Minggu, 01 Januari 2012

BACAAN GHARIB QIRA’AH ‘ASHIM RIWAYAT HAFSH

BACAAN GHARIB QIRA’AH ‘ASHIM RIWAYAT HAFSH
Sebuah tinjauan kebahasaan.
Berbicara tentang al-Qur’an memang bagaikan mengarungi samudera yang tak bertepi, semakin jauh ia diarungi semakin luas pula jangkauannya. Dari aspek manapun al-Qur’an dikaji dan diteliti, ia tidak akan pernah habis, bahkan semakin kaya dan selalu aktual. Ia bagaikan intan yang memiliki berbagai sudut, dan setiap sudut selalu memancarkan cahayanya yang terang. Aspek bacaan al-Qur’an atau qira’ah –dalam pengertian yang lebih luas, bukan hanya sekedar melafazhkan huruf Arab dengan lancar– merupakan salah satu aspek kajian yang paling jarang diperbincangkan, baik dikalangan santri atau kaum terpelajar, padahal membaca al-Qur’an tergolong ibadah mahdhah yang paling utama. Hal ini barangkali bisa dimengerti, mengingat kurangnya kitab atau buku yang secara panjang lebar mengupas ilmu qira’ah dan minimnya guru al-Qur’an yang memiliki kemampuan memadai tentang itu dan juga terlalu padatnya disiplin ilmu yang dipelajari. Tingginya semangat para “santri/pelajar” mempelajari dan mencari dalil tentang batalnya wudlu — misalnya — dari al-Qur’an, hadis dan pendapat-pendapat ulama, ternyata tidak diikuti oleh semangat mentashhihkan bacaan atau mencari dalil bacaan saktah, madd, ghunnah yang sama-sama wajib dan penting bagi kaum muslimin.
Dari fenomena di atas perlulah kiranya ditumbuhkan kembali semangat untuk mengkaji aspek bacaan al-Qur’an yang masih “asing” bagi kebanyakan orang agar kembali diminati sebagaimana begitu semangatnya anak-anak kecil di tempat-tempat pendidikan al-Qur’an untuk bisa “membaca” dengan lancar. Sebagai akibat dari kurangnya pengetahuan tentang bacaan al-Qur’an, seringkali dianggap ilmu qira’ah (yang dipersempit dengan ilmu tajwid) itu hanya mempelajari makhraj dan sifat huruf, hukum nun atau mim mati dan tanwin, dan mad saja, sehingga mereka membaca al-Qur’an apa adanya sebagaimana yang terdapat dalam tulisan mushaf atau rasm, padahal ada banyak kalimat yang cara bacanya tidak sama persis dengan tulisannya, seperti bacaan Imalah, Tashil, Isymam dan lain sebagainya.
Setelah sebelumnya penulis diminta untuk menulis tentang Qira’atussab’, dalam kesempatan kali ini penulis berusaha memberikan sedikit pemahaman tentang bacaan gharib dari bacaan Imam Ashim riwayat Hafsh yang banyak dianut oleh kebanyakan umat islam, juga alasan-alasan secara bahasa tentang proses atau asal mula terjadinya bacaan gharib tersebut.
Alasan-alasan (ihtijaj) kebahasaan dari bacaan gharib al-Qur’an yang akan dipaparkan penulis di sini, hanyalah sebutir debu dibanding dari (besar dan luasnya) hikmah atau rahasia sesungguhnya yang dikehendaki Allah dari perbedaan-perbedaan bacaan al-Qur’an tersebut. Dengan kata lain alasan-alasan tersebut bukanlah faktor utama yang mendorong shahibul Qaul (Allah) memilih kata atau lahjah tertentu, akan tetapi hanya sebuah usaha memahami rahasia-rahasia Allah melalui tanda-tanda dan ilmu-ilmu yang ia titipkan pada hambanya. Dr. Ahmad Makky al Anshariy menuqil dari kitab al Intishaf mengatakan bahwa “ Ihtijaj al Qira’ah tidak dimaksudkan mengoreksi bacaan atau bahasa al Qur’an dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, akan tetapi sebaliknya proses penarikan argumen atau alasan itu sebagai usaha mengoreksi kaidah-kaidah bahasa Arab dengan bahasa al Qur’an. Seringkali argumen-argumen yang dikemukakan mengenai bentuk qira’ah tertentu kurang relevan bila di-qiyas-kan dengan bacaan imam lain dalam kata yang sama atau hampir sama. Namun, dari sini justru menjadikan kita semakin meyakini bahwa perbedaan bentuk bacaan tersebut bukan hasil kreativitas imam-imam qira’ah atau para pakar bahasa Arab di masa itu, akan tetapi mereka mewarisinya dari para sahabat, dari Nabi, dari Malaikat Jibril, dan dari Allah azza wa jalla.
Diantara bacaan Gharib qira’ah ‘Ashim riwayat Hafsh tersebut ialah ;
1.  Saktah Secara bahasa saktah berasal dari kata سكت – يسكت – سكوتا yang berarti diam; tidak bergerak, atau bisa juga bermakna المنع (mencegah). Sedangkan menurut istilah; قطع الكلمة من غير تنفس بنية القراءة (memutus kata sambil menahan nafas dengan niat meneruskan bacaan).
Dalam Qira’at as Sab’ bacaan saktah banyak dijumpai pada Qira’ah Imam Hamzah (baik dari riwayat khalaf maupun khalaf), yaitu setiap ada hamzah qatha’ yang didahului tanwin atau al ta’rif, seperti بالآخرة، عذاب أليم . Sedangkan dalam Qira’ah Imam Ashim riwayat Hafsh, bacaan saktah dalam al-Qur’an hanya ada di empat tempat, yaitu:
1- Pada alif gantian dari tanwin yang terdapat pada lafazh عوجا dalam surat al Kahfi ayat 1-2,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجَا (1) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا (2).
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al kitab (Al-Quran) dan Dia tidak Mengadakan kebengkokan di dalamnya. Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik,”.
Adapun alasan diterapkan bacaan saktah disini ialah agar tidak terjadi kesalahan makna ayat, artinya hal ini agar tidak mengesankan bahwa lafazh قَيِّمًا adalah sifat/na’at bagi lafazhعوجا , sebab al ‘Iwaj (kebengkokan) itu bukanlah Qoyyiman (lurus).
2- Pada alif yang terdapat pada kalimah مَرْقَدِنَا dalam surat Yasin ayat 52,
قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ (٥٢)
Mereka berkata: “Aduhai celakalah kami! siapakah yang membangkitkan Kami dari tempat-tidur Kami (kubur)?”. Inilah yang dijanjikan (tuhan) yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(Nya).”
Apabila washol, berhenti sejenak pada lafazh مَرْقَدِنَا (marqodina) kira-kira satu alif tanpa bernafas, kemudian melanjutkan…. هَذَا. Alasan bacaan saktah pada ayat ini ialah menjelaskan bahwa kata هذا bukan sifat dari مرقد , melainkan ia menjadi mubtada’ dan agar tidak terjadi kesalahan pemahaman pada makna dari ayat diatas.
Pada ayat ini perkataan orang kafir selesai pada lafazh مَرْقَدِنَا, dan lafazh…. هَذَا adalah perkataan malaikat. Pada dua tempat ini seorang Qori’ diperbolehkan memilih, waqof pada kalimah yang pertama, maka tidak ada hukum saktah dan Ibtida’ dengan kalimah setelahnya atau membaca washol kalimah yang pertama dengan kalimah berikutnya, tidak waqof, maka diharuskan menerapkan bacaan saktah.
3- Pada Nun-nya lafazh مَنْ dalam surat al Qiyamah ayat 27 “  وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ “.
4- Pada Lam-nya lafazh بَلْ dalam surat al Muthoffifin ayat 14 ;
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (١٤)
Pada dua tempat ini harus diterapkan bacaan saktah, karena tidak diperbolehkan waqof pada dua tempat tersebut, artinya tidak boleh waqof pada lafazh مَنْ dan lafazh بَلْ kemudian Ibtida’ pada lafazh رَاقٍ dan lafazh  رَانَ, jadi harus dibaca washol مَنْ رَاقٍ dan بَلْ رَانَ dengan menerapkan hukum saktah.
Sedangkan alasan bacaan saktah pada dua ayat ini ialah, untuk menekankan fungsi من sebagai kata tanya dan fungsi بل sebagai kata penegas, selain itu juga untuk memperjelas izhhar-nya lam dan nun karena biasanya dua huruf tersebut bila bertemu ra’ di-idgham-kan sehingga bunyi keduanya hilang dan nantinya menjadi serupa dengan bentuk Mudho’af (مضاعف).
Selain empat tempat di atas, sebetulnya ada dua lagi saktah umum yang diikuti oleh Imam Ashim, yaitu pertemuan antara surat Antara surat al Anfal dan surat at Tawbah pada Mim-nya lafazh عَلِيمٌ, pertemuan dua ha’ pada kalimat (dalam surat al-Haqqah, 28-29): مَآ أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ (28) هَّلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ . Hanya saja, saktah pada Mim-nya lafazh عَلِيمٌ ini sebenarnya satu diantara tiga alternatif bacaan yang disepakati oleh semua imam qiraat, yaitu washal, saktah dan waqaf dan pada surat al-Haqqah sebenarnya satu diantara dua alternatif bacaan, yaitu Idghom dan saktah.
2. Imalah Secara bahasa imalah berasal dari kata أمال – يميل – إمالة الرمح yang berarti memiringkan atau membengkokkan (tombak), sedangkan secara istilah imalah berarti memiringkan fathah ke arah kasrah atau memiringkan alif ke arah ya’ . Bacaan ini banyak ditemui pada bacaan Imam Hamzah dan al-Kisa’i, yaitu di antaranya pada Dzawat al Ya’ (kata yang terdapat alif layyinah), seperti الضحى، قلى، سجى، هدى dan Imam Ibn ‘Amir riwayat Ibn Dzakwan pada semisal lafazh جاء. Namun khusus riwayat Imam Hafsh hanya terdapat pada kata مجراها (QS.Hud:41). Dalam qira’atussab’ ada bacaan yang menyerupai imalah, yakni taqlil atau Imalah baina baina dari Imam Nafi’ riwayat Warsy pada Dzawat al Ya’, dan Imam Abu ‘Amr al Bashriy pada lafazh yang berwazan فَعلى، فِعلى، فُعلى , hanya saja taqlil lebih mendekati fathah seperti bunyi re pada kata “mereka”. Bacaan imalah diakui termasuk salah satu dialek bahasa Arab standar (fasih) untuk penduduk Najed dari suku Tamim, Qais dan Asad.
Bacaan imalah ini bermanfaat untuk memudahkan pengucapan huruf, karena lidah itu akan terangkat bila membaca fathah dan turun bila membaca imalah dan tentunya turunnya lidah itu lebih ringan dari terangkatnya lidah. Juga dengan bacaan imalah huruf ya’ yang merupakan asal dari alif layyinah tersebut akan tetap tampak ketika dibaca. 3. Naql (Memindah/menggeser harakat) Secara bahasa naql berasal dari kata نقل – ينقل – نقلا berarti memindah; memindah/menggeser.
Adapun secara istilah naql berarti memindahkan harakat hamzah ke huruf mati sebelumnya, dan setelah itu hamzahnya dibuang. Sebagaimana yang banyak ditemui pada riwayat Imam Hamzah dan Warsy, yakni setiap ada Al Ta’rif atau tanwin bertemu hamzah, contoh بالآخرة terbaca بلاخرة dan عذاب أليم terbaca عذابنليم . Dalam riwayat Hafsh bacaan naql hanya ada di satu tempat yaitu pada kata بئس الاسم (QS. al-Hujurat:11). Alasan bacaan naql pada kata الاسم yaitu terdapatnya dua hamzah washal (hamzah yang tidak terbaca di tengah kalimat), yakni hamzah pada al ta’rif dan lafazh “ismu” (salah satu dari sepuluh kata benda yang tergolong hamzah washal), yang mengapit “lam” sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca ketika disambung dengan kata sebelumnya.
Di antara manfaat bacaan naql ini adalah untuk memudahkan umat Islam membacanya.
4. Badal/Ibdal (mengganti huruf).
a. Penggantian Hamzah dengan Ya’ Badal/ibdal yang dimaksud di sini adalah إبدال الهمزة الساكنة بالياء (mengganti hamzah sukun dengan ya’.
Semua imam qira’at sepakat mengganti hamzah qatha’ –bila tidak disambung dengan kata sebelumnya- yang jatuh setelah hamzah washal dengan ya’ sukun, seperti لقاءناائت (QS. Yunus:18), في السموات ائتوني (QS. al-Ahqaf:4). Adapun bacaan Imam Nafi’ riwayat Warsy, Abu Amr riwayat al-Susy dan Abu Ja’far, hamzah qatha’ dalam kalimat tersebut diganti ya’ ketika diwashalkan
b. Penggantian Shad dengan Siin Yakni mengganti shad dengan siin pada kata يبصط (QS. al-Baqarah:245) dan بصطة (QS. al-A’raf:69) untuk selain bacaan Imam Nafi’, al-Bazzi, Ibnu Dzakwan, Syu’bah, Ali Kisa’i, Abu Ja’far dan Khalad.
Sedangkan pada بمصيطر (QS. al-Ghasyiyah:22) Imam Ashim membaca sebagaimana tulisan mushaf, lain halnya dengan المصيطرون (QS. al-Thur:37) kata ini bisa dibaca dengan mengganti shad dengan siin atau dibaca tetap sebagaimana tulisannya. Alasan digantinya shad dengan siin pada semua kalimat di atas yaitu mengembalikan pada asal katanya, yaitu بسط – يبسط ، سيطر – يسيطر. Sedangkan alasan ditetapkannya shad yaitu mengikuti rasm/khat utsmani al-Qur’an dan juga untuk menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’.
5. Isymam
Yaitu membaca harakat kata yang diwaqaf tanpa ada suara dengan mengangkat dua bibir setelah mensukunkan huruf yang dirafa’, seperti نستعينُ . Dalam bacaan Imam Ibn Amir riwayat Hisyam juga mengisymamkan kata seperti قيل dengan mencampur dlammah dan kasrah dalam satu huruf, demikian juga Imam Hamzah membaca isymam kata الصراط dengan memadukan bunyi ص dan ز .
Namun dalam bacaan Hafsh, isymam hanya ada kata لا تأمنا (QS. Yusuf:11), yakni lidah melafazhkan لا تأمنُنَا tanpa ada perubahan suara alias tetap sama dengan tulisannya. Kalau diamati, ternyata rasm al-Qur’an hanya menulis satu nun yang ditasydid. Pertanyaan yang muncul, mana dlammahnya? sehingga untuk mempertemukan keduanya dipilih jalan tengah yaitu bunyi bacaan mengikuti rasm, sedang gerakan bibir mengikuti kata asal. Secara bahasa, hal itu bisa difahami bahwa memang asal dari kata itu terdapat dua nun yang diizhharkan, nun pertama dirafa’kan dan kedua dinashabkan. Nun pertama dirafa’kan (didlammahkan) karena ia termasuk fi’il mudhari yang tidak kemasukan ‘amil nawashib maupun jawazim. Kata “la” yang masuk pada kata “ta’manu” adalah nafy (yang berarti “tidak”) bukan nahy (yang berarti “jangan”). Hal itu diambil dari pemahaman konteks ayat:
قَالُوا يَا أَبَانَا مَا لَكَ لا تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ (١١)
Mereka berkata: “Wahai ayah Kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai Kami terhadap Yusuf, Padahal Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya.”
6. Tashil
Arti tashil secara bahasa memberi kemudahan atau keringanan, sedangkan dalam istilah qiraat, tashil diartikan pengucapan hamzah , dengan bunyi antara hamzah dan huruf yang sejenis dengan harakat hamzah, seperti أأنذرتهم، أأنتم dan lain-lain. Hanya saja dalam riwayat Hafsh bacaan tashil hanya satu yaitu أأعجمي وعربي (QS. al-Fusshilat:44). Ketika bertemu dua hamzah qatha’ yang berurutan pada satu kata maka melafazhkan kata semacam ini bagi orang Arab terasa berat, sehingga bacaan seperti ini bisa meringankan. Juga ada bacaan tashil lagi, sebagaimana yang dikemukakan Imam Nasr Makky ada enam tempat, yaitu
1. Surat al-An’am ayat 143 : آالذكرين.
2. Surat al-An’am ayat 144 : آالذكرين .
3. Surat Yunus 51 : آلآن .
4. Surat Yunus 91 : آلآن.
5. Surat Yunus 59 : آلله.
6. Surat al-Naml 59 :آلله.
7. Madd & Qashr
Dalam qiraat khususnya bacaan Hafsh, banyak ditemukan kata yang tertulis dalam rasm usmani pendek tapi dibaca panjang dan tertulis panjang dibaca pendek, di antaranya:
a- ملك terbaca مالك Imam Ashim dan Ali Kisa’i membaca mim dengan alif, sedang yang lain membaca pendek. Mereka yang membaca dengan alif beralasan sesuai dengan ayat al-Qur’an : قل اللهم مالك الملك dan bukan ملك الملك juga karena maalik berarti dzat yang memiliki, sedangkan malik berarti tuan atau penguasa sehingga dalam Allah berfirman: ملك الناس yang berarti tuhan manusia dan tidak cocok makna yang seperti itu untuk kata hari pembalasan يوم الدين .
b-أنا terbaca أن ketika washal Alasan dipendekkannya nun ketika washal pada semua kata أنا (dlamir yang berarti saya) karena fungsi alif tersebut hanya berfungsi menjelaskan harakat sebagaimana menambahkan ha’ ketika berhenti (هاء السكت ). Ketika ada kata benda yang hurufnya sedikit lalu diwaqafkan dengan sukun maka bunyinya akan janggal dan diberi tambahan alif itu agar bunyi nun tetap sebagaimana asalnya. Sedangkan tidak ditambahkannya alif ketika washal karena nun sudah berharakat. Ada juga lafazh yang mirip dengan أنا yaitu لكنا (QS. Al-Kahfi:38), yakni dibaca pendek ketika washal dan dibaca panjang ketika waqaf. Hal itu dikarenakan asal dari لكنا adalah لكن + أنا dan bukan لكن + نحن .
c- الرسولا، الظنونا، قواريرا Imam Nafi’, Abu Bakar, Hisyam, al-Kisa’i membaca kata di atas dengan tanwin, sementara yang lain termasuk Imam Ashim riwayat Hafsh membacanya dengan tanpa tanwin.
Semua ulama mewaqafkannya dengan alif kecuali Imam Hamzah dan Ibn Katsir riwayat Qunbul, keduanya mewaqafkan tanpa alif. Alasan mereka yang mewaqafkan dengan alif adalah karena mengikuti rasm atau khat mushaf yang mencantumkan alif dan ketika washal alifnya tidak terbaca karena sighat muntahal jumu’ yang termasuk isim ghairu munsharif sehingga tidak boleh ditanwin. Sedangkan الظنونا، الرسولا، السبيلا meskipun bukan termasuk jama’ akan tetapi ia disamakan dengan syair yang akhir baitnya terdapat fathah yang dipanjangkan dengan alif.
d- أولئك، أولوا، الملاء Dalam rasm utsmani ada beberapa huruf yang tertulis tapi tidak terbaca seperti أولئك أولو، الملاء, ada pula yang tak tertulis tapi terbaca seperti هذا، هذه، ذلك . Inilah yang merupakan keunikan dari rasm al-Qur’an yang penuh rahasia dan mukjizat. 8. Shilah Kaidah umum yang berkaitan dengan ha’ dhamir berbunyi bahwa apabila ada ha’ dhamir yang tidak didahului huruf mati dan didepannya juga tidak terdapat huruf mati maka harus dipanjangkan seperti له، به, dan juga untuk menguatkan huruf ha’ perlu ditambahkan huruf mad setelahnya, karena tidak ada alasan yang mengharuskan membuang huruf setelah ha’ dan huruf sebelumnya berharakat, inilah ijma para ulama qira’ah , sebaliknya apabila ha didahului huruf yang disukun maka dibaca pendek, seperti منه، إليه. Para ulama qurra’ kecuali Ibnu Katsir, kurang senang menggabungkan dua huruf sukun yang dipisah oleh huruf lemah yaitu ha, sehingga mereka membuang huruf mad setelah ha’ dan inilah madzhab Imam Sibawaih. Kendatipun demikian dalam riwayat Hafsh ditemukan ha’ dlamir yang dibaca panjang walau didahului huruf mati seperti ويخلد فيه مهانا (QS. al-Furqan:69). Dalam hal ini riwayat Hafsh sama bacaannya dengan Ibnu Katsir, yaitu membaca shilah ha’ (panjang).
Alasannya diketahui bahwa ha’ adalah huruf lemah sebagaimana juga hamzah, sehingga ketika ha’ dikasrahkan, maka sebagai ganti dari wawu sukun adalah ya’ untuk menguatkan ha’. Dalam perkataan Arab sendiri jarang dijumpai wawu sukun yang didahului kasrah, sehingga menjadi فيهي atau عليهي .
Dan ada pula ha’ yang dipendekkan (kendatipun tidak didahului huruf mati) dengan mendhammahkan ha’ tanpa shilah, yaitu يرضه لكم (QS. Al-Zumar:7), bacaan seperti juga dijumpai pada bacaan Imam Hamzah, Nafi’, Ya’qub.
Alasan dipanjangkannya kata فيه yaitu mengembalikannya pada asalnya, yang mana ـه berasal dari kata هو . Ketika digabung dengan في menjadi فيهو , akan tetapi karena ha’ didahului ya’ sukun yang identik dengan kasrah maka harakat ha’ harus disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan mengganti huruf mad wawu menjadi ya’ untuk menyesuaikannya dengan kasrah sehingga menjadi فيهي dan huruf mad diganti dengan harakat kasrah berdiri: فيه .
Mengenai alasan dipendekkannnya ha’ pada kata يرضه dan semacamnya yaitu mengembalikannya pada tulisan mushaf yang tidak terdapat wawu mad setelah ha’.
9. Memfathah atau mendlammah dhad
Dalam al-Qur’an ada lafazh serupa yang diulang tiga kali dalam satu ayat yaitu ضعْف (QS. al-Ruum:54). Kata tersebut adalah masdar dari ضعُف – يضعَف . Para ulama qira’ah berbeda dalam membaca harakat dhad, Imam Hamzah dan syu’bah memfathah dhad dan lainnya kecuali riwayat Hafsh membacanya dengan dhammah. Sedangkan riwayat Hafsh membaca keduanya, dengan fathah dan dhammah. Alasan terjadinya perbedaan itu karena dalam ilmu sharaf, kata ضعُف – يضعَف itu mempunyai dua masdar yaitu ضَعْف dan ضُعْف , sebagaimana yang terjadi pada kata فقر juga mempunyai dua masdar yakni فَقْر dan فُقْر.
10. Basmalah dan Surat at Taubah
Dalam Mushaf Utsmani semua surat al-Qur’an di awali dengan basmalah kecuali surat Bara’ah atau surat at-Taubah. Terkait dengan hal itu, sahabat Nabi yang bernama Ubay bin Ka’ab berkata bahwa Rasulullah pernah menyuruh kami menulis basmalah di awal setiap surat, dan tidak memerintahkan kami menulisnya di awal surat Bara’ah, oleh karenanya surat tersebut digabungkan dengan surat al-Anfal dan itu lebih utama karena adanya keserupaan keduanya. Imam Ashim berkata: Basmalah tidak ditulis di awal surat Bara’ah, karena basmalah itu berarti rahmat atau kasih sayang, sedangkan Bara’ah merupakan surat adzab atau siksaan.
Para ulama fiqh berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmalah di awal surat Bara’ah ini, Imam Ibnu Hajar dan al-Khatib mengharamkan membaca basmalah di awal surat ini dan memakruhkan membacanya di tengah surat, sedangkan Imam Ramli dan para pengikutnya memakruhkan membaca basmalah di awal surat dan mensunnahkan membacanya di tengah surat sebagaimana surat-surat yang lain. Demikian sedikit uraian singkat kami tentang tinjauan kebahasaan dalam bacaan gharib Qiraah Ashim riwayat Hafsh, semoga dari yang singkat ini menjadi langkah awal bagi kita untuk lebih bersemangat dalam mengkaji ilmu-ilmu al Qur’an. Lebih dari itu, hanya allahlah yang kami harapkan menjadikan tulisan ini bermanfa’at. Amiin.
buku-buku referensi.
1.       Abi Thahir abdul Qayyum bin abdul Ghafur, Shafahat Fi Ulum al Qira’at,Makkah : Maktabah al Imdadiyyah, tth.
2.        Muhammad Makky Nashr, Nihayah al Qoul al Mufid .Surabaya : Dar al Ulum al Islamiyah, t.th.
3.       Abdul Fattah Qadhi, al Budur al Zahirah.Baerut; Dar el Kutub al ‘Arabiy 1981.
4.       Abi Thahir abdul Qayyum bin abdul Ghafur, Shafahat Fi Ulum al Qira’at, Makkah : Maktabah al Imdadiyyah, tth.
5.       Arwani Amin, Faidh al Barakat.Kudus : Mubarakatan Thayyibah.
6.       Al Qaisy, Abu Muhammad Makky bin Abi Thalib al Makky, Al Kasyfu ‘An Wujuh al Qiraat al Sab’ wa ‘ilaliha wa Hujjajiha, Baerut; Muassasah al Risalah, 1987

3 komentar:

  1. maaf, yang badal/ibdal pada quran surat Yunus, itu bukan ayat ke 18. tetapi ayat ke 15. syukron 'alaa ihtimaamikum.

    BalasHapus
  2. betul gaan... ane cari cari ga ada di ayat 18 tuh...

    BalasHapus
  3. Tulisan yg syarat makna, trimakasih ini sangat membantu lebih memahami bacaan qur'an dan lebih bersemangat untuk menghafalnya

    BalasHapus