ‘Adadiy (i'jaz dari segi bilangan).
Kemudian I’ja>z ‘Adadiy ini Adakah hubungannya dengan makna?
Ir. Abd al-Razaq Nawfal dari Mesir dalam penelitiannya tahun 1975 ia menulis Al-I’ja>z al-'Adadiy li al­-Quran al-Kari>m. Ia menemukan bahwa ada pasangan kata-kata yang frekuensi penyebutannya sama dalam al-Qur’an. Di bawah ini kami kutipkan sebagian:
a.       Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya.
Beberapa contoh, di antaranya:
  • Al-H{ayah (hidup) dan al-Mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali;
  • Al-Naf' (manfaat) dan al-Madharrah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali;
  • Al-H{ar (panas) dan al-Bard (dingin), masing-masing 4 kali;
  • Al-S}alihat (kebajikan) dan al-Sayyi'at (keburukan), masing-masing 167 kali;
  • Al-T{uma’ninah (kelapangan/ketenangan) dan al-Dhiq (kesempitan/kekesalan), masing-masing 13 kali;
  • Al-Rah}bah (cemas/takut) dan al-Raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali;
  • Al-Kufr (kekufuran) dan al-Iman (iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17 kali;
  • Kufr (kekufuran) dan Iman (iman) dalam bentuk indifinite, masing-masing 8 kali;
  • Al-S{ayf (musim panas) dan al-Shita' (musim dingin), masing-masing 1 kali.
b.      Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.
  • Al-H{arts dan al-Zira'ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali;
  • Al-'Ushb dan al-Dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali;
  • Al-Dha>llun dan al-Mawta (orang sesat/mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali;
  • Al-Qur'an, al-Wah}yu dan al-Islam (Al-Quran, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali;
  • Al-Aql dan al-Nu>r (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali;
  • Al-Jahr dan al-'Ala>niyah (nyata), masing-masing 16 kali.
c.       Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya.
  • Al-Infaq (infak) dengan al-Ridha (kerelaan), masing-masing 73 kali;
  • Al-Bukhl (kekikiran) dengan al-H{asarah (penyesalan), masing-masing 12 kali;
  • Al-Kafirun (orang-orang kafir) dengan al-Na>r/al-Ah}raq (neraka/ pembakaran), masing-masing 154 kali;
  • Al-Zakah (zakat/penyucian) dengan al-Barakat (kebajikan yang banyak), masing-masing 32 kali;
  • Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadhb (murka), masing-masing 26 kali.
d.      Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya.
  • Al-Israf (pemborosan) dengan al-Sur'ah (ketergesa-gesaan), masing-masing 23 kali;
  • Al-Maw'iz}ah (nasihat/petuah) dengan al-Lisan (lidah), masing-masing 25 kali;
  • Al-Asra (tawanan) dengan al-H{arb (perang), masing-masing 6 kali;
  • Al-Salam (kedamaian) dengan al-T{ayyibat (kebajikan), masing-masing 60 kali.
e.       Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus.
a.       Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sedangkan kata hari yang menunjuk kepada bentuk plural (ayya>m) atau dua (yawmayni), jumlah keseluruhannya hanya tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti "bulan" (shahr) hanya terdapat dua belas kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
b.      Al-Quran menjelaskan bahwa langit ada "tujuh." Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra>' 44, Al-Mu'minu>n 86, Fus}s}ilat 12, Al-T}alaq 12, Al-Mulk 3, dan Nu>h 15. Selain itu, penjelasannya tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.
c.       Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Tuhan, baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau bashir (pembawa berita gembira), atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518 kali.
Demikianlah sebagian dari hasil penelitian yang kita rangkum dan kelompokkan ke dalam bentuk seperti terlihat di atas.
Dengan memperhatikan kutipan di atas, segera Anda menemukan bahwa jumlah yang sama tampaknya menyampaikan hubungan mak­na. Bukankah kita dapat menafsirkan bahwa kehidupan dunia ini harus selalu kita hubungkan dengan kehidupan akhirat, bahwa diperlukan kesabaran dalam menghadapi kesulitan, bahwa kecintaan kepada Allah itu ditunjukkan dengan ketaatan kepada-Nya, bahwa Allah memberikan petunjuk sebagai ungkapan kasih-Nya, bahwa ada hubungan antara kedamaian dengan kebaikan, bahwa Allah menjadikan akal kita sebagai cahaya, bahwa para penguasa itu bersifat munafiq dan seterusnya.
Kesemua hal tersebut tidak dimaksudkan kecuali menjadi bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang disampaikan oleh Al-Quran adalah benar, sehingga dengan demikian manusia yakin serta secara tulus mengamalkan petunjuk-petunjuknya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar