Minggu, 01 Januari 2012

hakim perempuan

Perspektif (Fikih) Tentang Hakim Perempuan
(Suatu Analisis terhadap Polemik Para Ulama Fiqh)
A. Pendahuluan.
Sebagai sebuah ajaran yang secara substansial membawa misi keadilan universal, Islam memposisikan peradilan, sebagai sesuatu yang cukup penting dan mendasar. Dengan piranti peradilan diharapkan prinsip-prinsip keadilan, dan hak-hak dasar manusia (human rigth) dapat terpelihara secara baik. Sedemikian significannya sebuah proses peradilan, maka nash-nash pembentukan hukum Islam tentang peradilanpun menaruh perhatian cukup intens. Tidak heran jika kemudian Rasulullah sendiri -pada zamannya-, tidak saja dalam kapasitas pemimpin spiritual dan politik, tetapi juga pemegang kendali sebuah proses peradilan.
Dalam perkembangannya -pasca Rasul dan sahabat- Ulama-ulama fiqh pun menaruh perhatian yang sama dengan tokoh tokoh pendahulunya. Konsep –Ikhtiath- menjadi bagian inhern dalam pemikiran para ulama dalam membuat kriteria keabsahan sebuah proses peradilan dan subjek yang menjadi aktornya. Salah satu yang menjadi konsen para ahli fiqh (Yurist) sebagai wujud komitmennya terhadap peradilan adalah keseriusannya dalam membuat kriteria seorang Hakim.

Upaya mereka ini bisa difahami karena idelisme yang mereka miliki untuk membangun sebuah proses peradilan yang relatif bersih dan berwibawa dan diharapkan dapat sedekat mungkin dengan pesan moral nash-nash syari’at. Salah satu agenda yang menjadi perbincangan mereka adalah tentang keabsahan seorang perempuan untuk menjadi hakim dalam sebuah proses peradilan. Polemik ini bisa dimengerti karena menurut mereka (ulama) baik secara historis, antropologis, sosiologis dan bahkan nash-nash normatif, perempuan dipandang punya banyak sisi kelemahan apabila dihadapkan pada sebuah proses peradilan, lebih lebih sebagai aktor penentu sebuah sengketa peradilan (Hakim).
Makalah ini tidak berpretensi untuk melakukan “dekonstruksi” terhadap gagasan emansipasi perempuan yang –salah satunya– kini tengah dilakukan oleh banyak Organisasi-organisasai kewanitaan, akan tetapi semata-mata ingin mengkaji secara ilmiah landasan filosofis dan sosiologis, mengapa kalangan ulama fiqh mempersoalkan keabsahan perempuan sebagai hakim, sebab diduga kuat para ulama banyak diilhami oleh pengalaman-pengalaman pahit tentang perempuan dan kondisi sosialnya ketika menentukan pendapatnya tentang hakim perempuan.
B. Hakim Perempuan dalam Polemik Ahli Fiqh
Diskursus tentang pemberdayaan kaum perempuan yang kini menjadi trend dalam perkembangan pemikiran, sepertinya merupakan proses klimak dari perjalanan pahit kaum perempuan di masa lalu di belahan dunia manapun. Era pra Islam misalnya, dengan mengamati salah satu kasus kaum perempuan di kota Athena (Yunani) mengalami perlakuan yang sangat buruk dan cenderung sangat diskriminatif. Perempuan pada zaman itu dianggapnya sebagai hewan yang dengan mudah dapat diperjualbelikan, sama sekali tidak di “beri” hak untuk mengelola kakayaaan yang ia miliki, perempuan dalam pandangan hukum Yunani waktu itu dipandang hanya sebatas sebagai “pembantu rumah tangga” dengan tugas tunggal melahirkan anak. Kesucian mereka sedemikan terperosok lebih rendah dari hewan dan bahkan disejajarkan dengan najis dan perbuatan syetan, ketika tidak lagi dibutuhkan kaum lelaki. Situasi seperti ini dialami hampir oleh semua perempuan –termasuk masyarakat Arab pra Islam- khususnya ketika Islam belum datang membawa misinya.
Islam dengan seperangkat nilai yang dibawanya mencoba melakukan sebuah proses “revolusi“ terhadap pandangan manusia tentang perempuan di dunia Arab. Secara perlahan tapi pasti, Syari’at Islam mulai mengangkat kaum perempuan dari kubangan diskriminatif yang berkepanjangan di Masyarakat Arab. perempuan dalam risalah Islam sesungguhnya dianggap memiliki hak yang –bisa disebut sama– dengan kaum pria, memiliki hak dan kewajiban yang seimbang baik dalam status sipritual, moral, hak-hak ekonomis dan hak-hak legal (dalam pandangan hukum).
Kedudukan perempuan dalam Islam dalam perkembangan Islam sebenarnya sudah mengalami pencerahan yang cukup significant, hanya saja jika kemudian terjadi polemik para ulama dalam kapasitas perempuan sebagai hakim, tidak lepas dari setting sosial para ulama yang memandangnya saat itu. Kondisi sosial, budaya, dan struktur masyarakat tertentu diduga kuat mempunyai andil cukup besar terhadap pemikiran ulama dalam memandang kedudukan perempuan sebagai Hakim. Disamping itu persoalan peradilan masih dianggap sesuatu yang riskan jika harus diserahkan pada perempuan. Itulah sebabnya para ulama fiqh telah melakukan usaha maksimal untuk membuat kualifikasi formal bagi seorang hakim.
Secara normatif, ulama ulama fiqh klasik misalnya telah membuat persyaratan yang cukup selektif untuk seorang hakim antara lain, Islam, merdeka, laki-laki, mukallaf, ‘adil, mendengar, bisa berbicara fasih, bisa menulis dan yang terpenting tentunya punya integritas moral dan menguasai syari’at Islam. Konsekuensi logis dari persyaratan ini, maka calon calon hakim yang tidak memiliki kriteria –jika memaksakan– tidak dianggap cukup sah status hakimnya. Karena salah satu syarat itu -secara eksplisit –juga harus laki-laki, maka apabila perempuan menjadi hakim, keabsahannya tidak bisa dipertanggung jawabkan secara legal. Dampak lain dari statemen ini berarti semua keputusan dari sesuatu yang tidak legal tentu akan menghasilkan produk yang bathal secara hukum.
Terlepas dari kutipan –salah seorang ulama– di atas tentang keabsahan seorang hakim perempuan, penulis merasa sangat perlu –dalam forum diskusi dikelas ini– memaparkan lebih jauh bagaimana polemik dan komentar serta argumentasi yang digunakan para ulama lain tentang keabsahan hakim perempuan. Sekurang kurangnya ada tiga kelompok ulama yang menyatakan pendapatnya berkaitan dengan hal tersebut, yaitu:
Pertama, Perempuan tidak sah menjadi hakim, pendapat ini diwakili oleh tokoh madzhab terkenal seperti, Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad Ibnu Hanbal.
Kedua, Perempuan sah menjadi hakim, kecuali pada persoalan hukum hudud (pidana) dan qishah, pendapat ini diwakili oleh tokoh fiqh rasional, Imam Abu Hanifah.
Ketiga, Perempuan sah menjadi hakim secara muthlak dalam kasus apapun (perdata, maupun pridana), pendapat ini diwakili oleh imam Ibnu Jarir Al-Thabary. Sejalan dengan imam Thabary, imam Ibnu Hazm juga mengemukakan kebolehan perempuan sebagai hakim secara mutlak, tidak terkecuali pada perkara perdata ataupun pidana, ini berarti bahwa perempuan sah menjadi hakim.
C. Landasan Argumentatif.
Dari ketiga kelompok ulama yang memiliki pendapat berbeda tersebut masing–masing memiliki landasan argumentatif yang cukup valid baik dari nash-nash syari’at maupun aqli. antara lain:
Menurut catatan Muhammad Abu Al-‘Ainaini, kelompok ulama yang meragukan keabsahan perempuan sebagai hakim, seperti yang diwakili imam Malik dan Syafi’i, berpedoman pada teks al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
yang artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain (QS.4:34).
Menurut interpretasi ulama kelompok ini, kata kata “kelebihan” yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah berkaitan dengan penggunaan daya talar dan fikir, yang dalam banyak hal -terutama dalam kontek proses peradilan- perempuan tidak dapat melakukan hal yang sama dengan pria. Lebih jauh Hamid Muhammad Abu Thalib mengemukakan bahwa kehadiran perempuan dalam sebuah proses peradilan –apalagi sebagai hakim- dapat menimbulkan fitnah, terutama bertentangan dengan kelaziman yang berlaku dalam masyarakat, oleh karenanya kesaksian merekapun tidak selayaknya diakui secara hukum. Kehadiran perempuan dalam proses peradilan dinilai tidak lazim dan akan memperlemah suatu proses peradilan karena keterbatasan mental dan daya talar perempuan baik sebagai saksi maupun -bisa jadi – sebagai terdakwa.
Argumentasi lain yang dikemukakan oleh kelompok ini adalah Sunnah Rasul (Hadits), yang meriwayatkan tentang kematian raja Kisra, Nabi sempat mengemukakan pertanyaan di kalangan sahabat, “ menurut anda (para sahabat) siapakah yang layak akan menggantikan raja Kisra,?, para sahabat serta merta menjawab, “ tentu saja putrinya yang bernama Nora, sebagai pengganti raja,” Kemudian Nabi segera meng-counter- jawaban sahabat itu dengan mengemukakan “Tidak akan mengalami kesuksesan, suatu bangsa apabila pemimpin diserahkan kepada perempuan.” (al-Hadits).
Ketika menafsirkan hadits tersebut sebagian ulama yang melarang hakim waniita juga menggunakan logika silogisme (hampir identik dengan qiyas). Logika silogeisme yang digunakan para ulama dalam memahami hadits tersebut adalah bahwa, hadits tersebut bersifat celaan, sedangkan celaan membawa larangan, dan selanjutnya larangan itu berarti juga menunjukkan jeleknya sesuatu yang dilarangnya.
Dari pernyataan ini jelas apapun alasannya keabsahan perempuan sebagai Hakim tetap tidak dapat dipertanggungjawabkan, atau dengan kata lain bathal sebagai hakim. Tidak saja menggunakan nash-nash syari’at sebagai argumentasi larangan perempuan sebagai hakim, akan tetapi mereka juga mengemukakan faktor historis yang berkembang dalam peradaban umat Islam. Konon –menurut mereka- memang tidak pernah tercatat dalam sejarah, Rasulullah maupun para sahabat sesudahnya (khulafa al-Rasyidin), mengangkat perempuan sebagai hakim, Jika saja secara syari’at dibolehkan, tentu ada perempuan yang diangkat menjadi hakim untuk menetapkan vonis terhadap tindak pidana yang dilakukan kaum perempuan. Terlepas dari akurat atau tidaknya argumentasi yang digunakan kelompok ulama pertama ini, yang jelas bahwa kaum perempuan tidak sah jika diangkat sebagai hakim.
Berbeda dengan pendapat kelompok pertama Imam Abu Hanifah, justru mengemukakan argumentasi yang lain, dan berksimpulan bahwa sah-sah saja jika perempuan menjadi hakim sepanjang perkara yang dihadapinya bukan pada perkara pidana. (Pendapat ini agaknya dianalogikan dengan status kesaksian perempuan). Sepanjang kesaksian perempuan dianggap sah dalam persoalan persoalan perdata, maka iapun sah jika menduduki jabatan hakim pada persoalan tersebut.
Sementara itu kelompok ulama ketiga (yang mebolehkan perempuan sebagai hakim secara muthlak) yang diwakili Ibnu Jarir Ath-Thabary, dan Ibu Hazm, berargumentasi pada beberapa poin, yatiu:
Tidak satupun ayat dalam al-Qur’an maupun pernyataan Rasul (Hadits) yang secara tegas melarang perempuan sebagai hakim. Berbeda dengan kelompok pertama yang tidak menemukan data sejarah tentang hakim perempuan, menurut Ibnu Jarir justru secara historis pernah terjadi pengangkatan seorang perempuan sebagai hakim, pada masa Umar Ibnu Khattab, yang mengangkat perempuan menjadi hakim dari suku al-Syuq, bernama Al-Syifa. Menggunakan analogi terhadap keabsahan fatwa seorang perempuan yang dianggap sah, dengan kata lain jika fatwa perempuan dianggap sah, maka tentu saja keputusannya sebagai hakimpun dapat dianggap sah.
D. Analisis Sosio-Cultural Terhadap Pemikiran Ulama Tentang Hakim Perempuan.
Teori hukum manapun, termasuk hukum Islam dalam pengertian fiqh, mengakui bahwa kondisi sosial budaya suatu tempat mempunyai andil yang sangat significant terhadap corak dan pemikiran seorang tokoh hukum (ulama). Inilah yang sering disinyalir dalam salah satu kaidah, bahwa “Tidak dapat dipungkiri, hukum itu –tanpa kecuali hukum Islam selalu berubah sesuai dengan perubahan tempat waktu dan keadaan”.
Dalam sejarah formulasi fiqh Islam lazimnya para ulama selalu mempertimbangkan implikasi sosial budaya dan kondisi dalam melahirkan produk-produk pemikiran hukumnya, atas dasar ini maka tidak heran jika produk-produk fiqh itu sebenarnya sangat bersifat partikularistik, dengan kata lain, pemikiran-pemikiran ulama pada masa lalu itu tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum, hal ini dapat dimengerti karena produk fuqaha itu sebenarnya lahir dari hasil suatu lingkungan dan kultur tertentu dan dari masa tertentu di masa silam. ia mungkin saja relevan dengan kontek zamannya dan tempat dimana para ulama itu memberikan fatwanya, tapi bisa saja kemudian tidak lagi relevan jika diaktualisasikan dalam kontek zaman dan kondisi sosial yang berbeda.
Kondisi tersebut juga berlaku pada produk produk ulama fiqh dalam menentukan pendapatnya tentang kedudukan perempuan sebagai hakim, boleh jadi dan bahkan dapat diguga kuat faktor lingkungan sosial budaya mempunyai andil besar terhadap perbedaan di kalangan ulama. Seperti kita ketahui tokoh tokoh madzhab seperti Maliki dan Syafi’i, berpendapat bahwa perempuan tidak sah menjadi seorang hakim, hal ini dapat dimengerti karena perempuan-perempuan di Hijaz (dimana Malik dan juga Syafi’i pernah tinggal), masih sangat terikat dengan struktur sosial ke Araban yang cenderung eksklusive, terbiasa dengan tradisi pingitan. Kebebasan mereka dalam melakukan aktifitas di luar rumah sangat dibatasi.
Kondisi Hijaz dan Madinah yang cenderung bersahaja, sederhana dan jauh dari pengaruh kebudayaan luar dan problematikannya, semakin memperkukuh tradisi lokal bagi para penduduknya, termasuk tentang status perempuan. Kondisi ini jelas berpengaruh besar terhadap cara berfikir masyarakat Arab waktu itu, dan pada giliranya memiliki pandangan yang agak “miring” terhadap perempuan. Faktor ini agaknya yang membuat para ulama membatasi peran kaum perempuan dalam kapasitasnya sebagai hakim.
Faktor lain yang dapat diduga mengapa Imam Malik melarang perempuan sebagai hakim, adalah sikapnya yang komitmen kepada hadits Rasul dimana secara eksplisit sebagaimana di ungkapkan di muka, ada indikasi hadits rasul yang melarang keterlibatan perempuan dalam proses kepemimpinan. Teguh pendiriannya pada Hadits yang sedemikan rupa ini pula agaknya Imam Malik tidak mau mengambil resiko dengan membolehkan perempuan sebagai hakim. Pendapat yang sama juga disampaikan Imam Syafi’i, walaun ia tidak lama tinggal di Madinah, bisa jadi, pemikiran Malik yang sempat menjadi gurunya dalam bidang hadits mempengaruhi Syafi’i. Tidak heran jika iapun melarang perempuan untuk menjadi hakim.
Berlainan halnya dengan Imam Abu Hanifah – yang menurutnya perempuan boleh menjadi hakim- hidup di kawasan Irak dimana akulturasi budaya asing sudah sedemikan kental, pemikran masyarakatnya pun sudah sedemikan liberal. Kondisi Irak dimana Hanafi tinggal sudah sedemikian maju dibanding Hijaz. Akulturasi dengan Persia yang sudah maju lebih dulu telah terbangun lama. Sehingga sedikit banyak kebudayaan Persia yang maju itu ikut mempengaruhi cara berfikir masyarakat Irak. Semakin maju kebudayaan bangsa, semakin baik pula pandangan mereka terhadap perempuan. Oleh karenanya kedudukan perempuan di Irak lebih beruntung di banding dengan kedudukan perempuan di Hijaz. Perbedaan yang sedemikan kontras ini agaknya juga berpengaruh besar terhadap wacana pemikiran para ulamanya. Maka sekali lagi dapat difahami kalau kemudian Abu Hanifah membolehkan perempuan sebagai Hakim, oleh karena cultur Irak waktu itu memungkinkan ke arah itu.
Kondisi sosial budaya seperti itulah yang banyak mempengaruhi pemikiran hukum Islam dari kalangan mujtahid, termasuk di dalamnya Ibnu Jarir At-thabary dan Ibnu Hazm, yang lebih liberal menyatakan kebebasan dan keabsahan perempuan sebagai hakim secara mutlak.
Faktor lain mengapa terjadi perbedaan pandangan ulama di Hijaz dan Irak adalah, Jika di Hijaz cenderung ingin mempertahankan tradisi nash dan hadits hadits rasul maka di Irak justru lebih mengedepankan pemikiran rasio dan penalaran bebas. Itulah kemudian muncul istilah fiqh tradisional Hijaz dan Fiqh rasional Irak. Tradisi penggunaan ra’yu yang sudah sedemikian rupa itupun kemudian berkembang secara pesat dalam wacana fiqh Islam, yang pada gilirannya juga mempengeruhi corak corak fiqh yang berkembang.
Walhasil kebolehan perempuan sebagai hakim yang dianut olek kelompok ketiga ini juga diduga kuat akibat kebebasan rasio yang digunakan sebagai istinbat.
E. Kesimpulan.
Polemik ulama fiqh tentang status perempuan, disamping karena faktor perbedaan penggunaan metode istinbath dan cara pandang terhadap nash, ternyata juga banyak dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan kondisi ulama setempat. Jika dalam kultur masyarakat tertentu tradisi pingitan terhadap perempuan masih begitu dominan, sebagaimana di kawasan Hijaz ketika Imam Malik hidup, maka fatwa tentang hakim perempuanpun merupakan refleksi dari kondisi tersebut.
Sebaliknya jika kultur masyarakat cenderung liberal, akulturasi budaya masuk deras seperti di Irak ketika Hanafi hidup,, maka hakim perempuanpun dianggap tak ada masalah dan sah sah saja. Begitu juga kondisi masyarakat ketika Ibnu Jarir At-Thabary tinggal,. Cukup memberi alasan untuk memberikan kebebasan bagi perempuan sebagai hakim secara mutlak.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Fattah Muhammad Abu Al-‘Ainaini, Al-Qhada wa Al-Itsbath fi Fiqh Al-Islami, Kairo: Dar Al-Kutub, 1983.
Al-Mawardy, Al-Ahkamu Al-Shulthaniyah, Cet. III, Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1973,
Al-Shan’any, Subul al-Salam, Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Syirazy, Kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jilid II, Jeddah: Maktabah Al-Irsyad, t.th.,
Amir Syarifuddin, Prof. Dr., Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1993.
Dr. Faroq Abu Zaid, Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis, Jakarta: P3M, 1989.
Hamid Muhammad Abu Thalib, Al-Tanzhim Al-Qadha Al-Islami, Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah, 1982,
Ibnu Abi al-Dam al-Syafi’i, dalam kitab, Kitab Adab al-Qhadhi, t.tp., t.th.
Ibnu Al-Humam, Syarh Fath al-Qadir, Juz V, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.
Imam Al-Bahy Al-Khuli, Al-Mar’atu Baena Al-Bait wa Al-Mujtama’, Mesir: Dar Al-Kitab Al-‘Araby, t.th.
M. Abdul Mujib, dkk, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Muhammad Abu Zahrah, Syafi’i, Hayatuhu, Wa Ashruhu Wa Arauhu Wa Fiqhuhu, Mesir : Dar Al-Fikr Arabi, 1978.
Muhammad Salam Madkur, Al-Qhadha fi Al-Islam, Kairo: Dar Dahlah al-Arabiyah, 1964,
Nur A.Fadhil Lubis P.hd., Kepemimpinan Wanita dalam Islam , Jurnal : Miqot, Medan: IAIN Press, 1991,
Willam Friedman, Law in a Changing Society, London: Pelican Press, 1964.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar