Minggu, 01 Januari 2012

Ushul Fiqh, Mashlahah Mursalah

Mashlahah  Mursalah
  1. Pendahuluan .
Persoalan yang dihadapi manusia selalu tumbuh dan berkembang, demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak hal-hal atau persoalan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, kemudian timbul dan terjadi pada masa-masa sesudahnya, bahkan ada yang terjadi tidak lama setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Seandainya tidak ada dalil yang dapat memecahkan hal-hal yang demikian berarti akan sempitlah kehidupan manusia. Dalil itu ialah dalil yang dapat menetapkan mana yang merupakan kemaslahatan manusia dan mana yang tidak sesuai dengan dasar-dasar umum dari agama Islam. Jika hal itu telah ada, maka dapat direalisir kemaslahatan manusia pada setiap masa, keadaan dan tempat. Demikian pula tidak disebut oleh syara’ tentang keperluan mendirikan rumah penjara, menggunakan mikrofon di waktu adzan atau shalat jama’ah, menjadikan tempat melempar jumrah menjadi dua tingkat, tempat sa’i dua tingkat, tetapi semuanya itu dilakukan semata-mata untuk kemashlahatan agama, manusia dan harta.

Sebenarnya para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan para ulama yang datang sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukum sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin pada masa itu. Khalifah Abu Bakar telah mengumpulkan aI-Qur’an, Khalifah Umar telah menetapkan talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus jatuh tiga, padahal pada masa Rasulullah SAW hanya jatuh satu, Khalifah Utsman telah memerintahkan penulisan aI-Qur’an dalam satu mushaf dan Khalifah Ali pun telah menghukum bakar hidup golongan Syi’ah Rafidhah yang memberontak, kemudian diikuti oleh para ulama yang datang sesudahnya.
Dalam mengistinbatkan hukum, sering kurang dibedakan antara qiyas, istihsan dan mashlahat mursalah. Dalam makalah ini kami akan mencoba menguraikan tentang Mashlahah Mursalah, terkait tentang bentuk-bentuk mashlahah, pendapat mengenai kehujjahannya, serta syarat-syaratnya apabila dijadikan Hujjah.

  1. Pengertian.
Mashlahah Mursalah terdiri dari dua kata, yaitu mashlahah dan mursalah. Menurut bahasa kata Mashlahah (المصلحة) merupakan kata benda (isim) yang berbentuk mashdar yang mempunyai kesamaan arti dengan kata al Shulhu (الصلح), bentuk tunggal dari kata al-Mashalih ( المصالح) dan artinya sinonim dengan kata al Manfa’ah, yakni kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan,[1] dan kata  mursalah berarti lepas. Gabungan dari dua kata tersebut Mashlahah Mursalah.
Secara istilah, para ahli Ushul memiliki redaksi yang berbeda-beda dalam mendefinisikannya, beberapa diantaranya adalah :
-       Dr. Abdul Krim Zaidan yang menuqil dari kitab al Mustashfa karya al Ghazaliy.[2]
المصلحة : هي جلب المنفعة ودفع المضرة , أي المفسدة.
“Mashlahah adalah meraih kemanfa’atan atau menolak kemadharatan”.
-       المصلحة هي المحافظة على مقصود الشارع بدفع المفاسد عن الخلق
Mashlahah adalah memelihara tujuan Syara’ dengan cara menolak segala sesuatu yang dapat merusakkan makhluk [3]
-       Menurut Abdul wahhab khallaf Mashlahah mursalah disebut juga mashlahat yang mutlak, adapun menurut istilah Ushuliyyin ialah ; Sesuatu yang dianggap mashlahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya, sehingga ia disebut mashlahah mursalah (mashlahah yang lepas dari dalil secara khusus).[4]
Dari beberapa definisi diatas dapat difahami bahwa ketiga-tiganya memiliki tujuan yang sama, yakni memelihara tercapainya tujuan Syara’, yaitu menolak madlarat dan meraih manfaat. Walaupun Ulama’ Ushul secara semantisik bisa dikatakan tidak sampai mencapai kata sepakat dalam memberikan definisi terhadap Mashlahah secara pasti, akan tetapi pada substansinya mereka memberikan definisi bahwa mashlahah ialah suatu kondisi dari upaya mendatangkan sesuatu yang berdampak positif (manfa’at) dan menghindarkan diri dari hal-hal yang berdimensi negatif (madlarrat).
Jadi Mashlahah Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak memiliki dasar sebagai dalilnya dan juga tidak ada dasar sebagai dalil yang membenarkanya. Oleh sebab itu, jika ditemukan suatu kasus yang ketentuan hukumnya tidak ada dan tidak ada pula ‘illat yang dapat dikeluarkan dari syara’ yang menentukan kepastian hukum dari kasus tersebut, lalu ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, dalam artian suatu ketentuan hukum yang berdasarkan pada pemeliharaan kemadlaratan atau menyatakan bahwa sesuatu itu bermanfaat, maka kasus seperti itu dikenal dengan sebutan Mashlahah Mursalah.

  1. Macam macam Mashlahah.
Selanjutnya, untuk memperjelas pengertian Maslahah mursalah, kita lihat uraian  tentang macam-macam mashlahah, yang mana para ulama’ Ushul sepakat menyatakan bahwa mashlahah dapat dibagi menjadi beberapa bagian menurut sudut pandang masing-masing, baik dari segi eksistensinya ataupun muatan substansinya,
Jika dipandang dari sisi eksistensinya, Maslahah dapat dibagi menjadi tiga :
  1. Al Mashalih al Mu’tabarah ( المصالح المعتبرة) .
Mashlahah yang secara tegas diakui syari’at dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikanya. Misalnya diperintahkan berjihad untuk memelihara agama dari rongrongan musuhnya, diwajibkan Qishash untuk menjaga kelestarian jiwa, ancaman hukuman atas peminum khamr untuk memelihara akal, ancaman hukuman zina untuk memelihara kehormatan dan keturunan, serta ancaman hukuman mencuri untuk menjaga harta. Bentuk Mashlahah ini sebagian ulama dimasukkan kedalam kategori Qiyas (analogis), seperti hukum keharaman semua bentuk minuman yang memabukkan dengan dianalogikan pada khamr yang keharamanya telah dinash oleh al Qur’an.
  1. Al Mashalih al Mulghah ( المصالح الملغاة).
Yaitu sesuatu yang dianggap mashlahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataanya bertentangan dengan ketetuan syari’at. Atau bisa juga dikatakan mashlahah yang dibuang lantaran bertentangan dengan syara’ atau berarti mashlahah yang lemah dan bertentangan dengan mashlahah yang lebih utama. Bentuk ini lazimnya berhadapan secara kontradiktif dengan bunyi nash, baik al Qur’an maupun Hadits. Misalnya;
-       Ada anggapan bahwa menyamakan pembagian warisan antara anak laki-laki dan anak wanita adalah mashlahah. Akan tetapi, kesimpulan seperti itu bertentangan dengan ketentuan syari’at, yaitu ayat 11 surat an Nisa’ yang menegaskan bahwa pembagian anak laki-laki dua kali pembagian anak permpuan. Adanya pertentangan itu menunjukkan bahwa apa yang dianggap mashlahah itu, bukan mashlahah disisi Allah.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“ Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[5]
-       Status mashlahah yang terkandung dalam hak seorang istri menjatuhkan talak kepada suami, tetapi hal ini tidak di akui oleh syara’, sebab hak menjatuhkan talak hanya dimiliki seorang suami dan putusan ini dimungkinkan karena pertimbangan psikologis kemanusiaan.
-       Putusan seorang Raja tentang “denda kafarah” berpuasa dua bulan berturut turut sebagai ganti dari memerdekakan budak bagi mereka yang melakukan hubungan sexual dengan istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan. Bentuk maslahah disini, seorang Raja dengan mudah akan dapat membayarnya, sehingga membuat ia berpindah pada denda berikutnya, yaitu berpuasa dua bulan berturut turut.[6]

  1. Al Maslahih al Mursalah ( المصالح المرسلة).
Mashlahah inilah yang dimaksud dalam pembahasan ini, yang pengertianya adalah seperti dalam definisi yang disebutkan di atas. Mashlahah macam ini terdapat dalam masalah-masalah mu’’ashlahatarat-syaratnya apabila dijadikan Hujjah.amalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dan tidak pula ada bandingannya dalam al Qur’an dan Sunnah untuk dapat dilakukan analogi. Contohnya;
-       Kodifikasi al Qur’an menjadi satu Mushhaf.
-       Peraturan lalu lintas dengan segala rambu-rambunya, sistem penjara bagi pelaku tindak pidana, pengadaan uang dengan sistem sirkulasinya dan lain sebagainya. Peraturan seperti itu tidak ada dalil khusus yang mengaturnya, baik dalam al Qur’an maupun dalam Sunnah Rasulullah. Namun, peraturan seperti itu sejalan dengan tujuan syari’at, yaitu dalam hal ini diantaranya adalah untuk memelihara jiwa dan harta.[7]
Dan bila dipandang dari sisi muatan Substansinya, Maslahah dapat dibagi menjadi tiga, yaitu ;
  1. Mashlahah Dharuriyyat (الضروريات / kepentingan Primer).
Yaitu mashlahah yang berkaitan dengan penegakan atau kepentingan agama dan dunia, dimana tanpa kedatangannya akan menibulkan cacat dan cela. Ini merupakan dasar utama bagi beberapa mashlahah lain. Hal ini secara konkrit dapat kita lihat dalam wujud pemeliharaan total terhadap lima dasar pokok disyaria’atkannya ajaran Islam, yaitu ;
  1. Pemeliharaan Agama (حفظ الدين), seperti perintah beribadah dan sebagainya, yaitu surat al Baqarah ayat 21;
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“ Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,”
Atau al Dzariyat ayat 56 ;
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
“ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
  1. Pemeliharaan jiwa manusia (حفظ النفس), seperti larangan saling bunuh membunuh yang tanpa ada alasan yang bisa diterima oleh Syara’, yaitu surat al Baqarah ayat 179 atau al An’am 151;
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (١٧٩)
. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (١٥١)”
Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
  1. Pemeliharaan keturunan (حفظ النسل), seperti larangan berbuat zina, baik laki-laki maupun wanita, yaitu surat an Nur ayat 2;
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (٢)
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.
  1. Pemeliharaan akal pikiran (حفظ العقل), seperti larangan mabuk mabukan, yaitu al Ma’idah 90;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٩٠)
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
  1. Pemeliharaan harta benda (حفظ المال), seperti larangan mengambil atau makan harta orang lain dengan cara salah atau mencuri, yaitu surat an Nisa’ ayat 29 dan al Maidah ayat 38;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٣٨)
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[8]
  1. Mashlahah Hajiyyat (الحاجنيات / kepentingan skunder).
Yaitu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesukaran dalam kehidupan mukallaf dan memberikan kelonggaran. Ini merupakan penyangga dan penyempurna bagi kepentingan primer.[9]
  1. Mashlahah Tahsiniyyat (التحسنيات / kepentingan pelengkap).
Yaitu mengambil apa-apa yang sesuai dengan apa yang terbaik dari kebiasaan dan menghindari cara-cara yang tidak disenangi oleh orang baik dan bijak. Ini merupakan salah satu penopang bagi kepentingan Hajiyyat.[10]
Ketiga-tiganya satu struktur yang saling berhubungan dan juga menganalisis dau aspek dalam hubungan yang satu dengan yang lain, artinya petimbangan unsur pelengkap (hajiyyah) tidak boleh membutuhkan tujuan asa atau primer atau dharuriyyah.[11]
Oleh sebab itu, maka pelengkap (tahsiniyyah) merupakan unsur penyempurna bagi kepentingan skunder (Hajiyyah) dan skunder pelengkap dan penopang kepentingan primer. Inilah yang membuat tercetusnya rumusan lima ketentuan ;
1-   Mashlahah dharuriyyah merupakan asal bagi semua kepentingan yang lain.
2-   Kerusakan pada kepentingan primaer, berarti suatu kerusakan bagi kepentingan yang lain secara mutlak.
3-   Kerusakan pada kepentingan yang lain, tidak harus berarti merusak pada kepentingan primer.
4-   Dalam kasus tertentu, kerusakan pada kepentingan sekunder atau pelengkap, dapat dapat berakibat rusaknya kepentingan primer.
5-   Perlindungan atas kepentingan skunder dan pelengkap, harus dilakukan untuk mencapai kepentingan primer.
Akan tetapi jika dilihat dari sisi akomondasinya dengan komunitas lingkungan, mashlalah terbagi menjadi dua, yaitu ;
1). Mashlahah yang dapat beradaptasi dengan perubahan ruang, waktu dan lingkungan sosial, sebab obyek utamanya adalah mu’amalah (masalah sosial kemasyarakatan) dan hukum-hukum kebiasaan (adat).
2). Mashlahah yang berwatak konstan. Hal ini tidak dapat dirubah hanya karena perubahan lingkungan, sebab hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan ibadah mahdhah atau ritus keagamaan.

  1. Pendapat Ulama mengenai kehujjahan Mashlahah Mursalah.
Dalam mensikapi persoalan kehujjahan teori mashlahah mursalah, para ahli hukum Islam berbeda pendapat sesuai dengan latar belakang disiplin ilmu masing-masing, yaitu;
  1. Kelompok Hanafiyyah, sebagian Syafi’iyyah, sebagian Malikiyyah (seperti Ibn Hajib) dan kalangan al Zhahiriy berpendapat bahwa mashlahah mursalah tidak dapat dijadikan hujjah untuk beristinbathil hukm al Syar’iy. Dengan alasan seperti yang dikemukakan Abdul Karim Zaidan, antara lain ;
-       Allah dan Rasulnya telah merumuskan ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin segala bentuk kemaslahatan umat menusia. Menetapkan hukum berlandaskan mashlahah mersalah, berarti menganggap syari’at islam tidak lengkap karena menganggap mesih ada mashlahah yang belumtertampung oleh hukum-hukumnya. Hal ini seperti bertentangan dengan ayat 36 surat al-Qiyamah:
أَيَحْسَبُ الإنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?”
-       Membenarkan mashlahah mursalah sebagai landasan hukum berarti membuka pintu bagi berbagai fihak seperti hakim dipengadilan atau pihak penguasa untuk menetapkan hukum menurut seleranya dengan alasan untuk meraih kemashlahatan. Praktek seperti itu akan merusak citra agama.
  1. Sebagian kelompok malikiyah dan syafi’iyah dan hanabilah berpendapat bahwa mashlahah mursalah dapat dijadikan sebagai hujjah untuk beristinbattun hukm al syar’iy dengan syarat harus memiliki semua persyaratan yang sudah ditentukan oleh para ahli hukum, seperti imam malik sendiri. Diantara alasan-alasan yang mereka ajukan adalah:
-       Syariat Islam diturunkan, seperti disimpulkan para ulama berdasarkan petunju-petunjuk al-Qur’an dan Sunnah, bertujuan untuk merealisasikan kemashlahatan dan kebutuhan umat manusia. Kebutuhan umat manusia itu selalau berkembang, yang tidak mungkin semuanya dirinci dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Namun secara umum syari’at Islam telah memberi petunjuk bahwa tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan umat manusia. Oleh sebab itu, apa yang dianggap mashlahah, selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, sah dijadikan landasan hukum.
-       Para sahabat dalam berijtihad menganggap sah mashlahah mursalah sebagai landasan hukum tanpa ada seorangpun yang membantahnya. Contohnya, umar bin khaththab pernah menyita sebagian harta para pejabat dimasanya yang diperoleh dengan cara menyalah gunakan jabatannya. Praktik seperti ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, akan tetapi hal itu perlu dilakukan demi menjaga harta negara dari rongrongan para pejabatnya. Berdasarkan alasan-alasan tersebut ada beberapa alasan yang lain yang tidak dapat disebut dalam tulisan ini, kalangan malikiyyah, hanabilah, dan sebagian kalangan syafi’iyyah menganggap mashlahah mursalah sah sebagai landasan hukum. Adapun alasan-alasan yang dikemukakan oleh fihak yang menolak mashlahah mursalah sebagai dalil hukum, menurut pihak kedua ini adalah lemah. Karena kenyataannya berlawanan dengan dalil tersebut, dimana tidak semua kebutuhan manusia, ada rinciannya dalam al-Qur’an dan Sunnah, disamping itu, untuk mennetapkan bahwa suatu mashlahah mursalah itu secara sah dapat difungsikan, membutuhkan beberapa persyaratan yang ekstra ketat. Dengan persyaratan-persyaratan itu, adanya kemungkinan bahwa mashlahah mursalah akan disalah gunakan oleh berbagai fihak dapat dihindarkan.

  1. Syarat-syarat Mashlahah Mursalah.
Abdul wahhab khallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalam memfungsikan mashlahah mursalah, yaitu :
  1. Sesuatu yang dianggap mashlahah itu haruslah berupa mashlahah hakiki yaitu yang benar-benar akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak kemadlorotan, bukan berupa dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat nigatif yang ditimbulkannya. Misalnya yang disebut terakir ini adalah anggapan bahwa hak untuk menjatuhkan talak itu berada ditangan wanita bukan lagi ditangan pria adalah mashlahah palsu, karena bertentangan dengan ketentuan syariat yang menegaskan bahwa hak untuk menjatuhkan talak berada ditangan suami sebagai mana disebut dalam hadist:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُطَلِّقْهَا إِذَا طَهُرَتْ أَوْ وَهِيَ حَامِلٌ

“Dari ibnu umar sesungguhnya dia jpernah mentalak istrinya padahal dia sedang dalam keadaan haid, haal iyu diceritakan kepada Nabi SAW . maka beliau bersabda : suruh ibnu umar untuk merujuknya lagi, kemudian mentalaknya dalam kondisi suci atau hamil” (HR Ibnu Majah).
Secara tidak langsung hadits tersebut memberikan informasi bahwa yang paling berhak untuk mentalak istri adalah suami, yang dalam kasus ini adalah Ibnu umar.
  1. Sesuatu yang dianggap mashlahah itu hendaklah berupa kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi.
  2. Sesuatu yang dianggap mashlahah itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada ketegasan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, atau bertentangan dengan Ijma’.

  1. Kesimpulan.
Dalam meng-istinbath-kan hukum, sering kurang dibedakan antara qiyas, istihsan dan mashlahat mursalah. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian, yang pertama tidak ada nashnya, karena itu belum ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua ada nashnya dan telah ditetapkan hukumnya. Pada istihsan hanya ada satu peristiwa, tetapi ada dua dalil yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Dalil yang pertama lebih kuat dari yang kedua. tetapi karena ada sesuatu kepentingan dipakailah dalil yang kedua.
Sedang pada mashlahat mursalah hanya ada satu peristiwa dan tidak ada dalil yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa itu, tetapi ada suatu kepentingan yang sangat besar jika peristiwa itu ditetapkan hukumnya. Karena itu ditetapkanlah hukum berdasar kepentingan itu.
Para Ulama Ushul sepakat bahwa mashlahah mursalah, tidak sah menjadi landasan hukum dalam bidang Ibadah, karena bidang Ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya diwariskan Rasulullah, dan oleh karena itu bidang Ibadah tidak berkembang. Mereka berbeda pendapat dalam bidang muamalat, Kelompok Hanafiyyah, sebagian Syafi’iyyah, sebagian Malikiyyah (seperti Ibn Hajib) dan kalangan al Zhahiriy berpendapat bahwa mashlahah mursalah tidak dapat dijadikan hujjah untuk beristinbathil hukm al Syar’iy. Sedangkan sebagian kelompok malikiyah dan syafi’iyah dan hanabilah berpendapat bahwa mashlahah mursalah dapat dijadikan sebagai hujjah untuk beristinbattil hukm al Syar’iy dengan syarat harus memiliki semua persyaratan yang sudah ditentukan oleh para ahli hukum.
Akhirnya ; teguran dan kritikan terhadap kekhilafan dan kekurangan yang kemungkinan besar dijumpai dalam tulisan ini, sungguh sangat kami harapkan dan amat sangat kami hargai.
Lebih dari itu, hanya allahlah yang kami harapkan menjadikan tulisan ini bermanfa’at. Amiin.



















Daftar Pustaka
1.    Louis, al Munjid Fi Al Lughah, Baerut, Dar el Machreq sarl Publishers, 2005.
2.    Abdul karim Zaidan, al Wajiz Fi Ushul al Fiqh. Baerut, Muassasah al Risalah, 1998/1419 cet : VII.
3.    Wahbah al Zuhaili, al Wasith fi Ushulal Fiqh  juz II, (CD. Maktabah Syamilah Ishdar Tsalits).
4.      Abdul Wahhab khalaf, Ilmu Ushul al Fiqh .al Haramain, 2004/1425 cet : II
5.      Muhammad Maksum Zaini, Ilmu Ushul Fiqh.Jombang: Maktabah al Syarifah al Khadijah, 2008
6.      al Nazhariyyah al Maqhashid, (CD. Maktabah Syamilah Ishdar Tsalits).
7.        Al Syathibi, abu Ishhaq, al Muwafaqat Fi Ushul al Syari’ah .Baerut : Dar El Kutub Al Ilmiyyah, 2005.
8.      Satria Efendi, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana Predia Media Group. 2005.
9.      Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya, 2005.









[1] Mashlahah (المصلحة) sama artinya dengan kata al Shulhu (الصلح), dan artinya sinonim dengan kata al Manfa’ah (المنفعة) yang sama artinya dengan kata al Naf’u (النفع). Louis, al Munjid Fi Al Lughoh, (Baerut, Dar el Machreq sarl Publishers, 2005), h: 432.
[2] Abdul Karim Zaidan, al Wajiz Fi Ushul al Fiqh, (Baerut, Mu’assasah  al Risalah, 1998/1419 cet : VII) hal:236.
[3] Wahbah al Zuhaili, al Wasith fi Ushul al Fiqh  juz II, (CD. Maktabah Syamilah Ishdar Tsalits).
[4] المصلحة التي لم يشرع الشارع حكما لتحقيقها , ولم يدل دليل شرعي على اعتبارها اوالغائها (Abdul Wahhab khallaf, Ilmu Ushul al Fiqh ( al Haramain, 2004/1425 cet : II) hal : 84.)
[5] Abdul karim Zaidan, al Wajiz Fi Ushul al Fiqh, Op,.Cit. Hal ; 237
[6] Muhammad Maksum Zaini, Ilmu Ushul Fiqh (Jombang: Maktabah al Syarifah al Khadijah, 2008).Hal ;118
[7] Baca lebih luas dalam, al Nazhariyyah al Maqhashid, (CD. Maktabah Syamilah Ishdar Tsalits).
[8] Al Syathibi, abu ishhaq, Al muwafaqat FI Ushul al Syari’ah (Baerut : Dar El Kutub Al Ilmiyyah, 2005), juz II Hal 8-9
[9] Muhammad Maksum Zaini, Ilmu Ushul Fiqh .. Op,. Cit Hal ;119
[10] Al Syathibi, abu ishhaq, Al muwafaqat ..Op,. Cit, juz II Hal 10.
[11] Ibid hal 11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar